JAKARTA–Konsolidasi unit usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) dengan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) diminta untuk lebih transparan sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan.
“Kami meminta wacana konsolidasi itu dipaparkan secara transparan. Apa benar menguntungkan bagi Telkom atau tidak. Sejauh ini kalau dari kacamata bisnis, ini hanya menguntungkan salah satu pihak yakni BTEL,” sesal Sekjen Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana di Jakarta, Selasa (30/11).
Asep menduga, getolnya wacana merger diapungkan hanya untuk memuluskan kepentingan tertentu.
“Saya melihat ini hanya ditataran Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang direpresentasikan oleh komentar-komentar Menneg BUMN yang pro konsolidasi, Komisaris Utama Telkom, Tanri Abeng, dan Direktur Utama BTEL, Anindya N. Bakrie. Harusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diberikan juga paparan komprehensif karena Flexi adalah aset negara yang menghasilkan pendapatan per tahun di atas 3 triliun rupiah,” tegasnya.
Menurutnya, SBY harus mengetahui rencana merger ini karena sarat dengan kepentingan politis. Apalagi ditengarai setelah dilepas ke swasta nasional, Flexi akan dilego lagi ke pihak asing.
“Penggabungan Flexi-Esia bukanlah pilihan yang terbaik bagi bisnis Telkom ke depan, hal ini tercermin dari turunnya saham Telkom ketika rencana penggabungan ini terbuka ke pulik, publik tampaknya menilai negatif rencana kerjasama bisnis ini,” tegasnya.
Asep juga mengingatkan pola konsolidasi yang akan menawarkan saham dengan aset nantinya yang cenderung merugikan Telkom.
Dijelaskannya, saat ini secara aset Flexi memiliki nilai sekitar 7 triliun rupiah, tetapi mengingat akan dimergerkan dengan BTEL yang notabene swasta dan tercatat sahamnya di bursa maka tidak seimbang dalam bernegosiasi. Sedangkan nilai kapitalisasi pasar BTEL saat ini sebesar 6,693 triliun rupiah
“BTEL pasti akan menyodorkan saham, sementara Flexi berupa aset yang nilainya tidak bisa dikerek. Saham BTEL saja sejak pertengahan September lalu terangkat dari 160 menjadi 250 rupiah berkat pernyataan dari Menneg BUMN Mustafa Abubakar yang terkesan mendukung merger. Ini kan tidak apple to apple jadinya,” sesalnya.
Belum lagi, lanjutnya, masalah hutang BTEL yang nanti bisa ikut menjadi tanggungan Telkom secara grup jika nanti memiliki saham perusahaan itu.
Berdasarkan laporan keuangan BTEL per Juni 2010, pada 16 Juli 2010 salah satu emiten Grup Bakrie ini kembali berutang sebesar 30 juta dollar AS.Setelah itu pada 12 Agustus 2010 berhutang RMB 2 miliar dari Industrial and Commercial Bank of China dan Huawei Technologies Co. Ltd.
Tambahan utang ini membuat beban bunga yang dibayarkan oleh BTEL kembali menanjak sehingga menekan bottom line perseroan. Tercatat, laba bersih BTEL pada semester I lalu anjlok drastis 96,29 persen dari 72,8 miliar rupiah menjadi tinggal 2,7 miliar rupiah.
Secara terpisah, VP Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia menilai aksi penolakan oleh karyawannya tak lepas dari kecintaan terhadap perusahaan.
“Manajemen sudah menyosialisasikan aksi korporasi itu. Penolakan ini bukti karyawan cinta kepada Telkom yang meminta hati-hati dalam aksi korporasi,” katanya.
Tanri sendiri dalam beberapa kesempatan mengungkapkan, bentuk konsolidasi dengan BTEL telah disosialisasikan ke banyak pihak termasuk karyawan. “Salah satunya ada kajian dibentuk perusahaan patungan dimana ada kepemilikan saham kedua operator disitu,” katanya.
Sedangkan Anindya mengatakan, sedang fokus dalam kajian bentuk konsolidasi, valuasi aset, dan sumber daya manusia. “Ini pertama kalinya dua operator besar merger. Harus hati-hati implementasinya,” katanya.
Saat ini BTEL sendiri berusaha mendapatkan lisensi selular dalam rangka menepis tudingan monopoli di pasar Fixed Wireless Access (FWA) jika konsolidasi terjadi.
Di pasar FWA jika kedua pemain berkonsolidasi maka akan menguasai 90 persen pangsa pasar. Sementara jika dihitung sebagai pemain selular, keduanya hanya memiliki sekitar 30 juta pelanggan atau sekitar 10 persen dari pangsa pasar.[Dni]