Tingkat penetrasi kartu SIM diperkirakan telah mencapai 80 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa. Tingginya penetrasi akses komunikasi membuka peluang bagi pemain di luar operator untuk berkreasi menawarkan layanan pendukung.
Salah satu pemain yang memanfaatkan kondisi itu adalah penyedia konten yang hasil karyanya ditawarkan oleh operator ke konsumen untuk mengikat kesetiaan.
“Sayangnya, posisi penyedia konten masih lemah di mata operator walau layanan yang dihasilkan sangat dibutuhkan untuk memberikan diferensiasi ke pelanggan oleh penyedia akses,” keluh Ketua Umum Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA) A Haryawirasma di Jakarta, belum lama ini.
Dikatakannya, seharusnya dengan makin pentingnya peran penyedia konten di industri, maka operator harus menunjukkan perhatian yang lebih dengan mengubah skema bagi hasil dari penjualan konten ke pelanggan untuk mendukung kemajuan bisnis kreatif.
“Pola bagi hasil yang diterapkan sekarang sangat tidak menguntungkan penyedia konten yang masih dalam tahap skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika tidakada revisi, para pemain di bisnis kreatif bisa bertumbangan,” ungkapnya.
Diungkapkannya, selama ini pola bagi hasil dari penjualan satu konten adalah dimulai dari 50:50 antara operator dengan penyedia konten atau dikisaran 65:35 dimana operator mendapatkan bagian yang dominant.
“Konsep ini merugikan para penyedia konten karena selama ini dukungan dari operator untuk memasarkan satu konten tidak maksimal. Operator tak lebih hanya sebagai alat transport untuk membawa satu konten, idealnya pembagian adalah 80:20 dimana yang dominan pembagiannya ada di penyedia konten,” tegasnya.
Menurutnya, permintaan merevisi itu hal yang normal karena selama ini praktik di lapangan untuk melakukan pemasaran secara berkelanjutan adalah tanggung jawab penyedia konten, belum lagi masalah pengembangan konten yang berasal dari ide kreatif para UKM itu.
“Hal lainnya adalah masalah pihak-pihak yang harus dibagi makin banyak seiring pihak-pihak yang bermain terus bertambah. Contohnya untuk penjualan satu lagu, penyedia konten harus membagi kepada label, penyanyi, dan pemilik lagu. Jika pembagian kami kecil, tentu kita tidak bisa menjalankan bisnis,” keluhnya.
Dikatakannya, jika pun penyedia konten mendapatkan bagian yang lebih besar justru akan berdampak positif kepada industri karena akan bermunculan lebih banyak konten kreatif mengingat ada dana untuk penelitian dan pengembangan. “Jadi, tidak seperti sekarang dimana konten yang keluar semuanya seragam. Ini karena tuntutan persaingan yang membuat para kreator menjadi komoditas,” ketusnya.
Sedang Kaji
Group Head Vas Marketing Indosat Teguh Prasetya mengungkapkan, saat ini sedang mengaji secara internal permintaan dari industri kreatif itu karena memiliki perhatian bersama – sama memajukan pasar konten domestik.
“Kalau permintaannya sampai 80:20, harus ada alasan yang kuat. Tidak bisa main pukul rata untuk semua konten. Kalau besarannya diminta sebesar 80:20 untuk semua konten, terlalu optimis namanya. Wong, sumbangan konten saja baru 4 persen bagi total pendapatan. Apalagi operator juga ada biaya yang dikeluarkan seperti memberikan ruang untuk promosi di kanal-kanal yang bisa berhubungan langsung dengan pelanggan,” katanya.
VP Digital Music and Content Management Telkomsel Krish Pribadi mengakui, bisnis model untuk penyediaan konten memang harus dievaluasi setiap saat dengan merefleksikan kepada cost benefit dan peluang yang ada.
“Porsi operator sekarang memang yang paling besar. Tetapi saya rasa itu wajar mengingat kita mememiliki akses ke pelanggan. Misalnya, Telkomsel memiliki 95 juta pelanggan, kalau tidak dibuka akses ke pasar, penyedia konten tidak ada pasar,” katanya.
Diungkapkannya, selama ini operator menentukan pembagian untuk penyedia konten salah satunya berdasarkan usaha yang dilakukan rekanan dalam mempromosikan satu layanan.
“Misalnya, penyedia konten sudah memiliki komitmen untuk beriklan dengan bujet tertentu, setelah itu kami akan memberikan fasilitas mengakuisisi pelanggan melalui informasi cek pulsa. Cek pulsa itu sangat efektif untuk akuisisi layanan, 80 persen aktifasi konten via media itu,” jelasnya.
VP Marketing MDS XL Axiata Jeremiah de la Cruz menegaskan, hal yang wajar operator mendapatkan porsi besar mengingat resiko yang ditanggung lebih tinggi ketimbang penyedia layanan.
“Pelanggan itu tahunya layanan itu milik operator walaupun hasil kolaborasi dengan penyedia konten. Secara biaya pemasaran dan resiko bisnis operator menanggung lebih besar. Rasanya wajar operator mendapatkan bagian keuntungan lebih besar mengingat pasar yang digarap adalah pelanggannya juga,” katanya.
Sedangkan Wakil Direktur Bidang Pemasaran Bakrie Telecom Erik Meijer mengaku tidak habis pikir dengan adanya permintaan perubahan komposisi pendapatan karena banyak penyedia konten masih bisa untung dengan pola yang ada sekarang.
“Pembagian keuntungan itu tidak bisa main pukul rata. Contohnya untuk konten musik. Rasanya yang pantas meminta bagian lebih besar itu perusahaan rekaman, kan lagu dari sana. Nah, di musik ini operator memiliki biaya lebih besar karena harus membangun semua sistem seperti penyediaan bandwidth. Harusnya semua dilihat dengan kaca mata jernih,” tegasnya.
Pada kesempatan lain, Ketua Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi (MIKTI) Indra Utoyo mendukung perubahan bagi hasil antara operator dengan penyedia konten sebagai penghargaan terhadap kreasi karya cipta industri kreatif.
“Selayaknya industri kreatif mendapat porsi lebih besar agar memotivasi para kreator terus berkreasi. Namun, di sisi lain, para pemain di industri kreatif perlu terus membuktikan produktivitas karyanya yang inovatif termasuk terobosan model bisnis yang ampuh, tidak hanya berkutat di SMS Premium dan Ring Back Tone (RBT). Masa depan aplikasi itu di On-line games, e-payment, mobile money/remittance, e-sport, atau productivity apps. Untuk aplikasi yang sifatnya penyedia konten tidak hanya seperti perantara, rasanya wajar diberikan porsi yang lebih besar,” tegasnya.
Sementara Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi enggan menanggapi konflik antara penyedia konten dengan operator. “Baiknya diselesaikan secara business to business saja. Nanti kalau regulator masuk dibilang kecentilan karena semua urusan mau dicampuri. Industri telekomunikasi harus bisa menunjukkan kedewasaan dengan menyelesaikan masalah sendiri tanpa perlu campur tangan regulator untuk sesuatu yang self regulate,” ketusnya.[dni]
Desember 16, 2010
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar