091210 UU No 5/99 Sebaiknya Direvisi

JAKARTA–Para pelaku usaha dan praktisi hukum meminta Undang-Undang No 5/99 tentang anti persaingan tidak sehat direvisi karena sudah tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masa kini.

“UU anti monopoli itu harus diganti karena banyak membawa cacat bawaan sejak lahir. Salah satunya masalah kewenangan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” tegas pengamat hukum persaingan usaha Pande Radja Silalahi di Jakarta, Kamis (8/12).

Diungkapkannya, kala UU tersebut hadir 10 tahun lalu, KPPU periode pertama sudah membuat rencana kerja yakni merevisi UU itu. “Semua itu karena ada kesadaran UU ini memang bermasalah, terutama untuk masalah eksekusi hasil keputusan KPPU,” jelasnya.

Pengamat hukum persaingan lainnya, Erman Radja Guguk menjelaskan, UU anti monopoli sekarang nafasnya sudah tidak sesuai dengan situasi dunia usaha masa kini. “Dulu kala membuat UU ini ada banyak tekanan, salah satunya terkait Letter Of Intent dengan IMF untuk perdagangan bebas. Baiknya direvisi denganm mengusulkan ke pemerintah dan DPR,” jelasnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengakui, UU anti monopoli tidak kondusif bagi dunia usaha. “Semangatnya justru menekan agar harga di pasar turun. Belum lagi masalah posisi dari KPPU yang tidak pernah ditegaskan oleh pemerintah berada dimana,” katanya.

Sementara itu Anggota DPR RI Gayus Lumbun menyarankan, jika pemangku kepentingan tidak merasa nyaman dengan UU anti monopoli terbuka saja untuk direvisi. “DPR dan pemerintah adalah pengawas KPPU. Bagi saya, KPPU sudah bekerja optimal dan perlu lebih diperkuat,” katanya.

Dikatakannya, jika menginginkan perubahan dari UU Anti Monopoli dalam jangka pendek adalah meminta pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan suasana dunia usaha. “Baru-baru ini sudah ada PP tentang akuisisi dan merger, itu sudah bagus. Jadi, jika ada pasal yang tidak sreg dibuat saja revisi dalam PP. Soalnya di Prolegnas tahun ini, revisi UU No 5/99 tidak masuk agenda,” katanya.

Wakil Ketua  KPPU Anna Maria Tri Anggraini mengaku, memang ada kekurangan dalam UU Anti monopoli terutama masalah kelembagaan dan kewenangan.

“Banyak hasil putusan KPPU tidak bisa dieksekusi karena tidak punya wewenang untuk itu. Akhirnya kami harus bekerjasama dengan kepolisian untuk menindaklanjuti,” katanya.

Anna pun merasa heran jika ada pihak-pihak yang menyebutkan KPPU seperti lembaga super karena fakta di lapangan berbicara lain. “Saya rasa munculnya isu untuk revisi UU secara keseluruhan dan menggerus wewenang KPPU itu dari pihak-pihak yang tidak senang dengan sepak terjang kami belakangan yang mulai mengungkap beberapa kasus melibatkan pemain besar,” katanya.

Untuk diketahui, dalam tahun ini KPPU berhasil mengungkap dugaan monopoli yang dilakukan beberapa pelaku usaha di sektor tertentu. Misalnya, kasus monopoli yang dilakukan oleh Pfizer untuk obat-obat darah tinggi, kasus fuel surcharge yang melibatkan maskapai-maskapai besar, dan Carrefour yang diduga menguasai pasar pemasok.[Dni]

091210 Operator Diminta Serius Tangani Keluhan Pelanggan

JAKARTA–Operator telekomunikasi diminta untuk lebih serius menangani keluhan pelanggan guna menekan adanya gejolak sosial yang tak puas terhadap  kualitas layanan pelaku usaha.

“Kami minta operator untuk lebih serius menangani keluhan dari pelanggan. Baik yang datang langsung ke pusat layanan atau melalui telepon dan jejaring sosial. Jika dianggap sepele itu melanggar regulasi,” tegas Juru bicara KemKominfo Gatot S Dewo Broto di Jakarta, Rabu (8/12).

Gatot diminta tanggapannya terkait peristiwa meninggalnya seorang pelanggan Telkomsel di Menado karena mengeluhkan layanan operator tersebut. Disinyalir sempat terjadi adu debat antara pelanggan dan petugas layanan Telkomsel sebelum peristiwa naas itu terjadi.

Menurut Gatot,  jika operator mengikuti aturan dari kualitas layanan, maka hal-hal naas itu bisa dihindari. “Sayangnya kami masih banyak menemui pelanggaran di lapangan. Padahal jika aturan ini diikuti, secara jelas diatur tentang cara penanganan keluhan pelanggan,” katanya.

Ditegaskannya, adanya peristiwa yang menimpa pelanggan Telkomsel itu akan menjadi catatan bagi regulator dalam evaluasi tahunan terhadap kualitas layanan dari operator tersebut. “Denda terhadap pelanggaran kualitas layanan berlaku mulai tahun depan. Tetapi jika kasus yang menimpa pelanggan Telkomsel ini masuk kejadian luar biasa dan ada bukti-bukti kuat secara hukum,  teguran keras bisa saja dilayangkan seusai ada evaluasi darurat,” ketusnya.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono meminta Telkomsel untuk melakukan penyelidikan terkait peristiwa tersebut.

“Operator harus mengoreksi diri jika ternyata petugasnya arogan. Semua pihak harus intropeksi diri. Jangan sampai terulang lagi,” tegasnya.

Secara terpisah,   GM Corporate Communications Telkomsel Ricardo Indra mengaku sedih terkait musibah yang menimpa seorang pelanggannya di pusat layanan perseroan di Menado.

“Telkomsel sangat prihatin atas musibah yang terjadi. Peristiwa ini sedang dalam penyelidikan pihak kepolisian dan Telkomsel menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada pihak berwenang,” katanya.

Dijelaskannya,   selama proses penyelidikan ini, Telkomsel senantiasa terbuka dan bekerjasama dengan aparat terkait untuk dapat mengungkap peristiwa ini.[Dni]

091210 Dua Operator Perbaharui Layanan

JAKARTA—Dua operator seluler memperbaharui layanan untuk meningkatkan kualitas layanan bagi para pelanggannya.

Kedua operator itu adalah Telkomsel dan XL Axiata (XL). Telkomsel meluncurkan paket bundling service paskabayar  dengan merek dagang HALO Fit. Sementara XL menambah jumlah negara untuk tarif murah roaming internasionalnya.

VP Product Marketing Telkomsel Lindayanti Harjono mengungkapkan, jika pelanggan memilih   paket HALO Fit dapat menikmati dobel bonus telepon, SMS, dan layanan data melalui beragam pilihan paket sesuai kebutuhan dengan harga terjangkau, mulai   20 ribu rupiah per bulan.

“HALO Fit memberikan solusi layanan komunikasi terintegrasi dengan beragam paket yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Layanan ini dirancang dalam bentuk pilihan paket menit, SMS, dan layanan data yang di-bundle dalam satu harga, sehingga pelanggan dapat lebih leluasa dalam menentukan rencana anggaran komunikasi,” ungkapnya di Jakarta, belum lama ini.  .

Diungkapkannya, HALO Fit tersedia dalam berbagai pilihan paket berlangganan bulanan dengan harga yang terjangkau, yakni:  20 ribu rupiah,   50 ribu rupiah,  80 ribu rupiah,   150 ribu rupiah, dan 300 ribu rupiah. Pelanggan akan memperoleh bonus pemakaian telepon hingga 600 menit, bonus SMS hingga 2.000 SMS, dan bonus layanan data untuk berinternet hingga 100 MB setiap bulannya. Bonus telepon dan SMS yang terdapat dalam paket HALO Fit dapat digunakan untuk berkomunikasi ke lebih dari 94 juta pelanggan Telkomsel. Sedangkan pengguna kartu Halo eksisting sendiri berjumlah 2 juta nomor.

Sedangkan Direktur Marketing XL Nicanor V Santiago mengatakan, pilihan negara untuk menikmati tarif roaming murah ditambah yakni   Singapura dan HongKong. Program yang berlaku mulai 1 Desember 2010 hingga 30 April 2011  ini akan mengenakan tarif Rp 3.500/menit untuk semua pelanggan XL, berlaku baik untuk menelpon ke Indonesia , menelpon ke negara di mana pelanggan berada (lokal), juga terima telpon. Untuk SMS pelanggan juga di kenakan Rp 3500/SMS.

“Sebelumnya  promo  tarif international roaming semurah tarif nelpon lokal berlaku di 4 negara ( Malaysia , Bangladesh , Srilanka, serta Kamboja), kini tarif semurah menelpon lokal juga berlaku bagi pelanggan yang berada di Singapura dan HongKong. Melalui promo ini, XL membantu pelanggan bisa menghemat biaya roaming hingga 90 persen,” jelasnya.[dni]

091210 IMOCA Desak Skema Bagi Hasil Direvisi

JAKARTA— Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA) mendesak operator untuk mengubah skema bagi hasil dari penjualan konten ke pelanggan untuk mendukung kemajuan bisnis kreatif.

“Pola bagi hasil yang diterapkan sekarang sangat tidak menguntungkan penyedia konten yang masih dalam tahap skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika tidakada revisi, para pemain di bisnis kreatif bisa bertumbangan,” ungkap Ketua Umum IMOCA A Haryawirasma di Jakarta, Rabu (8/12).

Diungkapkannya, selama ini pola bagi hasil dari penjualan satu konten adalah dimulai dari 50:50 antara operator dengan penyedia konten atau dikisaran 65:35 dimana operator mendapatkan bagian yang dominant.

“Konsep ini merugikan para penyedia konten karena selama ini dukungan dari operator untuk memasarkan satu konten tidak maksimal. Operator tak lebih hanya sebagai alat transport untuk membawa satu konten, idealnya pembagian adalah 80:20 dimana yang dominan pembagiannya ada di penyedia konten,” tegasnya.

Menurutnya, permintaan merevisi itu hal yang normal karena selama ini praktik di lapangan untuk melakukan pemasaran secara berkelanjutan adalah tanggung jawab penyedia konten, belum lagi masalah pengembangan konten yang berasal dari ide kreatif para UKM itu.

“Hal lainnya adalah masalah pihak-pihak yang harus dibagi makin banyak seiring pihak-pihak yang bermain terus bertambah. Contohnya untuk penjualan satu lagu, penyedia konten harus membagi kepada label, penyanyi, dan pemilik lagu. Jika pembagian kami kecil, tentu kita tidak bisa menjalankan bisnis,” keluhnya.

Dikatakannya, jika pun penyedia konten mendapatkan bagian yang lebih besar justru akan berdampak positif kepada industri karena akan bermunculan lebih banyak konten kreatif mengingat ada dana untuk penelitian dan pengembangan. “Jadi, tidak seperti sekarang dimana konten yang keluar semuanya seragam. Ini karena tuntutan persaingan yang membuat para kreator menjadi komoditas,” ketusnya.

Sementara itu, berkaitan dengan pertikaian antara IMOCA dengan KemKominfo terkait regulasi SMS Premium, diungkapkannya, sekarang masih dalam proses banding di Mahkamah Agung (MA).

“Kami tetap berprinsip penyedia konten tidak tepat dikenakan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP). Jika masalah mendaftar ke regulator, itu sudah kita jalankan. Tekanan regulasi yang tidak jelas ini membuat bisnis SMS Premium tahun ini tidak akan mencapai angka   2,5-2,8 triliun rupiah,” tegasnya.[dni]

091210 KemKominfo Ajukan Banding ke PTTUN

JAKARTA—Kementrian Komunikasi dan Informatika (KemKominfo) berencana melakukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan PT Internux dalam kasus pencabutan izin prinsip sebagai pemenang lisensi Broadband Wireless Access (BWA) pekan lalu.

“Tentu kami akan melakukan banding terhadap putusan pengadilan itu. Di mata KeKominfo perusahaan itu bersalah karena tidak mampu memenuhi kewajibannya secara tepat waktu. Kebijakan itu akan kami perjuangkan di depan hukum,” tegas Menkominfo Tifatul Sembiring kepada Koran Jakarta, Rabu, (8/12).

Ditegaskannya, masalah kalah di pengadilan merupakan hal yang biasa karena instansi yang dipimpinnya pernah mengalami dalam kasus tender Universal Service Obligation (USO) beberapa tahun lalu. “Biasa itu berdebat di pengadilan. Justru ini bagus sebagai pembelajaran bagi industri,” tegasnya.

Untuk diketahui, izin Internux dicabut pertengahan tahun lalu  karena gagal memenuhi kewajibannya pada negara berupa pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan upfront fee.

Internux adalah perusahaan yang memenangkan tender BWA pada pertengahan tahun lalu untuk area Jabotabek. Perusahaan ini memiliki kewajiban kepada negara berupa BHP frekuensi tahun pertama dan up front fee dengan total  220,06 miliar rupiah.

Langkah mencabut izin dilakukan pemerintah karena menganggap perusahaan ini tidak mampu memenuhi kewajiban setelah diberikan kesempatan  tiga kali untuk memenuhi kewajibannya.  Perusahaan ini kabarnya hanya sanggup membayar 10 persen  dari yang diwajibkan.

Sementara Direktur Utama Internux Adnan Nizar menegaskan, siap meladeni keinginan banding dari pemerintah. “Kami ini sebenarnya berkeinginan mengembangkan dunia internet Indonesia, bukan semata-mata mencari keuntungan. Saya harap pemerintah bisa melihat niat baik ini,” katanya.

Diungkapkannya, selama permohonan banding secara tertulis belum diterima, maka perusahaannya akan mengurus kembali ijin prinsip yang dicabut, dan selanjutnya ijin penyelenggaraan. “Kami ingin mengejar jadwal dari rencana semula untuk menggelar Wimax dengan standar 16d.  Semoga diberi kesempatan oleh pemerintah,” katanya.[dni]

091210 Beda pemain, Beda Perlakuan

Mulusnya jalan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mendapatkan lisensi seluler memunculkan rumor  tak sedap di industri telekomunikasi. Regulator dinilai ada cinta pada satu operator sehingga melupakan khitahnya sebagai pihak netral.

BTEL dikenal tidak hanya sebagai pemilik lisensi Fixed Wireless Access (FWA), tetapi juga Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ).  Untuk SLI, BTEL masih memiliki hutang  belum dibangunnya Sentra Gerbang Internasional (SGI) Kupang-Darwin.

Belum lagi kejelasan SGI di Batam-Singapura terkait kerjasama dengan Moratel yakni penyewaan atau pembelian core. Lebih ironis lagi, regulator yang harusnya menyelesaikan kajian tentang dampak hadirnya SLI 009 milik BTEL di pasar setelah satu tahun tidak jelas laporannya. Padahal, hasil kajian itu dijadikan salah satu dasar perlu atau tidak ditambahnya pemain baru di SLI mengingat XL dan Axis telah mengajukan lisensi tersebut sejak dua tahun lalu.

Sedangkan untuk SLJJ, hingga saat ini BTEL belum ada rencana mengajukan Uji Laik Operasi (ULO) padahal izin prinsip telah diberikan sejak dua tahun lalu. Kabar terbaru adalah perihal  anak usaha,  PT Bakrie Connectivity (Bconnect) yang bermain di jasa data.

Bconnect  di awal kehadirannya sempat dipertanyakan tentang izin yang dikantonginya. Awalnya, anak usaha ini diklaim sebagai reseller dari BTEL yang mengantongi izin Penyedia Jasa Internet (PJI). Namun, entah kenapa BTEL tetap mengurus lisensi PJI bagi Bconnect dan dua bulan lalu izin dikeluarkan oleh regulator.

“Harusnya, diselesaikan dulu hutang BTEL ke regulasi, baru dipertimbangkan diberikan lisensi lainya oleh regulator. Jika belum diselesaikan, BTEL belum layak diberi lisensi seluler,” tegas Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala di Jakarta belum lama ini.

Kamilov menyayangkan sikap yang diambil oleh Ditjen Postel dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dimana merespons permintaan lisensi lebih cepat ketimbang pemain lain. “XL dan Axis mengajukan lisensi SLI sejak lama  tidak ada kedengaran progresnya. BTEL mengajukan Mei lalu, sekarang sudah dalam tahap persiapan membuat modern lisensi. Ini namanya ada perbedaan perlakuan,” tegasnya.

Disarankannya, untuk memberikan transparansi bagi masyarakat dan menghindari tudingan adanya obral lisensi, maka regulator harus menerapkan sistem seleksi dalam pemberian izin selular kepada BTEL.

Apalagi jika mengacu pada PM No 1/2010 pasal 4 yang mengatakan evaluasi diberikan jika pemain sudah memiliki kode akses jaringan dan frekuensi. Sementara BTEL sendiri belum memiliki kode akses jaringan tetapi kode akses wilayah sesuai   Fundamental Technical Plan (FTP).

“Selain itu harus diingat,  PM No. 01/2010 kala dikeluarkan 25 Januari lalu menimbulkan kehebohan di industri telekomunikasi  sebagai revisi dari KM. 20/2001 karena minimnya konsultasi publik yang dilakukan. Pasal 4 di aturan itu   masih menggunakan acuan regulasi lama karena digunakan untuk pemberian lisensi bagi Mobile-8 beberapa tahun lalu. Sekarang terbukti, jika regulasi minim sosialisasi pasti menuai badai di kemudian hari,” ketusnya.

Menanggapi hal itu, Anggota Komite BRTI Nonot Harsono menegaskan, regulator hanya melakukan pekerjaan sehari-hari yakni memproses pengusaha yang meminta izin. “Ini kan masalah first come, first serve. Untuk kasus FWA, sudah lama diwacanakan adanya Unified License. Kenapa sekarang dalam fase realisasi dipermasalahkan,” sesalnya.

Anggota Komite lainnya, M. Ridwan Effendi menegaskan, untuk kasus XL dan Axis tidak bisa diproses lisensi SLI-nya karena belum memenuhi tiga syarat di pasal 4 PM No 1/2010. “Masalah BTEL belum memenuhi kewajiban di lisensi lainnya itu berbeda. Evaluasi dilakukan per ijin, bukan per perusahan,” tegasnya.[dni]

091210 Lisensi Seluler BTEL: Kosmetik atau Kebutuhan?

Jika tidak ada aral melintang, industri telekomunikasi Indonesia pada tahun depan akan kedatangan pemain baru di jasa seluler. Wajah baru, rasa lama itu adalah PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) yang sebelumnya menjadi salah satu pemain utama di jasa Fixed Wireless Access (FWA).

Menkominfo Tifatul Sembiring mengungkapkan, jika pemilik merek dagang Esia itu memenuhi semua syarat dan lolos evaluasi, maka izin akan ditandatangani.

“Tidak ada masalah jika BTEl mau masuk ke seluler, asalkan semua persyaratan di penuhi. Nanti kita lihat hasil evaluasi yang dilakukan oleh regulator,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.

Plt. Dirjen Postel M. Budi Setiawan  mengakui BTEL sudah melewati serangkaian tahap evaluasi untuk memperoleh lisensi seluler. “Sudah dilakukan  evaluasi kecukupan administrasi dan komitmen operator tersebut untuk membangun jaringan seluler. BTEL memang sudah menggunakan teknologi yang berbasis seluler sama seperti Mobile-8 sehingga untuk memperoleh lisensi seluler cukup evaluasi, tidak perlu seleksi,” tegasnya.

Untuk diketahui,  pembeda antara FWA dan seluler adalah   pengguna FWA  hanya boleh menggunakan nomor tersebut hanya di wilayah tersebut, tidak boleh membawanya ke luar kode area. Sedangkan seluler  prefix number yang digunakan berlaku nasional.

BTEL sendiri mengajukan permohonan lisensi seluler  sejak Mei lalu  karena  melihat ada 20 persen  pelanggan Esia yang melakukan perjalanan antarkota sehingga membutuhkan roaming. Fasilitas esia gogo atau roaming semu ala FWA dinilai tidak memberikan kenyamanan bagi pelanggan.

Ubah Peta
VP Sales and Distributions PT Natrindo Telepon Seluler (Axis) Syakieb A. Sungkar mengungkapkan, jika BTEL mengantongi ijin seluler akan membawa perubahan pada peta industri telekomunikasi di Tanah Air.

“Operator FWA diprediksi hilang karena semua akan beralih menjadi  seluler. Hal ini memungkinkan karena secara pembangunan jaringan untuk  core network dan transmisi bisa dipergunakan sebagian dari yang ada saat ini, sedangkan infrastruktur radio harus dari awal,” katanya.

Group Head VAS Marketing Indosat Teguh Prasetya mengakui, bertambahnya pemain akan  memperketat persaingan. “Namun, kami tidak takut menghadapi persaingan itu karena competitive advantage dan  persepsi murah sudah ada di GSM. Operator berbasis GSM juga memunyai kelengkapan roadmap yang sudah jelas,” ujarnya.

Direktur Komersial XL Axiata Joy Wahjudi menegaskan, selama perlakuan yang diberikan  sama dengan pemilik teknologi GSM, pemain lama tidak keberatan hadirnya BTEL di seluler. “Kalau menjadi seluler harus sama semuanya mulai dari pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan interkoneksi. Jangan ada nanti permainan pemasaran yang membuat nomor seluler seolah-olah FWA,” katanya.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel Herfini Harjono mengaku tidak terusik dengan kehadiran BTEL di seluler karena persaingan di masa depan terletak di layanan data. “Teknologi GSM lebih komplit menawarkan variasi akses data dari sisi perangkat bagi pelanggan.  Apalagi dari sisi frekuensi, kami memiliki alokasi yang lumayan luas untuk berinovasi dengan teknologi,” tegasnya.

Komisaris Utama Telkomsel Rinaldi Firmansyah menambahkan, tidak akan mudah bagi pemain baru berbicara banyak di seluler karena membutuhkan dana yang lebih besar untuk mengembangkan pasar. “Dari sisi pengembangan radio saja butuh dana yang besar, belum lagi kewajiban membangun jaringan yang lebih besar ketimbang FWA. Telkomsel akan tetap menguasai sebagian besar pasar seluler di masa depan, walau pemain bertambah,” tegasnya

Aneh
Pgs Head of Corporate Communication Telkom Eddy Kurnia merasa ada keanehan dari sikap regulator yang lebih sibuk mengurus izin seluler bagi BTEL ketimbang menyiapkan aturan Unified Access License (UAL) di era Fixed Mobile Convergence (FMC) seiring ditandantanganinya Peraturan Pemerintah (PP) tentang BHP Pita pada pertengahan bulan ini.

UAL adalah konsep lisensi tunggal dimana satu operator bisa memberikan layanan seluler atau FWA. Konsep ini bisa berjalan karena penarikan frekuensi berbasis lebar pita. Di Indonesia, penerapan BHP berbasis pita berjalan 5 tahun lagi setelah PP ditandatangani pada 17 Desember 2010.

“Regulator itu tahu akan datang era FMC dimana tidak ada lagi seluler dan FWA. Seharusnya disiapkan regulasi tentang FMC itu. Jika masih mengurus  pemberian  lisensi seluler, artinya regulator menafikan konsep yang digadang-gadangnya sejak dulu. Ini tandanya regulator tidak berpihak pada industri,” ketusnya.

Teguh Prasetya menambahkan, dalam pemberian lisensi seharusnya melalui konsultasi publik ke pemangku kepentingan di industri. “Sebenarnya pemberian lisensi itu  harus melalui kajian yang komprehensif dari  regulator dan melibatkan pula operator serta  masyarakat pengguna. Apakah ini sudah dilakukan oleh pengambil keputusan? Lha kami saja justru tahu dari media massa,” sesalnya.

Tidak Kompetitif
Pada kesempatan lain, pengamat telekomunikasi Guntur S. Siboro menegaskan, jika mengambil lisensi seluler, Esia tidak akan kompetitif di pasar karena menggunakan biaya interkoneksi seluler yang lebih mahal ketimbang FWA.

“Saya menduga penambahan lisensi ini tak lebih dari meningkatkan valuasi perusahaan di pasar atau kosmetik keuangan. Apalagi jika ini dikaitkan dengan isu konsolidasi antara BTEL dengan TelkomFlexi,” ketusnya.

Praktsi telematika Suryatin Setiawan menilai peta persaingan tidak akan berubah walau ada pemain baru. Hal itu sudah  terbukti dimana  selama ini pemain baru sulit sekali mengejar pemain lama.

“Saya melihat  BTEL ingin mencari kepastian lisensi walau akan ada UAL. Mereka ingin mencoba masuk ke pasar seluler sebelum berlakunya UAL. Tetapi pemain GSM tidak akan tergoyahkan di seluler karena ditataran supplier perangkat masih terjadi persaingan dan secara skala ekonomi lebih besar ketimbang Code Division Multiple Access (CDMA),” katanya.

Secara terpisah, Senior Director and Country Manager Qualcomm Indonesia Harry K Nugraha mengungkapkan, sudah ada 500 juta pengguna CDMA di seluruh dunia. “Secara roadmap, CDMA itu juga jelas. masih ada 1X-Advance, EVDO Rev-B, lalu DO-Andvanced, sesudah itu juga ke LTE. Begitu juga dengan  chipset yang mendukung  multimode CDMA/GSM/EVDO/HSPA,” tegasnya.

Ditegaskannya,  secara teknologi, tidak ada keterbatasan di CDMA karena mampu memberikan  performa  dan kapasitas dengan spektrum terbatas. “Isunya itu di keterbatasan spektrum.  Di Indonesia, CDMA hanya memiliki frekuensi  5 MHz setiap operator, sementara untuk GSM   sampai 42 MHz. Ini tentu membuat kapasitas yang dilayani berbeda,” jelasnya.[dni]