301110 Bandar Udara Abdulrachman Saleh Ditutup untuk Penerbangan Sipil

JAKARTA— Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) mengeluarkan ASHTAM (Ash Volcanic Hazard To Airmen) Nomor 0038/10 untuk menutup penerbangan sipil ke Bandar Udara Abdulrachman Saleh, Malang, mulai Senin, 29 November 2010 pukul 10.19 WIB sampai dengan Sabtu, 04 Desember 2010 pukul 17.00 WIB.

“Berdasarkan ASHTAM tersebut, Ditjen Hubud  mengeluarkan  Notice To Airmen (NOTAM) Nomor C 0929/10  untuk menutup  penerbangan sipil mulai hari ini,” ungkap juru bicara Kementrian Perhubungan (Kemhub) Bambang S Ervan di Jakarta, Senin (29/11).

Dijelaskannya, langkah tersebut terpaksa dilakukan akibat meningkatnya  aktivitas vulkanologi Gunung Bromo, Jawa Timur, yang terjadi beberapa minggu belakangan ini.

Dampak dari abu vulkanik akibat erupsi dinilai dapat menimbulkan bahaya
bagi kinerja mesin pesawat udara, serta mengganggu jalur penerbangan dari dan ke Bandar udara, Abdulrachman Saleh, Malang. “Kami ingin  menjaga keselamatan penerbangan,” tegasnya.

Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura II RP. Hari Cahyono mengungkapkan,  terdapat empat maskapai penerbangan yang melayani tujuan Jakarta – Malang dari Bandara Soekarno – Hatta Cengkareng, Banten. Keempat maskapai itu  adalah Sriwijaya Air, Garuda Indonesia, Batavia Air, dan Sriwijaya.

Diungkapkannya, pada operasional penerbangan hari ini, pesawat Sriwijaya Air nomor penrbangan SJ250 yang dijadwalkan terbang dari Jakarta ke Malang, telah mendarat di Bandara Abdurahman Saleh pada pukul 07.00 WIB,  Garuda Indonesia (GA290) yang dijadwalkan mendarat pada 07.00 WIB tiba pada 07.23 WIB,  Batavia Air (Y6243) yang semula dijadwalkan tiba di Malang pukul 10.20 WIB, dijadwalkan ulang 11.30 WIB dan hingga saat ini belum melakukan penerbangan.

“Sedangkan untuk jadwal-jadwal penerbangan lain di atas waktu tersebut, kami masih melakukan koordinasi dengan pihak maskapai penerbangan yang bersangkutan,” jelasnya.

Secara terpisah, Juru Bicara Garuda Indonesia Pujobroto  mulai Selasa (30/11) penerbangan maskapainya  un tuk  tujuan Jakarta – Malang pp  akan dialihkan ke Surabaya hingga Sabtu (4/12).

Selama ini, penerbangan Garuda ke Malang (GA-290) berangkat dari Jakarta pukul 07.10 WIB dan tiba di Malang pukul 08.40 WIB, dan berangkat kembali ke Jakarta pukul 09.15 WIB.

Dijelaskannya, untuk pengalihan ke Surabaya, penerbangan GA-290 akan tetap berangkat pukul 07.10 WIB dan tiba di Surabaya pukul 08.30 WIB. Selanjutnya para penumpang tujuan Malang akan diberangkatkan dengan bus dari bandara Juanda, Surabaya menuju Malang (Terminal Bus Arjo sari), dan sebaliknya para penumpang dari Malang – setelah melakukan proses check-in – di Bandara Abdul Rachman Saleh, Malang diberangkatkan dengan bus menuju Bandara Juanda Surabaya. Pesawat dari Surabaya yang membawa penumpang dari Malang (GA-291) akan berangkat pada pukul 11.15 WIB dan tiba di Jakarta pukul 12.35 WIB.

“Penerbangan Garuda dari Jakarta ke Malang dilayani dengan pesawat B737-300, dengan kapasitas 110 tempat duduk, terdiri dari kelas bisnis sebanyak 16 tempat duduk dan kelas ekonomi sebanyak 94 tempat duduk,” jelasnya.

Manajer Komunikasi Sriwijaya Air  Ruth Hanna Simatupang mengatakan, salah satu penerbangan yang sedianya  melayani penerbangan dari bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Abdul Rachman Saleh melakukan pengalihan ke Surabaya.

“Kemungkinan penerbangan pesawat kami akan divert  (pengalihan) dari Jakarta ke Malang untuk penerbangan SJ 246. Kemungkinan dialihkan ke Surabaya (Bandara Juanda) atau Denpasar (Bandara Ngurah Rai),” katanya.

Diungkapkannya, setiap harinya Sriwijaya menerbangkan tiga pesawat, yaitu satu penerbangan di pagi hari dan dua di  siang hari. Sriwijaya juga memastikan SJ 248 yang terbang setelah itu dibatalkan.

Sementara juru bicara Batavia Air, Eddy Heryanto mengatakan, satu-satunya pesawat yang melayani rute ke Malang telah melakukan penerbangan. “Kabar yang kami terima pesawat sudah landing di Malang, berangkat dari Jakarta pukul 10.20 WIB tadi pagi,” kata Eddy.

Dijelaskannya, saat ini sedang dilakukan pembahasan terkait nasib pesawat yang sudah   telanjur sampai di Malang akan diterbangkan kembali atau tidak.   “Kalau diterbangkan lagi pastinya harus berputar untuk menghindari abu vulkanik. Saat ini kita sedang membahasnya,” ujar dia.

Sedangkan untuk merespons NOTAM dari regulator, lanjutnya,  Batavia akan menerapkan penghentian penerbangan sementara (no ops) selama tiga hari ke depan. “No ops dilakukan tiga hari, kalau nanti kondisinya tetap buruk, maka noops akan dilanjutkan,” tambah Eddy.[dni]

301110 SmartFren Siapkan 100 Ribu Unit Ponsel Hitz

JAKARTA—PT Smart Telecom dan PT Mobile-8 Telecom Tbk menyiapkan 100 ribu unit ponsel musik untuk mendukung target meraih pelanggan akhir tahun nanti.

“Ponsel dengan merek dagang Hitz ini hasil kerjasama dengan  penyedia handset dari Thailand, PT. Samart I-Mobile Indonesia. Hadirnya ponsel ini akan membuat aliansi pemasaran SmartFren akan bisa berbicara banyak meraih tambahan pelanggan hingga akhir tahun nanti,” ungkap Chief Sales Officer Smart Telecom Charles Sitorus di Jakarta, Senin (29/11).

Diungkapkannya, ponsel bundling tersebut  dibanderol  299 ribu rupiah dengan tawaran bonus   masa aktif ekstra panjang, kirim 1 SMS akan mendapatkan bonus 1 MB, dan terima telepon dari GSM akan mendapatkan bonus pulsa  100 rupiah per menit. Selain itu, pelanggan  juga dapat menikmati 15 hari gratis smartfren messenger, facebook dan twitter. Bonus lainnya adalah gratis download 3 ringtones dan wallpaper.

Head of Channel Management Mobile-8 Telecom Artiko Samudro mengharapkan, produk baru hasil kolaborasi dengan Smart tersebut dapat  memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan layanan telekomunikasi.

Sedangkan Presiden Direktur  Samart I-Mobile Indonesia Phanthep Chatarat menegaskan, ponsel yang ditawarkan ke pelanggan kedua operator  berkualitas dan mengutamakan fitur  yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

“Ponsel ini sudah melewati penelitian dan pengujian yang panjang. Walaupun harganya miring, tetapi kualitas yang ditawarkan tinggi. Bahkan untuk masalah garansi, ditawarkan jika ada kerusakan selama 7 hari setelah pembelian dilakukan penggantian langsung disamping masa normal satu tahun,” katanya.[dni]

301110 Waspadai Value Gap di Internet

JAKARTA—Pemerintah diminta untuk untuk mulai mewaspadai  kesenjangan nilai (Value Gap) dari penggunaan internet agar tidak terjadi perilaku konsumtif berlebihan di masyarakat.

“Saat ini penterasi internet di Indonesia sudah mulai tinggi. Jika akses dengan ponsel dimasukkan,jumlahnya bisa mencapai 45 juta pengguna. Sayangnya, value gap masih tinggi sehingga ini bisa menimbulkan perilaku konsumtif,” jelas Ketua Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia bidang Telematika Iqbal Farabi di Jakarta, Senin (29/11).

Dijelaskannya, secara teori dalam membangun masyarakat berbasis internet terdiri atas mengatasi kesenjangan akses (access gap), kesenjangan adopsi (adoption gap), dan value gap.

Menurutnya, pemerintah sudah mulai serius mengatasi kesenjangan akses dengan mendorong operator membangun jaringan. Untuk adopsi pun sudah tersedia perangkat dengan harga murah sehingga membuat masyarakat semakin banyak mengakses.

“Masalahnya di value gap belum optimal karena internet lebih banyak digunakan untuk mengakses hal-hal yang berbau hiburan atau konsumtif seperti Facebook atau situs jejaring sosial yang banyak membuang bandwidth ke luar negeri,” katanya.

Dikatakannya, jika masyarakat bisa diedukasi tentang manfaat lain dari internet seperti mendorong hadirnya e-health, e-education, dan lainnya, barulah bisa diwujudkan teori penetrasi   broadband bisa mendorong perekonomian. “Situs jejaring sosial pun sebenarnya bisa dijadikan alat untuk meningkatkan perekonomian. Banyak yang berdagang atau menyosialisasikan program melalui media ini. Intinya, internet jangan disederhanakan kepada masalah masuk ke dunia maya saja,” tegasnya.

Sementara itu, perangkat untuk mengakses internet pun kian beragam dengan hadirnya TV berkemampuan akses Internet. LG Electronics Indonesia (LGEIN) membuktikan hal itu dengan meluncurkan jajaran televisi yang memiliki dukungan internet  seperti  LE5500, LE7500, LX6500, dan LX9500.

LG mencantumkan beberapa widget yang nantinya bila diaktifkan akan menghadirkan arus informasi sesuai fungsinya masing-masing. Fitur itu  dinikmati melalui LG NetCast, sebuah fitur yang memungkinkan pengguna seri TV internet LG dapat menggunakan layanan internet secara langsung tanpa harus mengkoneksikan melalui PC.

“Inovasi baru seri TV internet LG sangat membantu penggunanya memperoleh informasi secara cepat dan realtime,” jelas  Marketing Director LGEIN  David Tjokro. [dni]

301110 Lintasarta Tawarkan SlimKu

JAKARTA—PT Aplikanusa Lintasarta (Lintasarta) menawarkan layanan koneksi internet berbasis VSAT Internet Ku-BAND dengan merek dagang  SlimKu untuk wilayah Indonesia yang tak dapat dijangkau oleh  jaringan terrestrial .

“Koneksi internet berbasis VSAT memiliki pasar tersendiri terutama di area  remote. Secara geografis, segmen  ini tersebar di wilayah Barat (Sumatera), wilayah Tengah (Kalimantan) dan wilayah Timur (Bali-Nusra, Sulawesi, Maluku dan Papua), “ ungkap General Manager Marketing Lintasarta  M. Ma’ruf di Jakarta, Senin (29/11).

Dijelaskannya, pengguna Slimku  adalah perusahaan di kawasan remote yang memiliki anggaran    terbatas untuk koneksi internet   “Lintasarta juga menawarkan kesempatan kepada para pelaku bisnis atau investor untuk berbisnis telekomunikasi bermitra bersama Lintasarta dengan konsep  reseller, modal untuk deposit perangkat dan kriteria tertentu. Dengan adanya program kemitraan ini diharapkan dapat tercipta win-win solution untuk kedua belah pihak,” jelasnya.

Secara terpisah, induk usaha LintasArta, Indosat,  menambah fitur baru dalam layanan Dompetku dengan inovasi  kirim uang (transfer), sehingga pelanggan Mentari, IM3, dan Matrix dapat melakukan transaksi keuangan.

Director & Chief Commercial Officer Indosat Laszlo Barta menjelaskan,  fitur dompet kirim uang, memungkinkan pelanggan untuk melakukan pengiriman uang tunai ke sesama pelanggan Indosat yang telah terdaftar sebagai pelanggan dompetku.

“Untuk menggunakan layanan dompetku, pelanggan harus memiliki account yang telah didaftarkan. Account itu berupa nomor ponsel Indosat yang masih aktif. ,” jelasnya.

Sementara Division Head Mobile Commerce Indosat Indra Lestiadi memperkirakan, layanan mobile commerce akan booming di Indonesia empat tahun mendatang. “Inilah kenapa Indosat terusmerintis layanan pendukung mobile commerce seperti dompetku,” jelasnya.

Diungkapkannya, pengguna mobile commerce sendiri saat ini diproyeksi hanya mencapai 20 juta. Dimana lima juta di antaranya dimiliki oleh Indosat.[dni]

301110 Menggoda Pemain 3G

Dibukanya wacana untuk menerapkan teknologi netral di spektrum 2,3 GHz seolah oase bagi pemain 3G yang sudah tak sabar menerapkan Long Term Evolution (LTE) di Indonesia.

LTE  adalah lanjutan dari teknologi seluler generasi ketiga (3G),  setelah high speed downlink packet access (HSDPA), dan HSPA +. Inovasi ini memberikan tingkat kapasitas downlink sedikitnya 100 Mbps, dan uplink paling sedikit 50 Mbps.

Spektrum yang ideal untuk LTE adalah di  700 MHZ dan 2,6 GHz dengan lebar pita 20 MHz.  Namun, LTE juga bisa berjalan di  1.800 MHz, atau  2,3 GHz. Operator yang sudah ngebet menggelar LTE adalah Telkomsel, Indosat, dan XL.

Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Dian Siswarini   menyambut gembira langkah yang diambil oleh pemerintah. “Sudah tepat kebijakan yang diambil pemerintah menetapkan teknologi netral di 2,3 GHz karena frekuensi adalah sumber daya utama yang tidak boleh disia-siakan.  Para pemain 3G akan semangat ikut tender nantinya,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, Senin (29/11).

Senior Director and Country Manager Qualcomm Indonesia Harry K Nugraha  mengungkapkan, jika pilihan dijatuhkan di 2,3 GHz untuk LTE, maka Indonesia akan mengembangkan Time Duplex LTE (TDD-LTE) seperti di  China dan India.

“Sebagai pengembang teknolgi  kami menyakini  inovasi  selular mempunyai skala ekonomi yang lebih besar.  Pemilihan teknologi netral adalah jalan terbaik karena industri yang menentukan mana inovasi yang cocok  bagi bisnisnya,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan TD-LTE tetap akan menjadikan Indonesia seksi bagi vendor global karena chipset yang digunakan multi teknologi yakni FDD-LTE, Evolution Data Only (EVDO), dan HSDPA. “Itu untuk memudahkan jika mau roaming ke luar negeri,” katanya.

Ditegaskannya, Qualcomm siap mengembangkan industri lokal dalam mendukung LTE terutama berkaitan dengan konten. “Ini  salah satu sektor yang bisa membuat  Indonesia bisa berkembang jauh lebih cepat. Kalau bicara manufaktur itu masalahnya tidak sesederhana di R&D dan pabrik, ada isu distribusi, produk, lifecycle, impor suku cadang dan lainnya,” katanya.

CEO Xirka Silicon Technology Sylvia W Sumarlin  mengungkapkan, hingga sekarang belum ada penetapan spektrum ideal untuk LTE. “Baru ada dijalankan dibawah 2 atau diatas 2,5 GHz.   Kalau 6 vendor besar dunia belum memulai produksi masal perangkat LTE, ini mengindikasikan  belum ada kesepahaman atas frekuensi rujukannya,” tegasnya.

Diingatkannya, jika LTE dipaksakan diimplementasi di 2,3 GHz  sama saja Indonesia menghidupi satu vendor global  “Mari kita lihat vendor di China yang justru sedang mengembangkan perangkat untuk spektrum 1,8GHz dan 2,5 GHz, ini artinya mereka tahu pasarnya ada di sana. Jika Indonesia memaksakan di 2,3 GHz untuk LTE, artinya mengulangi kesalahan dengan memilih Wimax 16d yang membuat negara ini aneh sendiri,” tegasnya.

Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan mengakui, untuk spektrum 2,3 GHz  secara profil  lebih dekat ke   Wimax. “LTE lebih cocok di   2.6 GHz karena ada kaitannya dengan roaming dan skala ekonomi. Jika dipaksakan di 2,3 GHz, untuk roaming bisa menggunakan terminal multi band multimode, tetapi  mahal sekali,” jelasnya.

Diungkapkannya,  TD-LTE dikembangkan dari  TD-SCDMA  di China yang roadmap-nya sama dengan 3GPP. Teknologi ini dipakai di Amerika Serikat, dan sebagian Eropa. Namun, TD-LTE yang berjalan di 2,3 GHz hanya ada di China dan India.

“Kalau menginginkan manufaktur lokal mengembangkan perangkat LTE untuk 2,3 GHz akan susah. Tantangannya lebih berat ketimbang mengembangkan Wimax 16e di 2,3 GHz,” katanya.[dni]

301110 Teknologi Netral di 2,3 GHz: Kompromi untuk Standarisasi

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akhirnya membentuk tim adhoc untuk menyelesaikan kisruh pilihan  standarisasi di frekuensi 2,3 GHz. Tim adhoc ditugaskan untuk mengevaluasi penggunaan sisa pita yang tersedia sebanyak 60 MHz untuk penggunaan teknologi netral kala dilakukan lelang tahun depan.

Pemilihan teknologi netral berarti pemberian izin tidak dikaitkan dengan satu inovasi, industri memiliki hak untuk memilih.

Untuk diketahui, di frekuensi 2,3 GHz  tengah terjadi tarik menarik standar antara pemegang lisensi Broadband Wireless Access (BWA) yang telah mendapatkan alokasi pita sebesar 30 MHz dengan pemerintah. Para pemenang mendesak pemerintah merevisi surat Keputusan Dirjen Postel No. 94, 95, dan 96/2008 mengenai batasan kanalisasi (Channel Bandwitdh).

Regulasi itu mengatur pembatasan channel bandwitdh sebesar 3,5 MHz dan 7 MHz yang dalam istilah teknis mengacu pada standar  Worldwide interoperability for  Microwave Access (Wimax) IEEE 802.16d-2004  (16 d) untuk Fixed atau Nomadic Wimax.

Pemenang  meminta direvisi menjadi 5 MHz dan 10 MHz yang identik dengan IEEE 802.16e-2005 (16 e). Dampak dari tarik menarik ini tidak ada satupun hingga sekarang dari 8 pemenang yang menggelar layanan komersial.

“Saya sudah membentuk  tim adhoc untuk membahas kisruh di 2,3 GHz yang akan bekerja sebulan ini membahas tentang lelang sisa pita sebesar 60 Mhz digunakan untuk   teknologi netral.  Sedangkan untuk alokasi 30 MHz yang telah ada pemenangnya tak akan diubah standarnya, tetap 16 d,” tegas PLT Dirjen Postel M. Budi Setyawan kepada Koran Jakarta, Senin (29/11).

Dijelaskannya, pihaknya tidak bisa meloloskan keinginan dari para pemenang tender untuk mengubah regulasi tentang kanalisasi karena akan memperumit masalah. “Saya tidak mau  kala Long Term Evolution (LTE) masuk tahun depan nanti menjadi masalah lagi. Baiknya dipilih saja teknologi netral di sisa pita 2,3 GHz karena spektrum itu bisa digunakan untuk wimax standar d atau e, bahkan LTE,” jelasnya.

Langkah dari Postel tidak merevisi regulasi  tersebut bisa dimaklumi karena menurut Peraturan Pemerintah (PP) No  53/2000 Tentang  Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dalam pasal 27  dinyatakan pelaksanaan realokasi frekuensi radio harus memberitahu pemegang izin dua tahun sebelum penetapan.

Artinya, jika merujuk kepada regulasi ini tentunya pengubahan standar akan membuat komersialisasi Wimax semakin lama.  Seandainya dipaksakan pun pengubahan standar maka bisa dianggap melanggar  PerPres 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa dimana dianggap telah terjadi post bidding.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)  yang juga masuk dalam Tim Adhoc, Nonot Harsono mengungkapkan, salah satu yang dibahas adalah masalah  iklim kompetisi, jumlah operator di level akses dan  core network, dan lainnya.

“Kami juga memiliki pelajaran dari lelang dua tahun lalu dimana harga frekuensi bisa  melonjak tajam. Bisa dibayangkan untuk 60 MHz akan terjadi pertempuran antara pemain Wimax dan 3G, harga frekeunsi bisa melonjak tinggi dari penawaran dasar. Dampak sosial ekonominya menjadi perhatian,” tegasnya.

Perlakuan Sama
Sementara itu, operator  yang menjadi pemenang  dalam tender dua tahun lalu   meminta pemerintah untuk menerapkan perlakuan sama  yakni penggunaan teknologi netral di  pita  30 MHz. “Wacana adanya lelang untuk 60 MHz itu bagus, tetapi kami minta di 30 MHz diberlakukan juga teknologi netral,” ungkap GM Pengembangan Bisnis First Media Hermanuddin.

VP Public Relations and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan, perseroan pasti akan memanfatkan semua peluang yang ditawarkan pemerintah untuk memperkuat bisnis perseroan secara grup. “Kami pun meminta pemerintah memberikan kemudahan sebagai pemenang di 2,3 GHz dua tahun lalu untuk memilih standar karena semua kewajiban kepada negara sudah dipenuhi,” katanya.

Sedangkan, CEO Xirka Silicon Technology  Sylvia W. Sumarlin menilai kebijakan pemerintah menetapkan teknologi netral lebih pada membuka jalan masuknya standar wimax 16e.

“Kebijakan itu   langkah yang tepat agar pengembangan  Wimax bisa tercapai dengan segera. Kebijakan ini harusnya juga berlaku bagi 8 operator yang menjadi pemenang dua tahun lalu agar ada kelangsungan operasi, tidak kesulitan mencari suku cadang, dan mempunyai kesempatan untuk mendorong aplikasi canggih yang  hanya bisa dilakukan di  16e,”  jelasnya.

Menurutnya, teknologi netral  adalah pemilihan inovasi  di mana profil atau  standar yang diterapkan adalah netral. Jadi, dalam hal ini untuk di 2,3 GHz  teknologi pilihan adalah  Wimax dimana  standarnya bisa langsung ke 16e yang kemudian bisa dinaikkan ke mobile   tanpa adanya regulasi baru.

“Ini sama dengan jalan tol ditetapkan standarnya untuk kendaraan roda empat. Masalah merek mobil yang lewat, pemerintah tidak peduli. Jadi netral disini bukan semua kendaraan dari roda dua hingga empat,” tuturnya.

Komisaris PT INTI Johnny Swandi Sjam pun mendukung diberlakukannya teknologi netral untuk semua pemain di 2,3 GHz baik pemain lama atau baru karena industri dalam negeri sudah siap memproduksi perangkat wimax standar 16 e. “Chipset sudah ada Xirka. Jika sekarang dibuka, industri dalam negeri bisa berkembang manufakturnya karena potensi permintaan sedang tinggi,” jelasnya.

Sementara Komisaris Teknologi Riset Global (TRG) Sakti Wahyu Trenggono mengaku tidak keberatan diberlakukannya teknologi netral untuk sisa pita di 2,3Ghz asalkan masalah Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tetap diberlakukan sama dengan Wimax standar 16 d. “Kami minta perlakuan sama. Soalnya kita sudah investasi puluhan miliar rupiah untuk membangun ekosistem 16d. Belum lagi pabrik yang akan beroperasi mulai tahun depan,” tegasnya.

Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan memperkirakan  tsunami teknologi akan terjadi jika 16e dibuka tanpa persiapan matang. “Ekosistem standar ini diluar negeri lebih kuat ketimbang manufaktur lokal yang sedang infant. Jika lelang dilakukan tahun depan dimana  akan memakan waktu enam bulan, saya perkirakan cukup mematangkan manufaktur lokal,” katanya.

Sedangkan Praktisi Telematika Suhono Harso Supangkat  mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati menerapkan teknologi netral karena bisa terjebak dalam skenario vendor global yang hanya ingin berjualan produknya di negeri ini.

“Pemerintah jangan goyang dengan skenarionya dalam membangun industri  menufaktur dalam negeri. Harus diingat, Indnesia memiliki potensi pasar yang besar, jika terus menerus mengikuti maunya vendor global, maka akan selamanya hanya menjadi negara konsumen,” ketusnya.[dni]

291110 Kenaikan Tarif ASDP Bantu Pengusaha

JAKARTA—Para pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menyambut baik kenaikan tarif penyeberangan antar pulau antar provinsi untuk Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP) dengan besaran rata-rata 19,81 persen untuk lintas komersial dan 15 persen untuk perintis.

“Besaran kenaikan itu belum memberikan keuntungan bagi pengusaha, tetapi sudah bisa membantulah sedikit ditengah inflasi tinggi ini,” ungkap Sekretaris Jenderal Gapasdap, Luthfie Syarief di Jakarta, akhir pekan lalu.

Diungkapkannya, kenaikan tarif rata-rata sebesar 19,81 persen untuk 12 rute komersial per 15 Desember mendatang belum menutupi biaya pokok produksi perusahaan penyeberangan saat ini.

“Tarif yang lama baru mencapai 57,73 persen biaya produksi, berarti kenaikan tarif sebesar 19,81 persen, akan mengurangi beban biaya kami. Tetapi jangan bicarakan untung dulu, karena margin kita tetap masih belum ada,” jelasnya.

Menurutnya, kenaikan tarif ini, akan menjadi preseden yang baik bagi pengusaha kepal penyeberangan untuk terus tetap mempertahankan usahanya. “Sampai saat ini kami belum bisa membeli kapal-kapal baru, bahkan kapal yang kami punyai umurnya lebih dari 10 tahun dan mayoritas lebih dari 20 tahun. Tetapi paling tidak kami masih bisa bertahan,”ujarnya.

Dijelaskannya, untuk berinvestasi anggota Gapasdap tidak mampu membeli kapal baru. Bahkan untuk membeli kapal-kapal tua tersebut mereka harus mencari utangan dulu ke perbankan.

“Jalan tengah atau bantuan yang diharapkan dari pemerintah adalah evaluasi tarif setelah enam bulan berlaku. Kami mengharapkan kenaikan terus dilakukan secara bertahap,” tegasnya.

Secara terpisah, Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Publik Kementerian Perhubungan, Bambang Supriyadi Ervan mengatakan, kenaikan tarif dilakukan pada
dua jenis penyeberangan yaitu 12 lintas komersial antar provinsi dan 12 lintas perintis perintis.

Diungkapkannya, kenaikan untuk lintas komersial direalisasikan dengan besaran rata-rata 19,81 persen sedangkan untuk lintasan perintis rata-rata 15 persen.

Untuk lintasan perintis dengan kenaikan terbesar adalah rute Merak-Bakauheni yang mengalami kenaikan sebesar 20,16 persen, sedangkan lintasan dengan kenaikan terendah adalah Ketapang-Gilimanuk sebesar 19,16 persen.
“Kenaikan tarif dilakukan karena tarif-sebelumnya baru mencapai rata-rata 57,73 persen dari biaya pokok. Untuk mencapai cost recovery diperlukan penyesuaian tarif yang akan dilakukan secara bertahap,” katanya.

Selain itu, jelasnya, kenaikan tarif didorong oleh naiknya biaya operasional seperti kenaikan harga kapal bekas yaitu rata-rata 27 persen, gaji dan tunjangan anak buah kapal (ABK) yang naik rata-rata 25,63 persen, biaya docking (perbaikan) juga melonjak 24,53 persen dan biaya penunjang operasional yang naik 58,75 persen.

Hal itu bisa dilihat dari kenaikan di lintas antar provinsi non subsidi maksimum adalah sebesar 20 persen dan lintas antar provinsi bersubsidi maksimal 15 persen.

Tarif lintasan komersial terbaru adalah Merak-Bakauheni menjadi Rp 647,74/mil/penumpang (20,16 persen), Ketapang-Gilimanuk menjadi Rp 813,83/mil (19,16 persen) Padangbai-Lembar Rp 833,80 (19,90 persen), Siwa Lasusua Rp 726,69/mil (19,97 persen), Sape-Waikelo Rp 482,61/mil (19,75 persen), Palembang-Muntok Rp 487,29/mil (19,65 persen), Sape-Labuhanbajo Rp 480,36/mil (19,56 persen), Bajoe-Kolaka Rp 640,60/mil (19,91 persen), Pagimana-Gorontalo Rp 569,84/mil (19,84 persen), Bira-Tondasi Rp 441,63/mil (19,88 persen), Bitung-Ternate Rp 471,88/mil (20,05 persen) dan Balikpapan-Mamuju Rp 454,88/mil (19,96 persen).

Saat ini kapal milik operator angkutan penyeberangan yang beroperasi berjumlah 219 unit. Sebesar 65 persen berumur melebihi 20 tahun. Rinciannya, umur kapal yang berumur 20 tahun berjumlah 143 unit (65 persen), berumur 10-19 tahun 52 unit (23,74 persen) dan yang dibawah 10 tahun hanya 24 unit kapal saja (10,96 persen). [dni]

271110 Kemhub Sarankan Terminal Haji Dipermanenkan

JAKARTA–Kementerian Perhubungan menyarankan salah satu pintu keberangkatan/kedatangan di Bandara Internasional King Abdul Aziz dialokasikan khusus untuk jemaah Haji asal Indonesia untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perjalanan.

“Kami akan meminta Kerajaan Arab Saudi untuk memermanenkan salah satu gate-nya khusus di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah untuk jamaah haji asal Indonesia yang berangkat dengan Garuda Indonesia,” ungkap Wakil Menteri Perhubungan, Bambang Susantono di Jakarta, Jumaat, (26/11).

Dijelaskannya, bila permintaan tersebut dipenuhi, keterlambatan penerbangan bisa dikurangi.

“Kemarin saya juga mengalami delay 24 jam. Itu terjadi karena terminal sangat padat, sehingga harus mengantri,” katanya.

Dikatakannya, Garuda sebagai salah satu maskapai dengan jemaah haji terbesar telah pantas untuk mendapatkan dedicated terminal atau terminal yang khusus untuk satu maskapai saja.

Seperti diketahui, setiap tahunnya  lebih dari 200.000 orang melakukan ibadah haji ke Saudi. Setengahnya diterbangkan melalui Saudi Arabian Airlines dan setengahnya melalui Garuda.

Saat ini Saudi Arabian Airlines telah memiliki dedicated terminal di Bandara King Abdul Aziz, sementara Garuda belum.

“Padahal, pada 10 hari fase pemulangan haji, Garuda sering mengalami keterlambatan penerbangan karena terminal digunakan oleh maskapai di seluruh dunia sehingga harus mengantre. Dampaknya sering terjadi keterlambatan,” katanya.

Menurutnya, jika pada kasus tempo hari pihak bandara bisa memberikan satu terminal khusus untuk Garuda, maka hal yang wajar jika Kemhub meminta untuk dipermanenkan.

Selanjutnya Bambang mengungkapkan, bagi investor yang bermain di infrastruktur perhubungan, sekarang saat yang tepat untuk berinvestasi.

“Ini saatnya bagi para pemain untuk berinvestasi. Sentimen positif perekonomian itu tidak slamanya ada,” katanya.

Menurutnya, adanya sentimen positif perekonomian tidak membutuhkan pemerintah untuk berinvestasi besar. “Pemerintah hanya perlu mempermudah perijinan. Saya yakin swasta akan gampang dapat pinjaman dari lembaga keuangan,” jelasnya.[Dni]

261110 2011, Penjualan PC Capai 5,3 juta Unit

JAKARTA–Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) memperkirakan penjualan Personal Computer (PC) dan desktop akan mencapai 5,2 juta-5,3 juta unit pada tahun depan walau komputer tablet mulai menarik minat pasar.

“Kalau tahun ini diperkirakan pertumbuhannya mencapai 30 persen dibandingkan tahun lalu atau 3,8 juta unit untuk PC,” ungkap Ketua Umum Apkomindo Suhanda Widjaja di Jakarta, Kamis (25/11).

Menurutnya, dengan tingkat pertumbuhan 30 persen maka Indonesia masih menjadi pasar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia yang tumbuh antara 15 dan 20 persen per tahun.

Dijelaskannya, Apkomindo secara bertahap akan mengedukasi anggota menyusul berkembangnya wacana untuk menggarap bisnis jasa meski sebagian dari total sekitar 2.000 anggota asosiasi itu juga sudah menggelar service

Sementara itu, Ketua DPD Apkomindo Riau Ridwan mengungkapkan pengusaha komputer di daerah meminta adanya kejelasan kegiatan yang dibuat oleh Yayasan Apkomindo Indonesia (YAI) terutama berkaitan dengan pameran di daerah.

“Kami tidak keberatan adanya YAI, tetapi kalau membuat pameran seperti Indocomtech, tentu membunuh pengusaha di daerah. Pameran itu alat untuk berjualan,” tegasnya.

Untuk diketahui, polemik antara. Apkomindo dengan YAI bermula dari diambilalihnya hak penyelenggaraan pameran komputer terbesar di Indonesia, Indocomtech oleh YAI dari Apkomindo sejak 2007 yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan pameran serupa di daerah seperti Yogyakarta dan Surabaya.

Sebelum 2007, selama 15 tahun penyelenggaraan Indocomtech dilakukan oleh Apkomindo yang memosisikan diri sebagai asosiasi, tetapi sejak 2007 mereka menyebut sebagai Yayasan Apkomindo.

Sementara itu, Apkomindo sejak 2007 juga menyelenggarakan kegiatan pameran komputer tahunan bernama National IT eXpo (NIX) yang diadakan di beberapa kota besar termasuk Jakarta.

Ridwan menegaskan, sejak awal pendiriannya, YAI bukanlah organisasi profit tetapi seharusnya secara aktif memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya teknologi informasi sehingga secara otomatis membantu asosiasi dalam mendongkrak penjualan komputer.

Ridwan menyesalkan YAI yang malah berebut lahan penjualan komputer dengan Apkomindo sehingga merugikan pengusaha di daerah.

Ketua Umum YAI Hidayat Tjokrodjojo mengatakan yayasan merupakan kelanjutan dari kiprah Apkomindo, yang untuk pertama kali dicanangkan oleh Sonny Franslay.

Namun, kiprah yayasan sendiri baru dimulai dalam 3 tahun terakhir, yaitu sejak penyelenggaraan Indocomtech pada 2007.

Ridwan melanjutkan pihaknya bersama pengurus Apkomindo di daerah lainnya mendesak DPP Apkomindo untuk bertindak tegas kepada YAI agar pengusaha di daerah tidak banyak dirugikan karena kue pameran yang diambil alih.

Menanggapi hal itu, Suhanda mengungkapkan pihaknya hanya bisa mengimbau agar program YAI tidak berbenturan dengan program Apkomindo.

Pameran Indocomtech memang menawarkan rupiah yang lumayan. Berdasarkan catatan, 105.764 orang pengunjung pameran pada 2009. Jumlah pengunjung tersebut lebih tinggi ketimbang gelaran IndoComtech 2008 yang hanya menggaet 96.000 orang pengunjung.

Pada penyelenggaraannya pada tahun ini tercatat sekitar 200.000 pengunjung dengan target transaksi sekitar 650 miliar rupiah. [Dni]

251110 Menanti dukungan Bagi Ekosistem Manufaktur TI

YTL Communications akhirnya merilis layanan  Worldwide Interoperablity for Microwave Access (WiMAX ) dengan merek dagang Yes di Malaysia pekan lalu. Yes menjadi  produk  WiMAX keempat di negeri itu dengan standar 16.e.

Situs Celullar News mengungkapkan YTL akan  membenamkan dana sebesar 850 juta dollar AS untuk membangun jaringan WiMAX. Yes menawarkan layanan teknologi yang tidak hanya menghantarkan data, tetapi juga kemampuan suara dengan Voice Over Internet Protocol (VoIP) yang memiliki interkoneksi dengan pemain lama.

Di Malaysia sendiri terdapat tiga  pemain WiMAX lainnya yang telah hadir lebih dulu  yakni Asia Space sdn bhd,  Redtone sdn bhd, dan Packetone Networks sdn bhd (P1). P1 menjangku 40 persen wilayah Malaysia dan telah memiliki 196 ribu pelanggan.

Jika dilihat secara sekilas, Malaysia dan Indonesia hampir mirip dalam pengembangan teknologi WiMax, baik  untuk pembagian zona layanan atau pilihan frekuensi.  Bedanya,  Indonesia memilih standar  WiMAX  16 d atau  nomadic dan tidak diperbolehkan untuk suara. Sementara di Malaysia pilihan standar adalah 16 e dan jasa suara bisa dijual oleh operator.

Lantas kenapa di Indonesia hingga sekarang belum ada tanda-tanda peluncuran secara komersial teknologi tersebut setelah dua tahun lisensi di berikan kepada 8 operator?

Jawabannya adalah belum dibangunnya ekosistem manufaktur secara konsisten oleh pemerintah sehingga  yang terjadi adalah tarik menarik antara kepentingan bisnis dan idealisme. Hal itu bisa terlihat dari keinginan  operator  agar  diterapkan standar 16 e  guna memberi jalan bagi  vendor global dan  kemudahan menggaet pemodal asing.

Padahal,  pemerintah memilih  standar 16 d karena  menginginkan majunya manufaktur lokal dalam pengembangan teknologi WiMAX. Hal itu terlihat dari adanya kewajiban  kandungan lokal (TKDN) minimal 30 persen  untuk subscriber station (SS) dan 40 persen untuk base station (BS).  Standar ini juga bagian dari strategi  entry barrier masuknya produk asing ke dalam negeri.

Disiplin Implementasi
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan, sebenarnya konsep pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia sudah bagus, hanya tidak disiplin dalam implementasi.

“Pemerintah  ingin memajukan manufaktur lokal, tetapi tidak melihat  kenyataan.  Harusnya dibangun sinergi antara operator, manufaktur, dan pemerintah sehingga tidak ada tarik menarik seperti belakangan ini,” katanya.

Dijelaskannya, perbedaan nyata antara Malaysia dan Indonesia dalam mengembangkan masyarakat berbasis broadband pada  perencanaan yang jelas dan adanya dukungan dari pemimpin tertingginya.

“Malaysia mengembangkan roadmap broadband tidak bergeser dari rencana yang telah ditetapkan. Hasilnya penterasi broadband mencapai 53,5 persen dari total populasi. Semua ini  karena pemimpin negara menyatakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sebagai salah satu penggerak ekonomi. Di Indonesia dukungan pemimpin itu sebatas wacana,” keluhnya.

Perbedaan lain terletak pada komitmen mendukung industri dengan membentuk lembaga penelitian yang memiliki  format perseroan yakni Mimos. “Mimos itu sebenarnya sama saja dengan Pusat Pengembangan Informasi Teknologi (Puspitek) di Serpong. Bedanya cara pengelolaannya tidak bermental birokrat tetapi ala pengusaha. Dampaknya, orang pintar Malaysia yang di luar negeri balik kampung karena dihargai di negeri sendiri dengan pembayaran hak kekayaan intelektual yang jelas,” ketusnya.

Pengamat telematika Suhono Harso Supangkat mengatakan, sebenarnya regulasi yang dibuat oleh  Postel dua tahun lalu dengan memaksa adanya kandungan lokal sudah bagus. “Masalahnya  niat dari masing-masing pemain beda-beda. Jadinya, semua mengambang saja,” katanya.

Menurutnya, kelemahan membangun ekosistem manufaktur di Indonesia karena  proses monitoring dan cara mengajaknya tidak dilakukan dengan baik. “Konsep Mimos di Malaysia adalah membuat sesuatu yang bisa mendorong industri berjalan. Nah, di Indonesia manufaktur melakukan penelitian sendiri, sementara peneliti pemerintah malah lebih banyak menghasilkan sesuatu yang tidak marketable.  Padahal investasi yang besar untuk manufaktur itu adalah di penelitian. Harusnya pemerintah memfasilitasi ini,” katanya.

Pengamat telekomunikasi Johnny Swandi Sjam mengingatkan, pemerintah harus mulai menata ekosistem manufaktur lokal karena bisa menghemat devisa dan menyerap tenaga kerja. “Saat ini kebutuhan TIK itu 90 persen masih diimpor, belum lagi investasi di  R&D lumayan tinggi. Jika memang ingin  meretas ekosistem melalui WiMAX, tunjukkan dukungan dari hulu ke hilir. Misalnya, berinvestasi dengan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penelitian  yang terintegrasi oleh pemerintah,” tegasnya.

Koordinator ICT dan R&D Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) M. Mustafa Sarinanto mengatakan,  Indonesia seharusnya bisa lebih maju dari Malaysia dalam pengembangan TIK karena sudah memiliki lebih dulu semua konsep yang dijalankan negeri jiran itu.

“Memang, untuk  beberapa laboratorium yang dmiliki masih berserakan di berbagai tempat. Jika ingin mengintegrasikan harus ada reformasi birokrasi dulu. Padahal jika lembaga seperti Mimos kita miliki bisa menghemat investasi manufaktur sebesar 20-30 persen,” katanya.

Sementara Direktur Utama  Xirka Silicon Technology (Xirka) Sylvia W Sumarlin mengakui, swasta tidak akan sanggup untuk berinvestasi besar membangun lembaga penelitian karena teknologi terus berubah. “Swasta itu bisanya menggandeng pemerintah. Pemerintahlah yang harus berinvestasi mendukung pengembangan produk lokal. Ini baru namanya ekosistem yang sehat terjadi,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil sikap realistis dalam penetapan satu teknologi. “Tidak bisa dipatok harus menggunakan satu standar padahal teknologi itu dinamis. Pemilihan standar 16d itu membuat Indonesia terbelenggu. Harusnya yang dibuat itu adalah keharusan adanya aplikasi lokal yang digunakan sehingga perangkat apapun yang masuk akan tetap menggandeng anak negeri untuk pengembangan aplikasi,” jelasnya.[dni]

Menanti dukungan Bagi  Ekosistem Manufaktur TI

YTL Communications akhirnya merilis layanan  Worldwide Interoperablity for Microwave Access (WiMAX ) dengan merek dagang Yes di Malaysia pekan lalu. Yes menjadi  produk  WiMAX keempat di negeri itu dengan standar 16.e.

Situs Celullar News mengungkapkan YTL akan  membenamkan dana sebesar 850 juta dollar AS untuk membangun jaringan WiMAX. Yes menawarkan layanan teknologi yang tidak hanya menghantarkan data, tetapi juga kemampuan suara dengan Voice Over Internet Protocol (VoIP) yang memiliki interkoneksi dengan pemain lama.

Di Malaysia sendiri terdapat tiga  pemain WiMAX lainnya yang telah hadir lebih dulu  yakni Asia Space sdn bhd,  Redtone sdn bhd, dan Packetone Networks sdn bhd (P1). P1 menjangku 40 persen wilayah Malaysia dan telah memiliki 196 ribu pelanggan.

Jika dilihat secara sekilas, Malaysia dan Indonesia hampir mirip dalam pengembangan teknologi WiMax, baik  untuk pembagian zona layanan atau pilihan frekuensi.  Bedanya,  Indonesia memilih standar  WiMAX  16 d atau  nomadic dan tidak diperbolehkan untuk suara. Sementara di Malaysia pilihan standar adalah 16 e dan jasa suara bisa dijual oleh operator.

Lantas kenapa di Indonesia hingga sekarang belum ada tanda-tanda peluncuran secara komersial teknologi tersebut setelah dua tahun lisensi di berikan kepada 8 operator?

Jawabannya adalah belum dibangunnya ekosistem manufaktur secara konsisten oleh pemerintah sehingga  yang terjadi adalah tarik menarik antara kepentingan bisnis dan idealisme. Hal itu bisa terlihat dari keinginan  operator  agar  diterapkan standar 16 e  guna memberi jalan bagi  vendor global dan  kemudahan menggaet pemodal asing.

Padahal,  pemerintah memilih  standar 16 d karena  menginginkan majunya manufaktur lokal dalam pengembangan teknologi WiMAX. Hal itu terlihat dari adanya kewajiban  kandungan lokal (TKDN) minimal 30 persen  untuk subscriber station (SS) dan 40 persen untuk base station (BS).  Standar ini juga bagian dari strategi  entry barrier masuknya produk asing ke dalam negeri.

Disiplin Implementasi
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan, sebenarnya konsep pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia sudah bagus, hanya tidak disiplin dalam implementasi.

“Pemerintah  ingin memajukan manufaktur lokal, tetapi tidak melihat  kenyataan.  Harusnya dibangun sinergi antara operator, manufaktur, dan pemerintah sehingga tidak ada tarik menarik seperti belakangan ini,” katanya.

Dijelaskannya, perbedaan nyata antara Malaysia dan Indonesia dalam mengembangkan masyarakat berbasis broadband pada  perencanaan yang jelas dan adanya dukungan dari pemimpin tertingginya.

“Malaysia mengembangkan roadmap broadband tidak bergeser dari rencana yang telah ditetapkan. Hasilnya penterasi broadband mencapai 53,5 persen dari total populasi. Semua ini  karena pemimpin negara menyatakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sebagai salah satu penggerak ekonomi. Di Indonesia dukungan pemimpin itu sebatas wacana,” keluhnya.

Perbedaan lain terletak pada komitmen mendukung industri dengan membentuk lembaga penelitian yang memiliki  format perseroan yakni Mimos. “Mimos itu sebenarnya sama saja dengan Pusat Pengembangan Informasi Teknologi (Puspitek) di Serpong. Bedanya cara pengelolaannya tidak bermental birokrat tetapi ala pengusaha. Dampaknya, orang pintar Malaysia yang di luar negeri balik kampung karena dihargai di negeri sendiri dengan pembayaran hak kekayaan intelektual yang jelas,” ketusnya.

Pengamat telematika Suhono Harso Supangkat mengatakan, sebenarnya regulasi yang dibuat oleh  Postel dua tahun lalu dengan memaksa adanya kandungan lokal sudah bagus. “Masalahnya  niat dari masing-masing pemain beda-beda. Jadinya, semua mengambang saja,” katanya.

Menurutnya, kelemahan membangun ekosistem manufaktur di Indonesia karena  proses monitoring dan cara mengajaknya tidak dilakukan dengan baik. “Konsep Mimos di Malaysia adalah membuat sesuatu yang bisa mendorong industri berjalan. Nah, di Indonesia manufaktur melakukan penelitian sendiri, sementara peneliti pemerintah malah lebih banyak menghasilkan sesuatu yang tidak marketable.  Padahal investasi yang besar untuk manufaktur itu adalah di penelitian. Harusnya pemerintah memfasilitasi ini,” katanya.

Pengamat telekomunikasi Johnny Swandi Sjam mengingatkan, pemerintah harus mulai menata ekosistem manufaktur lokal karena bisa menghemat devisa dan menyerap tenaga kerja. “Saat ini kebutuhan TIK itu 90 persen masih diimpor, belum lagi investasi di  R&D lumayan tinggi. Jika memang ingin  meretas ekosistem melalui WiMAX, tunjukkan dukungan dari hulu ke hilir. Misalnya, berinvestasi dengan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penelitian  yang terintegrasi oleh pemerintah,” tegasnya.

Koordinator ICT dan R&D Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) M. Mustafa Sarinanto mengatakan,  Indonesia seharusnya bisa lebih maju dari Malaysia dalam pengembangan TIK karena sudah memiliki lebih dulu semua konsep yang dijalankan negeri jiran itu.

“Memang, untuk  beberapa laboratorium yang dmiliki masih berserakan di berbagai tempat. Jika ingin mengintegrasikan harus ada reformasi birokrasi dulu. Padahal jika lembaga seperti Mimos kita miliki bisa menghemat investasi manufaktur sebesar 20-30 persen,” katanya.

Sementara Direktur Utama  Xirka Silicon Technology (Xirka) Sylvia W Sumarlin mengakui, swasta tidak akan sanggup untuk berinvestasi besar membangun lembaga penelitian karena teknologi terus berubah. “Swasta itu bisanya menggandeng pemerintah. Pemerintahlah yang harus berinvestasi mendukung pengembangan produk lokal. Ini baru namanya ekosistem yang sehat terjadi,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil sikap realistis dalam penetapan satu teknologi. “Tidak bisa dipatok harus menggunakan satu standar padahal teknologi itu dinamis. Pemilihan standar 16d itu membuat Indonesia terbelenggu. Harusnya yang dibuat itu adalah keharusan adanya aplikasi lokal yang digunakan sehingga perangkat apapun yang masuk akan tetap menggandeng anak negeri untuk pengembangan aplikasi,” jelasnya.[dni]