261010 RUU Konvergensi Regulasi Basa-basi Ala Penguasa

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akhirnya memulai konsultasi publik secara resmi Rancangan Undang-undang Konvergensi (RUU Konvergensi) pekan lalu, sebelum dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas menuju proses pengesahan pada tahun depan.

“RUU ini penting sekali untuk meningkatkan daya saing dan menumbuhkan industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) nasional. RUU ini mendorong industri TIK untuk mengkombinasikan kekuatan dari Indonesia yakni kebudayaan, sumber daya manusia (SDM), dan keunikan agar menjadi negara industri bukan hanya konsumsi TIK” ungkap Sekjen Kemkominfo Basuki Yusuf Iskandar di Jakarta, belum lama ini.

Diakuinya, Indonesia selama ini hanyalah negara konsumen TIK. Kekuatan Indonesia ada pada tiga hal di atas dan harus dioptimalkan. RUU ini mendorong adanya diversifikasi produk, terutama pada konten. Sedangkan untuk konten sendiri akan lebih diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektornika (ITE).

Staf ahli Kemenkominfo Bidang Hubungan Internasional dan Kesenjangan Digital Karamulloh Ramli menambahkan, RUU Konvergensi akan menjadi pengganti UU Telekomunikasi No 36/99. “Sementara untuk UU ITE dan Penyiaran akan dilakukan revisi untuk mengharmonisasi isinya dengan semangat konvergensi,” jelasnya.

Menkominfo Tifatul Sembiring menjamin hadirnya UU Konvergensi nantinya tidak akan menjadi tumpang tindih dengan UU lain yang akan dibuat seperti Tindak Pidana Teknolgi Informasi (TIPITI) yang lebih fokus pada penindakan masalah cyber crime. “UU Penyiaran yang lama pun direvisi dengan semangatnya mengantisipasi teknologi konvergensi. Jika UU penyiaran lama sudah tidak bisa mengadopsi konvergensi, tentu akan diganti juga,” katanya.

Status Quo
Lantas benarkah RUU Konvergensi ini sudah sesuai dengan semangat konvergensi seperti yang digaungkan oleh industri telekomunikasi. Koran Jakarta yang mendapatkan draft dari RUU tersebut mencatat masih terdapat beberapa pasal yang mencerminkan keinginan dari pemerintah untuk mempertahankan status quo atau melanggengkan kekuasaannya.

Hal itu bisa terlihat dari masih adanya semangat untuk mengutip kepada industri telekomunikasi atau mempertahankan status quo dari Balai Penyedia Telekomunikasi Informasi Pedesaan (BTIP) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Pada pasal 24 terlihat pemerintah ingin mengutip Biaya Hak Penggunaan (BHP) penomoran dengan alasan ingin menjaga sumber daya terbatas dan ingin mengaturnya secara adil.

Hal yang sama juga terlihat pada pasal 38 tentang kewajiban pelayanan universal yang semangatnya masih sama dengan UU No 36/99 dimana tidak ada arah yang jelas bentuk penggunaan dana Universal Service Obligation (USO) terutama dalam mengembangkan backbone broadband di pedesaan.

Sedangkan di Pasal 39 tentang BRTI, pemerintah masih menginginkan lembaga tersebut setia di bawah ketiaknya dengan memaksa jabatan ketua dipegang oleh wakil pemerintah selain mendapatkan jatah satu anggota.

Namun, harus diakui ada hal yang baru dalam semangat konvergensi yang diadopsi oleh pemerintah yakni masalah pemanfaatan infrastruktur bersama dan antisipasi peleburan usaha yang dilakukan oleh para pemain. Semua ini karena dalam era menyatunya telekomunikasi, media (penyiaran), dan informatika atau lebih dikenal dengan konvergensi, munculnya pemain baru atau pemanfaatan infrastruktur bersama adalah hal yang lumrah.

Tidak Akomodasi
Direktur Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan, RUU Konvergensi tidak mengakomodasi semangat penyatuan antara penyiaran, konten, dan telekomunikasi. “Jika hanya menjadi pengganti UU Telekomunikasi, RUU konvergensi itu dalam posisi banci. Harusnya tiga UU (ITE, Penyiaran, Telekomunikasi) itu digabung dalam satu UU Konvergensi,” tegasnya.

Wakil Sekjen Mastel, Teguh Anantawikrama mengungkapkan, hal yang paling sulit adalah menyatukan industri telekomunikasi yang higly regulated dan interdependensinya tinggi, dengan penyiaran yang less regulated dan tidak ada interdependensi antar player, juga dengan ICT sector yang self regulated

“Hal itu menjadi isu utama yang perlu dibahas tuntas dalam RUU Konvergensi. Isu lainnya yang juga mulai jadi riak dalam uji publik kali ini adalah soal pungutan BHP (biaya hak penggunaan) baru bagi para pemain. Pemerintah harusnya memiliki prinsip membesarkan dulu the whole industry baru menikmati hasilnya kelak melalui penerimaan pajak, bukan belum apa-apa sudah mengutip,” keluhnya.

Ketua Pokja Mastel untuk RUU Konvergensi Sutrisman mengingatkan, pembebanan biaya hak penggunaan nomor akan menambah beban bagi penyelenggara yang pada gilirannya masyarakat juga yang akan menanggung.. “Kami akan mengusulkan untuk dihapuskan,” katanya.

Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini mengungkapkan, lembaganya sedang merumuskan usulan supaya RUU Konvergensi betul-betul mendukung dan sesuai dengan tema konvergensi. “Kalau dilihat bahan untuk konsultasi publik jauh dari ideal. Soal BHP untuk nomor sudah jelas ATSI akan meminta untuk ditinjau kembali. Kalau memang tujuannya untuk efisiensi masih banyak cara lain yang bisa dilkukan,” jelasnya.

GM Regulatory XL Nies Purwati mengaku keberatan jika ada BHP penomoran karena yang dibidik bukan saja blok nomor yang akan diberikan tetapi sudah terpakai. “Bayangkan anggaran yang dikeluarkan XL jika memiliki 38,5 juta pelanggan,” katanya.

Menurutnya, di negara lain setiap biaya yang dikeluarkan oleh operator merefleksikan biaya administrasi dan pengelolaan resources. Kalau Pemerintah sudah memperoleh BHP Jasa Telekomunikasi (Jastel) sebagai cost recovery untuk biaya administrasi, seharusnya tidak perlu ada BHP penomoran. “Kecuali biaya BHP Jastelnya dikecilkan dan merefleksikan biaya administrasi, pengelolaan telekomunikasi, maka BHP penomoran perlu dihitung secara akurat,” ketusnya.

Juru Bicara Indosat Djarot Handoko meminta pemerintah untuk memberikan ruang berdiskusi dalam konsultasi publik agar produk regulasi yang dihasilkan bisa memuaskan semua pihak. “Kami sangat perhatian dengan beberapa isu yang dapat menimbulkan tambahan biaya operasi. Ini harus perlu diperjelas sasarannya, mengingat saat ini regulatory charges yang dibebankan kepada operator sudah cukup tinggi,” keluhnya.[dni]

1 Komentar

  1. bulan lalu, Desember 2011, Prof Paulus, seorang pakar media mendatangi beberapa kampus (UGM, UB.) untuk melakukan FGD mengenai rencana UU konvergensi ini. pertanyaannya, apa pentingnya untuk publik? jangan jangan UU ini hanya untuk melindungi kepentingan kapital.. kalaupun konvergen, paling tepat adalah penyatuan regulasi mengenai media, misal UU Pers, ITE, dan Penyiaran.. bukan lagi membahas masalah konten dan teknologi..


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar