091210 Beda pemain, Beda Perlakuan

Mulusnya jalan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mendapatkan lisensi seluler memunculkan rumor  tak sedap di industri telekomunikasi. Regulator dinilai ada cinta pada satu operator sehingga melupakan khitahnya sebagai pihak netral.

BTEL dikenal tidak hanya sebagai pemilik lisensi Fixed Wireless Access (FWA), tetapi juga Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ).  Untuk SLI, BTEL masih memiliki hutang  belum dibangunnya Sentra Gerbang Internasional (SGI) Kupang-Darwin.

Belum lagi kejelasan SGI di Batam-Singapura terkait kerjasama dengan Moratel yakni penyewaan atau pembelian core. Lebih ironis lagi, regulator yang harusnya menyelesaikan kajian tentang dampak hadirnya SLI 009 milik BTEL di pasar setelah satu tahun tidak jelas laporannya. Padahal, hasil kajian itu dijadikan salah satu dasar perlu atau tidak ditambahnya pemain baru di SLI mengingat XL dan Axis telah mengajukan lisensi tersebut sejak dua tahun lalu.

Sedangkan untuk SLJJ, hingga saat ini BTEL belum ada rencana mengajukan Uji Laik Operasi (ULO) padahal izin prinsip telah diberikan sejak dua tahun lalu. Kabar terbaru adalah perihal  anak usaha,  PT Bakrie Connectivity (Bconnect) yang bermain di jasa data.

Bconnect  di awal kehadirannya sempat dipertanyakan tentang izin yang dikantonginya. Awalnya, anak usaha ini diklaim sebagai reseller dari BTEL yang mengantongi izin Penyedia Jasa Internet (PJI). Namun, entah kenapa BTEL tetap mengurus lisensi PJI bagi Bconnect dan dua bulan lalu izin dikeluarkan oleh regulator.

“Harusnya, diselesaikan dulu hutang BTEL ke regulasi, baru dipertimbangkan diberikan lisensi lainya oleh regulator. Jika belum diselesaikan, BTEL belum layak diberi lisensi seluler,” tegas Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala di Jakarta belum lama ini.

Kamilov menyayangkan sikap yang diambil oleh Ditjen Postel dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dimana merespons permintaan lisensi lebih cepat ketimbang pemain lain. “XL dan Axis mengajukan lisensi SLI sejak lama  tidak ada kedengaran progresnya. BTEL mengajukan Mei lalu, sekarang sudah dalam tahap persiapan membuat modern lisensi. Ini namanya ada perbedaan perlakuan,” tegasnya.

Disarankannya, untuk memberikan transparansi bagi masyarakat dan menghindari tudingan adanya obral lisensi, maka regulator harus menerapkan sistem seleksi dalam pemberian izin selular kepada BTEL.

Apalagi jika mengacu pada PM No 1/2010 pasal 4 yang mengatakan evaluasi diberikan jika pemain sudah memiliki kode akses jaringan dan frekuensi. Sementara BTEL sendiri belum memiliki kode akses jaringan tetapi kode akses wilayah sesuai   Fundamental Technical Plan (FTP).

“Selain itu harus diingat,  PM No. 01/2010 kala dikeluarkan 25 Januari lalu menimbulkan kehebohan di industri telekomunikasi  sebagai revisi dari KM. 20/2001 karena minimnya konsultasi publik yang dilakukan. Pasal 4 di aturan itu   masih menggunakan acuan regulasi lama karena digunakan untuk pemberian lisensi bagi Mobile-8 beberapa tahun lalu. Sekarang terbukti, jika regulasi minim sosialisasi pasti menuai badai di kemudian hari,” ketusnya.

Menanggapi hal itu, Anggota Komite BRTI Nonot Harsono menegaskan, regulator hanya melakukan pekerjaan sehari-hari yakni memproses pengusaha yang meminta izin. “Ini kan masalah first come, first serve. Untuk kasus FWA, sudah lama diwacanakan adanya Unified License. Kenapa sekarang dalam fase realisasi dipermasalahkan,” sesalnya.

Anggota Komite lainnya, M. Ridwan Effendi menegaskan, untuk kasus XL dan Axis tidak bisa diproses lisensi SLI-nya karena belum memenuhi tiga syarat di pasal 4 PM No 1/2010. “Masalah BTEL belum memenuhi kewajiban di lisensi lainnya itu berbeda. Evaluasi dilakukan per ijin, bukan per perusahan,” tegasnya.[dni]

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar