JAKARTA—Para pelaku usaha yang tergabung dalam The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) meminta implementasi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) China-Asean yang akan dilakukan mulai 1 Januari 2010 ditunda untuk satu hingga dua tahun karena industri baja bisa belum siap bersaing dengan pemain luar.
“Industri baja dalam negeri bisa kolaps jika FTA diterapkan tahun depan. Terutama sektor hilir yang dijepit oleh produk finished goods dan semi finished goods yang datang dari China nantinya,” ungkap Ketua Umum IISIA Fazwar Bujang, di Jakarta, Selasa (1/12).
Jika industri lokal sudah kolapas, menurut dia, kana susah dibangkitkan kembali karena terkait pada kepercayaan pendanaan dari investor. ”Kita sudah lihat itu terjadi pada sektor paku yang kolaps. Susah sekali dibangkitkan kembali,” tegasnya.
Diungkapkannya, saat ini produk dari China telah menguasai 18 persen pangsa pasar domestik. Angka itu bisa membengkak jika dimasukkan produk yang masuk secara ilegal. Seandainya FTA dijalankan, maka produk luar negeri yang sebelumnya masih terkena Bea Masuk (BM) sebesar lima persen, tentunya akan semakin murah karena BM dihilangkan. Padahal, saat ini Indonesia sudah memiliki BM terendah di dunia.
”Kondisi ini akan membuat industri baja domestik terpukul karena susah bersaing dalam mengamankan pasar lokal. Lebih baik ditunda satu atau dua tahun seiring industri dalam negeri memperbaiki kinerjanya. Setelah itu baru jalankan FTA,” pintanya.
Dijelaskannya, saat ini pemain lokal banyak menghadapi permasalahan seperti infrastruktur yang belum memadai, ketergantungan pada bahan baku impor, suplai tidak lancar untuk energi, dan rendahnya kapasitas produksi baja nasional.
”Ini adalah setumpuk permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemain lokal. Jika ini bisa dibereskan dalam waktu satu hingga dua tahun ini , maka utilisasi yang masih 40 persen bisa meningkat menjadi 80 persen. Tentunya untuk mewujudkan ini diharapkan insentif dari pemerintah untuk pemakaian produk domestik dan investasi baru dari sisi pajak, izin, amdal, dan lainnya,” tegasnya.
SNI
Sekjen Departemen Perindustrian Agus Tjahyana mengatakan, regulasi non tarif barier bisa diterapkan untuk menahan laju produk asing masuk ke pasar domestik. Salah satu regulasi yang bisa diandalkan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI).
“SNI sangat menguntungkan bagi produsen, konsumen, dan pemerintah. Ini akan membantu pemain lokal. Hal ini karena banyak juga produk asing itu tidak mengikuti standar Indonesia,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Fazwar mengungkapkan, masih banyak produk Non SNI beredar di pasar. Belum lagi, terjadi kelambanan dan sedikitnya proses penyusunan dan penerapan SNI untuk produk baja.
”Ini membuat penegakkan hukum menjadi lemah dan pengawasan barang beredar di pasar tidak berjalan baik,” katanya.
Co Chairman IISIA Ismail Mandry mengakui, penerapan SNI dan safeguard seperti anti dumping, dan anti subsidi bisa mengamankan produk dalam negeri. Namun, harus diwaspadai juga pola baru penterasi baja asing masuk ke Indonesia yaitu pendanaan infrastruktur.
”Ada tren baru dimana kerjasama dilakukan secara antarpemerintah dengan memberikan bantuan dana untuk pembangunan infrastruktur. Selanjutnya dibahas antarperusahaan, dimana produk yang digunakan adalah berasal dari negara pemberi bantuan,” katanya.
Fazwar mencontohkan, pola seperti ini bisa terlihat dalam pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW dimana bajanya datang dalam bentuk jadi dari China. ”Guna menghambat praktik ini, pendanaan lokal harus diperkuat. Bank-bank lokal harus mau memberikan pinjaman ke perusahan lokal,” katanya.
Agus menegaskan, pemerintah berencana akan memberikan jaminan bagi pelaku domestik dalam mengajukan kredit ke perbankan lokal nantinya. ”Itu sudah masuk dalam program kami,” katanya.
Pada kesempatan sama, Menteri Perindustrian MS Hidayat menegaskan, akan membantu industri baja keluar dari kemelut perdagangan bebas dengan meminta penundaan implementasi FTA. ”Baja adalah backbone industri manufaktur, tentu akan dilindungi. Saya rasa meminta penundaan satu hingga dua tahun merupakan hal yang wajar. Tetapi untuk diketahui, hanya Indonesia yang menolak implementasi ini,” tegasnya.
Hidayat meminta, jika penundaan dilakukan maka pelaku usaha lokal harus bisa meningkatkan nilai kompetitif produknya karena pemerintah tidak bisa selamanya memberikan perlindungan.”Daya saing produk kita harus ditingkatkan. Harganya harus kompetitif,” katanya.[dni]
Kapasitas Produksi dan Utilisasi Baja 2009
No | Production Facility | Production Capacity Ton/tahun | Capacity Utilitation |
1 | Iron Making | 2.500.000 | 57% |
2 | Steel Making | 6.775.000 | 47% |
Rolling Mill | |||
HRC/Plate | 2.940.000 | 70% | |
3 | CRC | 1.710.000 | 48% |
Wire Rods | 1.775.000 | 70% | |
Bar & Section | 4.900.000 | 30% | |
4 | Pipe Making | 1.800.000 | 26% |
5 | Galvanizing Mill | 1.165.000 | 45% |
6 | Nails, wires, Bolds & Nuts | 1.165.000 | n.a |
Coil Centers | |||
7 | Shearing Line | 1.500.000 | 50% |
Slitting Line | 1.000.000 | 50% |
Sumber: IISIA