Setelah lama menjadi kontroversi di masyarakat, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akhirnya membuka diri untuk melakukan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Jika memang ada beberapa hal yang kurang pas dengan kehidupan sosial dan dianggap merugikan di masyarakat, kami terbuka untuk merevisinya,” ungkap Menkominfo Tifatul Sembiring, di Jakarta, belum lama ini.
Tifatul mengatakan, usulan perubahan itu akan dimasukkan ke DPR untuk dibahas karena pihak yang berhak untuk mengubah adalah parlemen. “Nanti usulan itu dimasukkan dalam program legislasi nasional,” katanya.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo Gatot S Dewa Broto menambahkan, sejauh ini Depkominfo belum pernah mendaftarkan revisi UU ITE dalam prolegnas. “Tetapi kalau ada lembaga lain yang memberikan usulan kami terbuka saja. Saat ini konsentrasi untuk menyelesaikan kajian ilmiah RUU Konvergensi,” katanya.
Gatot mengatakan, Depkominfo tidak mungkin mengambil inisiatif perubahan UU ITE karena lembaga ini telah mempertahankan regulasi itu kala sekelompok masyarakat melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi pada Mei lalu.
Diungkapkannya, saat ini Depkominfo sedang menyelesaikan tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yakni penyadapan, penyelenggaraan ITE, dan perlindungan data strategis. Jumlah itu merosot jauh dari rencana semula membuat 9 Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung UU ITE.
Di masyarakat pasal yang dianggap meresahkan adalah pasal 27 ayat 3 yang berbunyi ‘Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendustribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan’.
Dan Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi: ‘Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi meminta semua pihak jangan alergi untuk melakukan revisi UU ITE karena era konvergensi akan datang di ranah industri Telekomunikasi, Informasi, dan Komunikasi (TIK).
“Sudah disiapkan dua skenario untuk revisi. Pertama semua UU yang menyangkut TIK dilebur dan dijadikan UU Konvergensi. Kedua, UU ITE direvisi, tetapi UU Penyiaran dan Telekomunikasi dilebur jadi UU Konvergensi,” katanya.
Heru menegaskan, masalah TIK memang harus diatur dengan jelas. Misalnya, masalah penyadapan. Belakangan ini ada fenomena untuk kasus perceraian pun terjadi penyadapan.
“Kalau sudah seperti ini bisa tidak ada perlindungan bagi konsumen. Jika dibiarkan dalam jangka panjang Average Revenue Per Usuer (ARPU) bisa turun karena pelanggan takut menelpon akibat penyadapan yang tidak sesuai UU,” tegasnya.
Dibutuhkan
Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengingatkan, UU ITE dibuat karena dibutuhkan oleh masyarakat. “Masalah ada yang ingin merevisi itu karena sebagian kelompok masyarakat menolak. Apa sudah didengar kelompok yang mendukung. Penyelenggara negara jangan merevisi karena adanya dorongan sepihak,” katanya.
Mas Wig mengingatkan, jika nanti akan ada revisi, hal yang diubah sesuatu yang benar-benar menjadi masalah di kehidupan sosial. “Pasal-pasal lainnya yang menyangkut kepastian usaha melalui transaksi elektonik jangan diganggu,” katanya.
Jika ditelisik, regulasi yang dibahas sejak 2001 tersebut memang mengupas secara rinci enam hal yang biasa terjadi di dunia maya. Keenam hal tersebut adalah masalah transaksi elektronik (17 pasal), nama domain dan hak cipta (3 pasal), urusan perbuatan tidak baik (10 pasal), urusan pemerintah, penyidik, dan sengketa (6 pasal), serta urusan pidana dan hukuman (7 pasal).
Wakil Ketua Komite Tetap Informatika Kadin Iqbal Farabi mengatakan, UU ITE memang perlu banyak perbaikan karena konsep transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu mengatur masalah pidana dalam KUHP. “Sebaiknya yang diatur dibatasi menyangkut oengembangan analogi kejahatan transaksi elektronis dalam arti penggelapan atau pencurian. Bukannya pencemaran nama baik,” katanya.
Potensi Pendapatan
Ketua Umum Asosiasi Warung Internet Indonesia (Awari) Irwin Day menegaskan, secara yuridis UU ITE sudah berlaku. Jika ada kontroversi di lapangan karena PP belum dibuat. “UU ini dibutuhkan oleh pengusaha warnet untuk kepastian usaha. Misal, jika ada yang tertangkap memakai software bajakan, oleh aparat hardware juga diangkut. Ada juga perilaku atas nama UU ITE disalahgunakan untuk menakut-nakuti warnet. Ini karena PP belum ada,” katanya.
Irwin pun mengingatkan, UU ITE bisa mengurangi dominasi asing di Indonesia dalam transaksi elektronik. “Misalnya soal Certification Authority (CA). Itu jika dijalankan banyak devisa negara yang diselamatkan,” katanya.
CA merupakan lembaga penjamin yang mensertifikasi setiap transaksi elektronik yang dilakukan. Saat ini Indonesia belum memiliki CA karena tidak ada payung hukumnya yakni UU ITE. Hal itu membuat setiap transaksi yang dilakukan oleh manusia dengan alat elektronik disertifikasi oleh pihak asing.
Jika UU ITE dijalankan ada potensi pendapatan yang diterima negara sebesar 400 miliar rupiah dalam tahap pertama implementasinya. Angka tersebut merupakan 20 persen dari total dua triliun rupiah yang sebelumnya dinikmati lembaga CA asing. Pada dua tahun lalu, dunia perbankan saja melakukan transaksi elektronik melalui kartu debit dan kartu kredit senilai 230 triliun rupiah.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Warnet-Komunitas Telematika (APW-Komintel) Rudi Rusdiah mengatakan, jika direvisi UU ITE harus dilihat secara komprehensif. “Masalah e-commerce itu urusan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian. Depkominfo itu hanya mengurus masalah akses dan yang berhubungan dengan teknologi informasi. Tetapi di UU ITE sekarang semuanya dinisiasi oleh Depkominfo,” katanya.
Rudi meminta, pembuatan UU ITE harus melibatkan departemen yang sesuai kewenangannya oleh presiden agar tidak ada tumpang tindih regulasi. Akhinrya, UU ITE yang dulu semangatnya menjadi lex specialis malah berubah lex generalis dan tumpang tindih dengan regulasi yang ada.
“Pihak yang berkuasa justru Depkominfo karena semuanya diinterpretasi dalam bentuk PP. Di Malaysia Cyber Law itu kumpulan UU bukan kumpulan PP. Di Indonesia karena banyak di-outsorce dalam bentuk PP malah tidak memberikan kepastian hukum. Karena PP keluar turunannya belum ada, tidak jalan juga,” katanya.[dni]
Revisi UU ITE
Kepastian Usaha Harus Diutamakan
Setelah lama menjadi kontroversi di masyarakat, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akhirnya membuka diri untuk melakukan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Jika memang ada beberapa hal yang kurang pas dengan kehidupan sosial dan dianggap merugikan di masyarakat, kami terbuka untuk merevisinya,” ungkap Menkominfo Tifatul Sembiring, di Jakarta, belum lama ini.
Tifatul mengatakan, usulan perubahan itu akan dimasukkan ke DPR untuk dibahas karena pihak yang berhak untuk mengubah adalah parlemen. “Nanti usulan itu dimasukkan dalam program legislasi nasional,” katanya.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo Gatot S Dewa Broto menambahkan, sejauh ini Depkominfo belum pernah mendaftarkan revisi UU ITE dalam prolegnas. “Tetapi kalau ada lembaga lain yang memberikan usulan kami terbuka saja. Saat ini konsentrasi untuk menyelesaikan kajian ilmiah RUU Konvergensi,” katanya.
Gatot mengatakan, Depkominfo tidak mungkin mengambil inisiatif perubahan UU ITE karena lembaga ini telah mempertahankan regulasi itu kala sekelompok masyarakat melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi pada Mei lalu.
Diungkapkannya, saat ini Depkominfo sedang menyelesaikan tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yakni penyadapan, penyelenggaraan ITE, dan perlindungan data strategis. Jumlah itu merosot jauh dari rencana semula membuat 9 Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung UU ITE.
Di masyarakat pasal yang dianggap meresahkan adalah pasal 27 ayat 3 yang berbunyi ‘Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendustribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan’.
Dan Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi: ‘Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi meminta semua pihak jangan alergi untuk melakukan revisi UU ITE karena era konvergensi akan datang di ranah industri Telekomunikasi, Informasi, dan Komunikasi (TIK).
“Sudah disiapkan dua skenario untuk revisi. Pertama semua UU yang menyangkut TIK dilebur dan dijadikan UU Konvergensi. Kedua, UU ITE direvisi, tetapi UU Penyiaran dan Telekomunikasi dilebur jadi UU Konvergensi,” katanya.
Heru menegaskan, masalah TIK memang harus diatur dengan jelas. Misalnya, masalah penyadapan. Belakangan ini ada fenomena untuk kasus perceraian pun terjadi penyadapan.
“Kalau sudah seperti ini bisa tidak ada perlindungan bagi konsumen. Jika dibiarkan dalam jangka panjang Average Revenue Per Usuer (ARPU) bisa turun karena pelanggan takut menelpon akibat penyadapan yang tidak sesuai UU,” tegasnya.
Dibutuhkan
Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengingatkan, UU ITE dibuat karena dibutuhkan oleh masyarakat. “Masalah ada yang ingin merevisi itu karena sebagian kelompok masyarakat menolak. Apa sudah didengar kelompok yang mendukung. Penyelenggara negara jangan merevisi karena adanya dorongan sepihak,” katanya.
Mas Wig mengingatkan, jika nanti akan ada revisi, hal yang diubah sesuatu yang benar-benar menjadi masalah di kehidupan sosial. “Pasal-pasal lainnya yang menyangkut kepastian usaha melalui transaksi elektonik jangan diganggu,” katanya.
Jika ditelisik, regulasi yang dibahas sejak 2001 tersebut memang mengupas secara rinci enam hal yang biasa terjadi di dunia maya. Keenam hal tersebut adalah masalah transaksi elektronik (17 pasal), nama domain dan hak cipta (3 pasal), urusan perbuatan tidak baik (10 pasal), urusan pemerintah, penyidik, dan sengketa (6 pasal), serta urusan pidana dan hukuman (7 pasal).
Wakil Ketua Komite Tetap Informatika Kadin Iqbal Farabi mengatakan, UU ITE memang perlu banyak perbaikan karena konsep transaksi elektronik sebenarnya tidak perlu mengatur masalah pidana dalam KUHP. “Sebaiknya yang diatur dibatasi menyangkut oengembangan analogi kejahatan transaksi elektronis dalam arti penggelapan atau pencurian. Bukannya pencemaran nama baik,” katanya.
Potensi Pendapatan
Ketua Umum Asosiasi Warung Internet Indonesia (Awari) Irwin Day menegaskan, secara yuridis UU ITE sudah berlaku. Jika ada kontroversi di lapangan karena PP belum dibuat. “UU ini dibutuhkan oleh pengusaha warnet untuk kepastian usaha. Misal, jika ada yang tertangkap memakai software bajakan, oleh aparat hardware juga diangkut. Ada juga perilaku atas nama UU ITE disalahgunakan untuk menakut-nakuti warnet. Ini karena PP belum ada,” katanya.
Irwin pun mengingatkan, UU ITE bisa mengurangi dominasi asing di Indonesia dalam transaksi elektronik. “Misalnya soal Certification Authority (CA). Itu jika dijalankan banyak devisa negara yang diselamatkan,” katanya.
CA merupakan lembaga penjamin yang mensertifikasi setiap transaksi elektronik yang dilakukan. Saat ini Indonesia belum memiliki CA karena tidak ada payung hukumnya yakni UU ITE. Hal itu membuat setiap transaksi yang dilakukan oleh manusia dengan alat elektronik disertifikasi oleh pihak asing.
Jika UU ITE dijalankan ada potensi pendapatan yang diterima negara sebesar 400 miliar rupiah dalam tahap pertama implementasinya. Angka tersebut merupakan 20 persen dari total dua triliun rupiah yang sebelumnya dinikmati lembaga CA asing. Pada dua tahun lalu, dunia perbankan saja melakukan transaksi elektronik melalui kartu debit dan kartu kredit senilai 230 triliun rupiah.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Warnet-Komunitas Telematika (APW-Komintel) Rudi Rusdiah mengatakan, jika direvisi UU ITE harus dilihat secara komprehensif. “Masalah e-commerce itu urusan Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian. Depkominfo itu hanya mengurus masalah akses dan yang berhubungan dengan teknologi informasi. Tetapi di UU ITE sekarang semuanya dinisiasi oleh Depkominfo,” katanya.
Rudi meminta, pembuatan UU ITE harus melibatkan departemen yang sesuai kewenangannya oleh presiden agar tidak ada tumpang tindih regulasi. Akhinrya, UU ITE yang dulu semangatnya menjadi lex specialis malah berubah lex generalis dan tumpang tindih dengan regulasi yang ada.
“Pihak yang berkuasa justru Depkominfo karena semuanya diinterpretasi dalam bentuk PP. Di Malaysia Cyber Law itu kumpulan UU bukan kumpulan PP. Di Indonesia karena banyak di-outsorce dalam bentuk PP malah tidak memberikan kepastian hukum. Karena PP keluar turunannya belum ada, tidak jalan juga,” katanya.[dni]