Belum lama ini Universitas Indonesia (UI) bersama beberapa operator berinisiatif membentuk Forum Konvergensi Telekomunikasi (Konvertel). Operator yang menjadi anggota Konvertel adalah Telkom, Telkomsel, Indosat, IM2, dan XL.
Dibentuknya Konvertel tak bisa dilepaskan dari kesadaran para pelaku usaha dan akademisi bahwa era konvergensi tak bisa dielakkan segera terjadi di industri telekomunikasi Indonesia.
”Forum ini untuk memberikan asupan dan kontribusi bagi usaha-usaha penghematan devisa untuk pengelolaan infrastruktur informasi yang lebih efisien dan berdaya guna,” jelas Dosen Senior Departemen Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) Purnomo Sidi Priambodo di Jakarta, belum lama ini.
Pengamat telematika dari UI Muhamad Asvial menjelaskan, saat ini banyak isu yang berkaitan dengan konvergensi belum terselesaikan. “Masalah keterhubungan (interoperability) adalah hal krusial belum terselesaikan. Saya rasa jika ini belum diselesaikan, konvergensi dalam pengertian ubiquitous service networks akan membutuhkan waktu yang lama,” katanya.
Namun, dia mengingatkan, konvergensi jaringan antara struktur Fixed dan mobile tak bisa dielakkan harus dilakukan karena bisa menjadi solusi antara ekspansi bisnis dan menekan biaya operasional. “Sebenarnya dengan teknologi baru yang ada konvergensi telah terjadi walau sepotong-potong alias belum ubiquitous,” katanya.
Konvergensi adalah menyatukan berbagai layanan telekomunikasi dan penyiaran ke dalam satu media. Kondisi ini menjadikan dengan hanya satu media pelanggan dapat menikmati berbagai jenis layanan seperti triple play (teleponi, video dan text termasuk di dalamnya layanan streaming broadcast dan video on-demand) maupun Quad play dengan andalannya adalah teknologi akses tanpa kabel (wireless).
Salah satu contoh negara yang menerapkan konvergensi antara jaringan Fixed dan mobile adalah Hungaria dimana dua operator, T-Mobile dan T-Comm, menyatukan jaringannya dengan bantuan solusi dari Huawei.
Penyatuan dilakukan oleh kedua operator karena menyadari layanan telepon tetap (Fixed) mulai terancam oleh layanan Voice Over Internet Protocol (Voip), sedangkan jasa seluler (mobile) mengalami tren penurunan Average Revenue Per Users (ARPU).
Tiga Tahun
COO Telkom Ermady Dahlan memperkirakan, kondisi konvergensi yang total alias ubiquitous baru bisa terjadi tiga tahun lagi
.
”Jika hanya konvergensi yang sepotong-potong seperti triple play itu sudah akan terjadi pada tahun depan. Telkom saja akan menggelar triple play plus pada kuartal pertama 2010,” jelasnya.
Dijelaskannya, dalam era full konvergensi hal yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan bandwitdh, fully mobility, perangkat yang seamlesss, dan konten lokal yang berlimpah.
”Di era ini jaringan bergerak dan tetap akan menyatu. Untuk ini dibutuhkan regulasi yang mendukung dari pemerintah dan konten lokal yang bisa menarik pelanggan,” katanya.
Ermady menjelaskan, selain mempersiapkan jaringan menuju Next Generation Network (NGN) yang berbasis Internet Protocol (IP), para pelaku usaha sedang membahas masalah penetapan harga jika konvergensi total dilaksanakan. Terdapat beberapa skenario yakni berbasiskan volume, waktu, bulk, atau kombinasi dari ketiganya.
Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini mengakui konvergensi adalah tren industri telekomunikasi masa depan. “Idealnya sebelum operator melangkah ke era konvergensi, regulasi sudah siap. Regulasi yang diperlukan secepatnya yang mengatur tentang arah infrastruktur, lisensi, dan interkoneksi,” tegasnya.
Sementara Sekjen Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar mengatakan, konvergensi di sisi jaringan memang dibutuhkan oleh industri telekomunikasi untuk menghemat belanja modal dan biaya operasional di masa depan.
Menurut dia, operator di Indonesia selama ini banyak menerapkan karakteristik model investasi berdasarkan tingkat pencapaian pasar karena ingin menguasai seluruh segmen baik dari sisi pelanggan, jaringan maupun layanan dengan kecenderungan pada suatu prinsip bahwa untuk terus bertahan dalam pasar harus mendominasinya sendiri.
“Dampaknya bagi pemain baru sangat berat untuk melakukan kesemuanya sehingga perlu melakukan positioning dari strategi layanannya. Karena itu regulator sekarang sedang mengaji kemungkinan penerapan open access perlu diregulasi atau tidak. Terutama masalah model pembangunan backbone dan backhaul di masa depan yang mendukung infrastruktur sharing,” katanya.
Dampak
Ketua Bidang Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan mengungkapkan, jika konvergensi terjadi maka pelanggan akan mendapatkan beragam jenis layanan, yang dapat dipilih sesuai kegiatan dan gaya hidupnya. Selain tentu memperoleh layanan melalui jaringan yang lebih efisien dari segi eknomis maupun teknologi.
Sedangkan Praktisi Telematika Suryatin Setiawan mengatakan, kepentingan dari pelanggan adalah value for money. “Kalau konvergensi itu betul membawa layanan seamless antara fixed, selular dan media , termasuk customer care dan billing, yang didukung kecepatan akses data dan internet lebih cepat dengan harga tetap kompetitif maka barulah pelanggan merasakan manfaatnya,” katanya.
Untuk masalah penetapan tarif, menurut Taufik, akan lebih adil jika dibuat berdasarkan volume karena pelanggan akan membayar sesuai yang digunakan. “Tetapi jangan ditutup juga peluang bagi operator yang menawarkan skema unlimited,” katanya.
Namun, Dian lebih memiliih pola penagihan ke pelanggan berdasarkan layanan yang diberikan tidak hanya melihat volume.
Sementara untuk nasib operator kecil yang memiliki keterbatasan infrastruktur, Taufik menyarankan, pemerintah harus menciptakan aturan yang mendorong terjadi resource sharing (network and support).
Hal ini karena kecenderungan untuk regulasi di era konvergensi adalah pemisahan operator dari sifat layanan, penyedia jaringanv(network based provider), penyedia jasa (service/application based), penyedia fasilitas (facility based, seperti tower), dan konten.
“Di era konvergensi akan sangat tidak kompetitif kalau memaksa punya semuanya. Ingat konvergensi juga terutama berarti siap menyediakan berbagai layanan artinya jaringan harus canggih,” katanya.
Sedangkan menurut Suryatin, secara alamiah, di Indonesia operator kecil akan sulit hidup di Indonesia dengan kontur geografis yang luas. “Dengan atau tanpa konvergensi, hukum dasarnya, kalau sudah menetapkan investasi sebagai operator telekomunikasi di Indonesia tidak boleh kecil. Jika modal dan semua sumber daya tidak kuat, tentu akan tergilas,” katanya.[dni]