Total. Inilah kata yang pantas disematkan kepada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dalam membangun ekosistem industri kreatif di Indonesia. Simak saja program penghargaan Indonesia Digital Community (Indigo) yang ditujukan bagi pelaku usaha di industri kreatif yang kembali digelar oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu tahun ini.
Ajang yang mengambil tema “Ketika Kreasi Bersimfoni” itu bisa dikatakan sebagai cara Telkom merangsang para kreator untuk menghasilkan produk yang bisa dijual setelah diinkubasi oleh operator itu.
“Kami sedang bertrasformasi dari perusahaan telekomunikasi menjadi Telekomunikasi, Informasi, Media, dan Edutainment (TIME). Program Indigo sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan komunitas kreatif,” ungkap Direktur IT & Supply Telkom Indra Utoyo di Jakarta belum lama ini.
Dijelaskannya, melalui Indigo perseroan memposisikan dirinya sebagai penyedia sarana dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku industri kreatif, sehingga dapat bersama-sama menumbuhkan pasar bagi karya kreatif digital di Indonesia.
“Untuk sektor musik ada namanya Indigo Music yang merupakan bagian dari ekosistem industri musik yang mencakup sourcing new talent, production, distribusi, dan promosi. Telkom berkepentingan menjaga pertumbuhan industri musik karena sudah menguasai 62 persen dari pasar musik digital, terutama dari penjualan Ring Back Tone (RBT),” jelasnya.
Ditegaskannya, langkah Telkom yang masuk mulai dari hulu seperti memunculkan bakat baru atau memiliki gudang lagu digital bukan untuk untuk menyaingi perusahaan rekaman tetapi memperkaya industri dengan semangat kolaborasi saling membutuhkan.
“Acara pengharagaan Indigo yang dilakukan kemarin belum pernah ada selama ini. Hal ini karena artisnya semua kemasan baru produksi dari Telkom grup,” tegasnya.
Dijelaskannya, masuk ke industri musik merupakan konsekuensi dari konektivitas telah menjadi komoditasi di telekomunikasi. “Model bisnis yang baru adalah menjadikan musik sebagai servis bukan produk. Sangat banyak bisa dieksploitasi jika musik dijadikan sebagai servis, misalnya berlangganan berbasis waktu atau potongan lagu. Ini sesuatu yang tidak terpikir sebelumnya oleh pelaku usaha di industri musik,” jelasnya.
VP Digital Music and Content Management Telkomsel Krish Pribadi menambahkan, semua komponen industri musik harus fokus meningkatkan skala bisnis musik legal untuk menekan merajalelanya pembajakan. “Jangan belum apa-apa sudah meminta revisi pembagian keuntungan dulu. Kita bersama dulu membangun industri musik legal. Hilangkan kecurigaan kepada operator yang ingin memajukan musik legal,” tegasnya.
Sedangkan VP Commerce Royal Prima Musikindo Isra Ruddin mengaku, masuknya operator telekomunikasi ke industri musik memudahkan perusahaan rekaman dalam mengakses pasar.
“Digarapnya bisnis edutainment oleh operator telekomunikasi membantu perusahaan rekaman untuk menikmati uang yang diambil pembajak. Apalagi keseriusan yang ditunjukkan Telkom dengan membuat penghargaan seperti Indigo yang bisa menjadi parameter bagi dunia musik terhadap tanggapan publik atas karyanya,” jelasnya.
Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Trisakti Fransiskus Paschalis mengingatkan, Telkom tidak terlalu kebablasan dalam menggarap bisnis musik sehingga melupakan khitah sebagai operator telekomunikasi.
“Bagaimana pun bisnis inti dari Telkom adalah menyediakan konektifitas. Langkah Telkom masuk terlalu dalam hingga menyediakan pengharagaan rasanya kurang efisien membangun citra di pasar musik karena merek operator ini kurang kuat sebagai refrensi penilai karya musik. Baiknya manajemen Telkom pintar-pintar memainkan anggaran pemasarannya agar tidak seperti membuang garam ke laut,” katanya.[dni]