011210 Konsolidasi Flexi-BTEL Diminta Transparan

JAKARTA–Konsolidasi unit usaha PT  Telekomunikasi Indonesia Tbk  (Telkom) dengan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) diminta untuk lebih transparan sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan.

“Kami meminta wacana konsolidasi itu dipaparkan secara transparan. Apa benar menguntungkan bagi Telkom atau tidak. Sejauh ini kalau dari kacamata bisnis, ini hanya menguntungkan salah satu pihak yakni BTEL,” sesal Sekjen Serikat Karyawan  Telkom Asep Mulyana di Jakarta, Selasa (30/11).

Asep menduga, getolnya wacana merger diapungkan hanya  untuk memuluskan kepentingan tertentu.

“Saya melihat ini hanya ditataran Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang direpresentasikan oleh komentar-komentar Menneg BUMN yang pro konsolidasi, Komisaris Utama Telkom, Tanri Abeng, dan Direktur Utama BTEL, Anindya N. Bakrie. Harusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diberikan juga paparan komprehensif karena Flexi adalah aset negara yang menghasilkan pendapatan per tahun di atas 3 triliun rupiah,” tegasnya.

Menurutnya, SBY  harus mengetahui rencana merger ini karena sarat dengan kepentingan politis. Apalagi ditengarai setelah dilepas ke swasta nasional, Flexi akan dilego lagi ke pihak asing.

“Penggabungan Flexi-Esia bukanlah pilihan yang terbaik bagi bisnis Telkom ke depan, hal ini tercermin dari turunnya saham Telkom ketika rencana penggabungan ini terbuka ke pulik, publik tampaknya menilai negatif rencana kerjasama bisnis ini,” tegasnya.

Asep juga mengingatkan pola konsolidasi yang akan menawarkan saham dengan aset nantinya yang cenderung merugikan  Telkom.

Dijelaskannya, saat ini  secara aset Flexi memiliki nilai sekitar 7 triliun rupiah, tetapi mengingat akan dimergerkan dengan BTEL yang notabene swasta dan tercatat sahamnya di bursa maka tidak seimbang dalam bernegosiasi. Sedangkan nilai kapitalisasi pasar BTEL saat ini sebesar 6,693 triliun rupiah

“BTEL pasti akan menyodorkan saham, sementara Flexi berupa aset yang nilainya tidak bisa dikerek. Saham BTEL saja sejak pertengahan September lalu terangkat dari 160 menjadi 250 rupiah berkat pernyataan dari Menneg BUMN Mustafa Abubakar yang terkesan mendukung merger. Ini kan tidak apple to apple jadinya,” sesalnya.

Belum lagi, lanjutnya, masalah hutang BTEL yang nanti bisa ikut menjadi tanggungan Telkom secara grup jika nanti memiliki saham perusahaan itu.

Berdasarkan laporan keuangan BTEL  per Juni 2010, pada 16 Juli 2010 salah satu emiten Grup Bakrie ini kembali berutang sebesar 30 juta dollar AS.Setelah itu pada  12 Agustus 2010 berhutang RMB 2 miliar dari Industrial and Commercial Bank of China dan Huawei Technologies Co. Ltd.

Tambahan utang ini membuat  beban bunga yang dibayarkan oleh BTEL kembali menanjak sehingga menekan bottom line perseroan. Tercatat,  laba bersih BTEL pada semester I lalu anjlok drastis 96,29 persen dari 72,8 miliar rupiah menjadi tinggal 2,7 miliar rupiah.

Secara terpisah, VP Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia menilai aksi penolakan oleh karyawannya tak lepas dari kecintaan terhadap perusahaan.

“Manajemen sudah menyosialisasikan aksi korporasi itu. Penolakan ini bukti karyawan cinta kepada Telkom yang meminta hati-hati dalam aksi korporasi,” katanya.

Tanri sendiri dalam beberapa kesempatan mengungkapkan, bentuk konsolidasi dengan BTEL telah disosialisasikan ke banyak pihak termasuk karyawan. “Salah satunya ada kajian dibentuk perusahaan patungan dimana ada kepemilikan saham kedua operator disitu,” katanya.

Sedangkan Anindya mengatakan, sedang fokus dalam kajian bentuk konsolidasi, valuasi aset, dan sumber daya manusia. “Ini pertama kalinya dua operator besar merger. Harus hati-hati implementasinya,” katanya.

Saat ini BTEL sendiri berusaha mendapatkan lisensi selular dalam rangka menepis tudingan monopoli di pasar Fixed Wireless Access (FWA) jika konsolidasi terjadi.

Di pasar FWA jika kedua pemain berkonsolidasi maka akan menguasai 90 persen pangsa pasar. Sementara jika dihitung sebagai pemain selular, keduanya hanya memiliki sekitar 30 juta pelanggan atau sekitar 10 persen dari pangsa pasar.[Dni]

011210 2020, Jakarta Sedot US$ 1,09 Miliar Investasi Proyek Rel Perkotaan

JAKARTA–Investasi proyek rel perkotaan di DKI Jakarta diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang mencapai 1,09 miliar dollar AS atau melonjak 336 persen sebesar 250 juta dollar AS dibandingkan posisi pada 2005.

“Perizinan untuk proyek-proyek kereta api perkotaan di Jakarta terus meningkat selama 10 tahun terakhir, termasuk meningkatkan  dan renovasi jaringan rel yang ada. Inilah alasan diprediksi investasi di sektor ini akan melonjak tajam 10 tahun ke depan,” ungkap Country Director Frost & Sullivan Indonesia Eugene van de Weerd di Jakarta, Selasa (30/11).

Dijelaskannya, saat ini  Jakarta sedang  mengalami urbanisasi dengan sangat cepat walaupun industrialisasi telah menyebar ke kota-kota kecil, namun  Jakarta tetap menjadi pusat ekonomi

Diperkirakannya, migrasi penduduk dari kota-kota kecil ke Jakarta diperkirakan akan tumbuh di  tingkat 1,1 persen per tahun pada 2010 nanti . Saat itu  penduduk Jakarta diperkirakan akan mencapai 14.620 orang per kilometer persegi sehingga  menjadikan kota  ini.  sebagai salah satu kota yang paling padat penduduknya di Asia Pasifik.

“Saat itu, kereta api adalah moda transportasi yang tepat untuk digunakan karena murah dan memiliki daya angkut yang banyak,” jelasnya.

Diungkapkannya, proyek rel perkotaan yang direncanakan untuk kota seperti Jakarta adalah  mengatasi masalah kemacetan yang ada dan memudahkan laju masyarakat di seluruh kota, khususnya distrik-distrik pusat bisnis (CBD).

“Proyek ini juga ditujukan mencapai sistem transportasi umum yang lancar, menghubungkan berbagai daerah pinggiran dan area bisnis di perkotaan,” katanya.

Menurutnya,  beberapa tahun ini Jakarta mengalami kenaikan  dalam tingkat keterangkutan penumpang (ridership) perkotaan utamanya disokong oleh layanan komuter Jabotabek sepanjang 170 kilometer  yang telah ada.

“Pada 2020 secara  ridership kumulatif untuk kereta api perkotaan di Jakarta akan mencapai 340 juta  dari perkiraan 182 juta di tahun ini. Hal itu tertolong oleh  selesainya proyek MRT Jakarta pada  2016 yang akan mengangkut 110 juta penumpang pada 2020,” katanya.

Diungkapkannya, di kawasan Asia Pasifik, negara yang memiliki daya tarik tinggi untuk investasi rel perkotaan dalam 20 tahun mendatang adalah  Mumbai, Shanghai dan Ho Chi Minh City.

Di antara ketiganya, hingga 2020, Mumbai adalah tujuan paling menarik untuk investasi rel perkotaan baik untuk segmen metro rail maupun monorel.

” Shanghai, dengan populasi lebih dari 20 juta  jiwa juga menawarkan peluang yang signifikan untuk berbagai perusahaan teknologi rel terkait rencana untuk membangun 20 jalur metro dalam 10 tahun mendatang.

Sementara Ho Chi Minh City merupakan pesaing kuat sebagai tujuan investasi dalam pembangunan infrastruktur rel dengan usulan 6 jalur baru untuk transit cepat sepanjang lebih  dari 100 km pada tahun 2020,” jelasnya.

Berkaitan dengan  pasar rel Asia Pasifik dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Eugene memperkirakan akan mencapai 90 miliar dollar AS atau  tumbuh 5-6 persen per tahun dari sekitar  50 miliar dollar AS pada tahun ini.

Sedangkan penumpang yang diangkut sebanyak 10,66 miliar orang pada tahun ini dan menjadi 15.35 miliar penumpang pada 2020.

“Untuk Asia Pasifik transportasi perkotaannya sedang dalam fase pertumbuhan, dibandingkan dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat,” jelasnya.

Menurutnya, wilayah ini memiliki lokus pengembangan yang menarik, gabungan antara negara-negara dengan infrastruktur rel perkotaan yang sudah maju dan yang masih berkembang.

Sejauh ini di Asia Pasifik negara yang sudah maju infrastruktur rel perkotaannya adalah  Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Sementara negara-negara seperti India, Cina, Vietnam dan Indonesia sedang dalam tahap pengembangan infrastruktur rel.

Diingatkannya, untuk memajukan investasi di rel perkotaan di Asia Pasifik faktor sektor swasta akan menentukan disamping pendanaan dari lembaga keuangan domestik dan internasional. “Kendalanya di negara-negara ini adalah masalah kurangnya tenaga kerja yang handal serta sulitnya perizinan seperti dalam pembebasan lahan,” jelasnya.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengakui, pemerintah harus membangun angkutan barang dan penumpang berbasis rel untuk merealisasikan terjadinya efisiensi dari sisi ebergi dan lingkungan hidup.

“Pemerintah tidak bisa mengutamakan pembangunan berbasis jaln jika melihat tren pertumbuhan penduduk dan barang di Indonesia di masa mendatang. Mengutamakan angkutan berbasis rel akan lebih baik karena dari sisi energi dan lingkungan terjadi efisiensi 20 hingga 50 persen,” jelasnya.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Asril Syafei mengungkapkan,  untuk mendorong pembangunan angkutan berbasis rel pemerintah membuka peran bagi swasta untuk berinvestasi. “Swasta bisa berinvestasi di sarana, prasarana, atau keduanya. Pemerintah sendiri membuka kerjasama dalam bentuk Public Private Partnership (PPP) dengan percontohan adalah KA Bandara Soekarno-Hatta yang akan dimulai pembangunannya tahun depan,” jelasnya.

sebelumnya,  Direktur Umum PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ignasius Jonan mengakui,  konsep bisnis perekeretaapian yang berlaku di Indonesia saat ini dinilai belum kondusif karena  konsep Public Service Obligation (PSO), Track Access Charge (TAC) dan Infrastructure Maintenance and Operations (IMO) belum diatur secara kondusif.

TAC adalah ongkos yang dibebankan dalam menggunakan infrastruktur negara (jalan rel, sinyal, dll).  PT KAI wajib membayar TAC kepada Pemerintah dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Sementara Infrastructure Maintenance (IM) saat ini dikerjakan bersama-sama dan tumpang tindih antara PTKAI dan Ditjen KA . Padahal, seharusnya dapat dikerjakan oleh siapa saja yang berkompeten untuk merawat Jalan Rel dan sinyal, melalui lelang oleh Ditjen KA. Sedangkan untuk Infrastructure Operations (IP)  dilakukan PT KAI atas nama negara dan seharusnya menerima bayaran untuk  pengoperasian.

“Kondisi saat ini besaran IMO  sama dengan TAC. Dalam jangka panjang akan bermasalah karena tidak ada yang bertanggungjawab dengan jelas atas infrastruktur perkeretaapian,” jelasnya.

Sedangkan untuk PSO  merupakan kewajiban negara yang harus dibayarkan kepada operator kereta api atas selisih Pedoman Tarif per Km/penumpang dan Tarif per Km/penumpang yang ditentukan pemerintah ditambah margin yang wajar.

Menurutnya, untuk memajukan moda kereta api dibutuhkan kombinasi jangka pendek, menengah, dan panjang antara regulator dan operator.  Diantaranya adalah  sertifikasi untuk seluruh operator KA dilakukan instansi yang berwenang.

Hal itu berupa pemisahan tugas yang jelas antara PT. KAI sebagai operator dan Ditjen KA sebagai regulator dalam hal pembangunan dan pengelolaan stasiun, rel dan persinyalan.  Pemisahan aset yang jelas antara PT. KAI dan Ditjen KA dan  mengundang swasta untuk ikut dalam operasionalisasi perkeretaapian  Selain itu diharapkan  penyelesaian semua regulasi perkeretaapian (PP, Permen/Kepmen, SOP/Juklak/Juknis) yang diperlukan. [Dni]