Jika tidak ada aral melintang, industri telekomunikasi Indonesia pada tahun depan akan kedatangan pemain baru di jasa seluler. Wajah baru, rasa lama itu adalah PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) yang sebelumnya menjadi salah satu pemain utama di jasa Fixed Wireless Access (FWA).
Menkominfo Tifatul Sembiring mengungkapkan, jika pemilik merek dagang Esia itu memenuhi semua syarat dan lolos evaluasi, maka izin akan ditandatangani.
“Tidak ada masalah jika BTEl mau masuk ke seluler, asalkan semua persyaratan di penuhi. Nanti kita lihat hasil evaluasi yang dilakukan oleh regulator,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.
Plt. Dirjen Postel M. Budi Setiawan mengakui BTEL sudah melewati serangkaian tahap evaluasi untuk memperoleh lisensi seluler. “Sudah dilakukan evaluasi kecukupan administrasi dan komitmen operator tersebut untuk membangun jaringan seluler. BTEL memang sudah menggunakan teknologi yang berbasis seluler sama seperti Mobile-8 sehingga untuk memperoleh lisensi seluler cukup evaluasi, tidak perlu seleksi,” tegasnya.
Untuk diketahui, pembeda antara FWA dan seluler adalah pengguna FWA hanya boleh menggunakan nomor tersebut hanya di wilayah tersebut, tidak boleh membawanya ke luar kode area. Sedangkan seluler prefix number yang digunakan berlaku nasional.
BTEL sendiri mengajukan permohonan lisensi seluler sejak Mei lalu karena melihat ada 20 persen pelanggan Esia yang melakukan perjalanan antarkota sehingga membutuhkan roaming. Fasilitas esia gogo atau roaming semu ala FWA dinilai tidak memberikan kenyamanan bagi pelanggan.
Ubah Peta
VP Sales and Distributions PT Natrindo Telepon Seluler (Axis) Syakieb A. Sungkar mengungkapkan, jika BTEL mengantongi ijin seluler akan membawa perubahan pada peta industri telekomunikasi di Tanah Air.
“Operator FWA diprediksi hilang karena semua akan beralih menjadi seluler. Hal ini memungkinkan karena secara pembangunan jaringan untuk core network dan transmisi bisa dipergunakan sebagian dari yang ada saat ini, sedangkan infrastruktur radio harus dari awal,” katanya.
Group Head VAS Marketing Indosat Teguh Prasetya mengakui, bertambahnya pemain akan memperketat persaingan. “Namun, kami tidak takut menghadapi persaingan itu karena competitive advantage dan persepsi murah sudah ada di GSM. Operator berbasis GSM juga memunyai kelengkapan roadmap yang sudah jelas,” ujarnya.
Direktur Komersial XL Axiata Joy Wahjudi menegaskan, selama perlakuan yang diberikan sama dengan pemilik teknologi GSM, pemain lama tidak keberatan hadirnya BTEL di seluler. “Kalau menjadi seluler harus sama semuanya mulai dari pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan interkoneksi. Jangan ada nanti permainan pemasaran yang membuat nomor seluler seolah-olah FWA,” katanya.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel Herfini Harjono mengaku tidak terusik dengan kehadiran BTEL di seluler karena persaingan di masa depan terletak di layanan data. “Teknologi GSM lebih komplit menawarkan variasi akses data dari sisi perangkat bagi pelanggan. Apalagi dari sisi frekuensi, kami memiliki alokasi yang lumayan luas untuk berinovasi dengan teknologi,” tegasnya.
Komisaris Utama Telkomsel Rinaldi Firmansyah menambahkan, tidak akan mudah bagi pemain baru berbicara banyak di seluler karena membutuhkan dana yang lebih besar untuk mengembangkan pasar. “Dari sisi pengembangan radio saja butuh dana yang besar, belum lagi kewajiban membangun jaringan yang lebih besar ketimbang FWA. Telkomsel akan tetap menguasai sebagian besar pasar seluler di masa depan, walau pemain bertambah,” tegasnya
Aneh
Pgs Head of Corporate Communication Telkom Eddy Kurnia merasa ada keanehan dari sikap regulator yang lebih sibuk mengurus izin seluler bagi BTEL ketimbang menyiapkan aturan Unified Access License (UAL) di era Fixed Mobile Convergence (FMC) seiring ditandantanganinya Peraturan Pemerintah (PP) tentang BHP Pita pada pertengahan bulan ini.
UAL adalah konsep lisensi tunggal dimana satu operator bisa memberikan layanan seluler atau FWA. Konsep ini bisa berjalan karena penarikan frekuensi berbasis lebar pita. Di Indonesia, penerapan BHP berbasis pita berjalan 5 tahun lagi setelah PP ditandatangani pada 17 Desember 2010.
“Regulator itu tahu akan datang era FMC dimana tidak ada lagi seluler dan FWA. Seharusnya disiapkan regulasi tentang FMC itu. Jika masih mengurus pemberian lisensi seluler, artinya regulator menafikan konsep yang digadang-gadangnya sejak dulu. Ini tandanya regulator tidak berpihak pada industri,” ketusnya.
Teguh Prasetya menambahkan, dalam pemberian lisensi seharusnya melalui konsultasi publik ke pemangku kepentingan di industri. “Sebenarnya pemberian lisensi itu harus melalui kajian yang komprehensif dari regulator dan melibatkan pula operator serta masyarakat pengguna. Apakah ini sudah dilakukan oleh pengambil keputusan? Lha kami saja justru tahu dari media massa,” sesalnya.
Tidak Kompetitif
Pada kesempatan lain, pengamat telekomunikasi Guntur S. Siboro menegaskan, jika mengambil lisensi seluler, Esia tidak akan kompetitif di pasar karena menggunakan biaya interkoneksi seluler yang lebih mahal ketimbang FWA.
“Saya menduga penambahan lisensi ini tak lebih dari meningkatkan valuasi perusahaan di pasar atau kosmetik keuangan. Apalagi jika ini dikaitkan dengan isu konsolidasi antara BTEL dengan TelkomFlexi,” ketusnya.
Praktsi telematika Suryatin Setiawan menilai peta persaingan tidak akan berubah walau ada pemain baru. Hal itu sudah terbukti dimana selama ini pemain baru sulit sekali mengejar pemain lama.
“Saya melihat BTEL ingin mencari kepastian lisensi walau akan ada UAL. Mereka ingin mencoba masuk ke pasar seluler sebelum berlakunya UAL. Tetapi pemain GSM tidak akan tergoyahkan di seluler karena ditataran supplier perangkat masih terjadi persaingan dan secara skala ekonomi lebih besar ketimbang Code Division Multiple Access (CDMA),” katanya.
Secara terpisah, Senior Director and Country Manager Qualcomm Indonesia Harry K Nugraha mengungkapkan, sudah ada 500 juta pengguna CDMA di seluruh dunia. “Secara roadmap, CDMA itu juga jelas. masih ada 1X-Advance, EVDO Rev-B, lalu DO-Andvanced, sesudah itu juga ke LTE. Begitu juga dengan chipset yang mendukung multimode CDMA/GSM/EVDO/HSPA,” tegasnya.
Ditegaskannya, secara teknologi, tidak ada keterbatasan di CDMA karena mampu memberikan performa dan kapasitas dengan spektrum terbatas. “Isunya itu di keterbatasan spektrum. Di Indonesia, CDMA hanya memiliki frekuensi 5 MHz setiap operator, sementara untuk GSM sampai 42 MHz. Ini tentu membuat kapasitas yang dilayani berbeda,” jelasnya.[dni]
Desember 9, 2010
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar