YTL Communications akhirnya merilis layanan Worldwide Interoperablity for Microwave Access (WiMAX ) dengan merek dagang Yes di Malaysia pekan lalu. Yes menjadi produk WiMAX keempat di negeri itu dengan standar 16.e.
Situs Celullar News mengungkapkan YTL akan membenamkan dana sebesar 850 juta dollar AS untuk membangun jaringan WiMAX. Yes menawarkan layanan teknologi yang tidak hanya menghantarkan data, tetapi juga kemampuan suara dengan Voice Over Internet Protocol (VoIP) yang memiliki interkoneksi dengan pemain lama.
Di Malaysia sendiri terdapat tiga pemain WiMAX lainnya yang telah hadir lebih dulu yakni Asia Space sdn bhd, Redtone sdn bhd, dan Packetone Networks sdn bhd (P1). P1 menjangku 40 persen wilayah Malaysia dan telah memiliki 196 ribu pelanggan.
Jika dilihat secara sekilas, Malaysia dan Indonesia hampir mirip dalam pengembangan teknologi WiMax, baik untuk pembagian zona layanan atau pilihan frekuensi. Bedanya, Indonesia memilih standar WiMAX 16 d atau nomadic dan tidak diperbolehkan untuk suara. Sementara di Malaysia pilihan standar adalah 16 e dan jasa suara bisa dijual oleh operator.
Lantas kenapa di Indonesia hingga sekarang belum ada tanda-tanda peluncuran secara komersial teknologi tersebut setelah dua tahun lisensi di berikan kepada 8 operator?
Jawabannya adalah belum dibangunnya ekosistem manufaktur secara konsisten oleh pemerintah sehingga yang terjadi adalah tarik menarik antara kepentingan bisnis dan idealisme. Hal itu bisa terlihat dari keinginan operator agar diterapkan standar 16 e guna memberi jalan bagi vendor global dan kemudahan menggaet pemodal asing.
Padahal, pemerintah memilih standar 16 d karena menginginkan majunya manufaktur lokal dalam pengembangan teknologi WiMAX. Hal itu terlihat dari adanya kewajiban kandungan lokal (TKDN) minimal 30 persen untuk subscriber station (SS) dan 40 persen untuk base station (BS). Standar ini juga bagian dari strategi entry barrier masuknya produk asing ke dalam negeri.
Disiplin Implementasi
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan, sebenarnya konsep pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia sudah bagus, hanya tidak disiplin dalam implementasi.
“Pemerintah ingin memajukan manufaktur lokal, tetapi tidak melihat kenyataan. Harusnya dibangun sinergi antara operator, manufaktur, dan pemerintah sehingga tidak ada tarik menarik seperti belakangan ini,” katanya.
Dijelaskannya, perbedaan nyata antara Malaysia dan Indonesia dalam mengembangkan masyarakat berbasis broadband pada perencanaan yang jelas dan adanya dukungan dari pemimpin tertingginya.
“Malaysia mengembangkan roadmap broadband tidak bergeser dari rencana yang telah ditetapkan. Hasilnya penterasi broadband mencapai 53,5 persen dari total populasi. Semua ini karena pemimpin negara menyatakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sebagai salah satu penggerak ekonomi. Di Indonesia dukungan pemimpin itu sebatas wacana,” keluhnya.
Perbedaan lain terletak pada komitmen mendukung industri dengan membentuk lembaga penelitian yang memiliki format perseroan yakni Mimos. “Mimos itu sebenarnya sama saja dengan Pusat Pengembangan Informasi Teknologi (Puspitek) di Serpong. Bedanya cara pengelolaannya tidak bermental birokrat tetapi ala pengusaha. Dampaknya, orang pintar Malaysia yang di luar negeri balik kampung karena dihargai di negeri sendiri dengan pembayaran hak kekayaan intelektual yang jelas,” ketusnya.
Pengamat telematika Suhono Harso Supangkat mengatakan, sebenarnya regulasi yang dibuat oleh Postel dua tahun lalu dengan memaksa adanya kandungan lokal sudah bagus. “Masalahnya niat dari masing-masing pemain beda-beda. Jadinya, semua mengambang saja,” katanya.
Menurutnya, kelemahan membangun ekosistem manufaktur di Indonesia karena proses monitoring dan cara mengajaknya tidak dilakukan dengan baik. “Konsep Mimos di Malaysia adalah membuat sesuatu yang bisa mendorong industri berjalan. Nah, di Indonesia manufaktur melakukan penelitian sendiri, sementara peneliti pemerintah malah lebih banyak menghasilkan sesuatu yang tidak marketable. Padahal investasi yang besar untuk manufaktur itu adalah di penelitian. Harusnya pemerintah memfasilitasi ini,” katanya.
Pengamat telekomunikasi Johnny Swandi Sjam mengingatkan, pemerintah harus mulai menata ekosistem manufaktur lokal karena bisa menghemat devisa dan menyerap tenaga kerja. “Saat ini kebutuhan TIK itu 90 persen masih diimpor, belum lagi investasi di R&D lumayan tinggi. Jika memang ingin meretas ekosistem melalui WiMAX, tunjukkan dukungan dari hulu ke hilir. Misalnya, berinvestasi dengan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penelitian yang terintegrasi oleh pemerintah,” tegasnya.
Koordinator ICT dan R&D Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) M. Mustafa Sarinanto mengatakan, Indonesia seharusnya bisa lebih maju dari Malaysia dalam pengembangan TIK karena sudah memiliki lebih dulu semua konsep yang dijalankan negeri jiran itu.
“Memang, untuk beberapa laboratorium yang dmiliki masih berserakan di berbagai tempat. Jika ingin mengintegrasikan harus ada reformasi birokrasi dulu. Padahal jika lembaga seperti Mimos kita miliki bisa menghemat investasi manufaktur sebesar 20-30 persen,” katanya.
Sementara Direktur Utama Xirka Silicon Technology (Xirka) Sylvia W Sumarlin mengakui, swasta tidak akan sanggup untuk berinvestasi besar membangun lembaga penelitian karena teknologi terus berubah. “Swasta itu bisanya menggandeng pemerintah. Pemerintahlah yang harus berinvestasi mendukung pengembangan produk lokal. Ini baru namanya ekosistem yang sehat terjadi,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil sikap realistis dalam penetapan satu teknologi. “Tidak bisa dipatok harus menggunakan satu standar padahal teknologi itu dinamis. Pemilihan standar 16d itu membuat Indonesia terbelenggu. Harusnya yang dibuat itu adalah keharusan adanya aplikasi lokal yang digunakan sehingga perangkat apapun yang masuk akan tetap menggandeng anak negeri untuk pengembangan aplikasi,” jelasnya.[dni]
Menanti dukungan Bagi Ekosistem Manufaktur TI
YTL Communications akhirnya merilis layanan Worldwide Interoperablity for Microwave Access (WiMAX ) dengan merek dagang Yes di Malaysia pekan lalu. Yes menjadi produk WiMAX keempat di negeri itu dengan standar 16.e.
Situs Celullar News mengungkapkan YTL akan membenamkan dana sebesar 850 juta dollar AS untuk membangun jaringan WiMAX. Yes menawarkan layanan teknologi yang tidak hanya menghantarkan data, tetapi juga kemampuan suara dengan Voice Over Internet Protocol (VoIP) yang memiliki interkoneksi dengan pemain lama.
Di Malaysia sendiri terdapat tiga pemain WiMAX lainnya yang telah hadir lebih dulu yakni Asia Space sdn bhd, Redtone sdn bhd, dan Packetone Networks sdn bhd (P1). P1 menjangku 40 persen wilayah Malaysia dan telah memiliki 196 ribu pelanggan.
Jika dilihat secara sekilas, Malaysia dan Indonesia hampir mirip dalam pengembangan teknologi WiMax, baik untuk pembagian zona layanan atau pilihan frekuensi. Bedanya, Indonesia memilih standar WiMAX 16 d atau nomadic dan tidak diperbolehkan untuk suara. Sementara di Malaysia pilihan standar adalah 16 e dan jasa suara bisa dijual oleh operator.
Lantas kenapa di Indonesia hingga sekarang belum ada tanda-tanda peluncuran secara komersial teknologi tersebut setelah dua tahun lisensi di berikan kepada 8 operator?
Jawabannya adalah belum dibangunnya ekosistem manufaktur secara konsisten oleh pemerintah sehingga yang terjadi adalah tarik menarik antara kepentingan bisnis dan idealisme. Hal itu bisa terlihat dari keinginan operator agar diterapkan standar 16 e guna memberi jalan bagi vendor global dan kemudahan menggaet pemodal asing.
Padahal, pemerintah memilih standar 16 d karena menginginkan majunya manufaktur lokal dalam pengembangan teknologi WiMAX. Hal itu terlihat dari adanya kewajiban kandungan lokal (TKDN) minimal 30 persen untuk subscriber station (SS) dan 40 persen untuk base station (BS). Standar ini juga bagian dari strategi entry barrier masuknya produk asing ke dalam negeri.
Disiplin Implementasi
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengungkapkan, sebenarnya konsep pengembangan teknologi WiMAX di Indonesia sudah bagus, hanya tidak disiplin dalam implementasi.
“Pemerintah ingin memajukan manufaktur lokal, tetapi tidak melihat kenyataan. Harusnya dibangun sinergi antara operator, manufaktur, dan pemerintah sehingga tidak ada tarik menarik seperti belakangan ini,” katanya.
Dijelaskannya, perbedaan nyata antara Malaysia dan Indonesia dalam mengembangkan masyarakat berbasis broadband pada perencanaan yang jelas dan adanya dukungan dari pemimpin tertingginya.
“Malaysia mengembangkan roadmap broadband tidak bergeser dari rencana yang telah ditetapkan. Hasilnya penterasi broadband mencapai 53,5 persen dari total populasi. Semua ini karena pemimpin negara menyatakan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) sebagai salah satu penggerak ekonomi. Di Indonesia dukungan pemimpin itu sebatas wacana,” keluhnya.
Perbedaan lain terletak pada komitmen mendukung industri dengan membentuk lembaga penelitian yang memiliki format perseroan yakni Mimos. “Mimos itu sebenarnya sama saja dengan Pusat Pengembangan Informasi Teknologi (Puspitek) di Serpong. Bedanya cara pengelolaannya tidak bermental birokrat tetapi ala pengusaha. Dampaknya, orang pintar Malaysia yang di luar negeri balik kampung karena dihargai di negeri sendiri dengan pembayaran hak kekayaan intelektual yang jelas,” ketusnya.
Pengamat telematika Suhono Harso Supangkat mengatakan, sebenarnya regulasi yang dibuat oleh Postel dua tahun lalu dengan memaksa adanya kandungan lokal sudah bagus. “Masalahnya niat dari masing-masing pemain beda-beda. Jadinya, semua mengambang saja,” katanya.
Menurutnya, kelemahan membangun ekosistem manufaktur di Indonesia karena proses monitoring dan cara mengajaknya tidak dilakukan dengan baik. “Konsep Mimos di Malaysia adalah membuat sesuatu yang bisa mendorong industri berjalan. Nah, di Indonesia manufaktur melakukan penelitian sendiri, sementara peneliti pemerintah malah lebih banyak menghasilkan sesuatu yang tidak marketable. Padahal investasi yang besar untuk manufaktur itu adalah di penelitian. Harusnya pemerintah memfasilitasi ini,” katanya.
Pengamat telekomunikasi Johnny Swandi Sjam mengingatkan, pemerintah harus mulai menata ekosistem manufaktur lokal karena bisa menghemat devisa dan menyerap tenaga kerja. “Saat ini kebutuhan TIK itu 90 persen masih diimpor, belum lagi investasi di R&D lumayan tinggi. Jika memang ingin meretas ekosistem melalui WiMAX, tunjukkan dukungan dari hulu ke hilir. Misalnya, berinvestasi dengan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penelitian yang terintegrasi oleh pemerintah,” tegasnya.
Koordinator ICT dan R&D Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) M. Mustafa Sarinanto mengatakan, Indonesia seharusnya bisa lebih maju dari Malaysia dalam pengembangan TIK karena sudah memiliki lebih dulu semua konsep yang dijalankan negeri jiran itu.
“Memang, untuk beberapa laboratorium yang dmiliki masih berserakan di berbagai tempat. Jika ingin mengintegrasikan harus ada reformasi birokrasi dulu. Padahal jika lembaga seperti Mimos kita miliki bisa menghemat investasi manufaktur sebesar 20-30 persen,” katanya.
Sementara Direktur Utama Xirka Silicon Technology (Xirka) Sylvia W Sumarlin mengakui, swasta tidak akan sanggup untuk berinvestasi besar membangun lembaga penelitian karena teknologi terus berubah. “Swasta itu bisanya menggandeng pemerintah. Pemerintahlah yang harus berinvestasi mendukung pengembangan produk lokal. Ini baru namanya ekosistem yang sehat terjadi,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil sikap realistis dalam penetapan satu teknologi. “Tidak bisa dipatok harus menggunakan satu standar padahal teknologi itu dinamis. Pemilihan standar 16d itu membuat Indonesia terbelenggu. Harusnya yang dibuat itu adalah keharusan adanya aplikasi lokal yang digunakan sehingga perangkat apapun yang masuk akan tetap menggandeng anak negeri untuk pengembangan aplikasi,” jelasnya.[dni]
November 25, 2010
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar