JAKARTA—Aturan investasi di industri penerbangan Indonesia dinilai terlalu longgar sehingga rentan dengan munculnya investor yang hanya mencari keuntungan sesaat.
“Aturan investasi di industri penerbangan memang terlalu longgar. Akhirnya bisa muncul investor dengan tipikal hanya mencari keuntungan tanpa adanya keinginan membangun industri,” kata Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesi (MTI) Danang Parikesit kepada Koran Jakarta, Kamis (25/2).
Menurutnya, regulator seharusnya dalam memberikan lisensi bagi satu perusahaan harus juga menyertakan kewajiban komitmen untuk melayani rute perintis layaknya di industri telekomunikasi adanya kewajiban membangun jaringan melalui program Universal Service Obligation (USO) sehingga konsolidasi dan ekspansi terjadis secara natural.
“Kalau itu tidak ada walau sudaha da kewajiban kepemilikan pesawat bisa membuat investor baru hanya akan menggarap rute gemuk. Lama-lama pemain berjatuhan karena pasar yang digarap hanya itu-itu saja. Padahal transportasi udara salah satu sarana konektifitas perekonomian,” katanya.
Selanjutnya Danang mengingatkan, jajaran Perhubungan Udara harus semakin memperkuat infrastruktur pengawasannya karena para pemain bertambah banyak. “Saya dengar ada 11 perusahaan mengajukan Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP). Ini akan membuat pemain bertambah banyak. Standar keselamatan ahrus diperketat,” katanya.
Secara terpisah Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti Singayudha Gumay menegaskan, pemerintah mengizinkan maskapai asing untuk
mendapatkan SIUP dan beroperasi melayani penumpang antar rute di dalam negeri setelah memenuhi syarat Undang-undang Penanaman Modal
Sesuai dengan UU Penanaman Modal, perusahaan asing yang masuk ke Indonesia mayoritas sahamnya harus dimiliki oleh pengusaha lokal. Sebagai contohnya perbandingan saham 51 persen untuk pengusaha lokal dan 49 persen untuk pengusaha asing.
“Ada maskapai asing ajukan SIUP seperti Firefly dari Malaysia. boleh saja mendaftar ke Kemenhub. Kita akan laksanakan apabila telah memenuhi syarat yaitu mayoritas kepemilikan saham dari pemain lokal,” katanya.
Firefly adalah maskapai anak perusahaan Malaysia Airlines. Maskapai yang menggunakan pesawat baling-baling jenis ATR 72 tersebut telah sukses melayani rute jarak dekat antar negara Malaysia-Indonesia.
Herry menegaskan, pihaknya tidak gegabah mengeluarkan SIUP dengan memeriksa dulu investor lokal dari Firefly. “ Kecil kemungkinan kalau mereka sendiri yang mengusulkan, karena jelas akan kami tolak,” katanya.
Sementara Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanuddin menilai, masuknya Firefly ke pasar lokal berpotensi merusak bisnis maskapai nasional.
“Pakai nama brand perusahaan penerbangan asing dapat merusak dinama perusahaan penerbangan sedang bangkit jangan dirusak dan dirugikan,” katanya hari ini.
Dia menduga, Firefly nantinya akan berpatungan dengan investor nasional membentuk Firefly Indonesia dan dipastikan dikendalikan induk perusahaannya Firefly Malaysia.
“Harus hati-hati karena pada umumnya di atas kertas sahamnya memang 51 persen Indonesia dan 49 persen Malaysia tetapi yang berkuasa dalam menentukan kebijakan perusahaan yang minoritas,” ungkap dia.
Dia mendesak, pemerintah tetap memikirkan kepentingan nasional dengan membuat aturan baku yang lebih ketat guna mencegah penguasaan maskapai asing dalam penerbangan domestik dan internasional.
Sebelumnya, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Tri S. Sunoko mengungkapkan, maskapai asal Malaysia itu telah mengajukan SIUP maskapai penerbangan berjadwal penumpang pada awal tahun ini.”Pihak yang sedang mengajukan SIUP baru adalah Firefly Indonesia, Saat ini sedang kami kaji,” katanya.
Sayangnya, Tri enggan menyebutkan nama investor nasional yang digandeng FlyFirefly Sdn Bhd. “Yang jelas investor dalam negerinya perorangan bukan perusahaan. Orangnya tidak terkenal dan saya sendiri tidak kenal. Saat ini persetujuan PMDN dan PMA dievaluasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),” katanya.[dni]