260509 Telkom Tetap Perjuangkan Palapa Ring

logo_telkomJAKARTA–PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) tetap akan memperjuangkan pembangunan Palapa Ring meskipun salah satu anggota konsorsium, XL, mengundurkan diri akhir pekan lalu.

“Kami baru mendapatkan kabar mundurnya XL pada Jumat lalu. Terus terang ini mengejutkan. Semuanya terpaksa berhitung ulang untuk investasi yang dikeluarkan agar proyek tetap berjalan,” ungkap Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah di Jakarta, Senin (25/5).

Palapa Ring merupakan proyek pembangunan serat optik di kawasan timur Indonesia. Proyek yang akibat krisis ekonomi nilainya menyusut menjadi 150 juta dollar AS dan dikerjakan oleh konsorsium itu sudah berulangkali molor pengerjaannya karena kesulitan pendanaan.

Anggota konsorsium Palapa Ring adalah Telkom, Indosat, XL, dan Bakrie Telecom. XL mengumumkan mundur dari konsorsium karena sejak akhir tahun lalu kondisi keuangannya merugi akibat selisih kurs.

Selanjutnya Rinaldi mengungkapkan, saat ini perseroan sedang menghitung ulang besaran investasi dan berusaha memaksimalkan keuntungan agar Palapa Ring tetap berjalan. “Tentunya nilai investasi akan berkurang, begitu juga dengan panjang serat optik. Diperkirakan nilai investasi semuanya akan menjadi 120 juta dollar AS,” tuturnya.

Head of Digital Business Telkom Widi Nugroho menambahkan, salah satu cara menambah pendapatan yakni dengan mendorong industri kreatif. “Tahun lalu pendapatan dari  industri kreatif mencapai 120 miliar rupiah.
Tahun ini ditaregtkan menyumbang 10 persen bagi total pendapatan,” ujarnya.

Diungkapkannya, strategi untuk mendorong industri kreatif dengan  membuat inkubasi bisnis bagi kreator.”Kami mengalokasikan dana 15 miliar rupiah untuk progam yang diberikan nama Indigo Fellowship ini,” katanya.[Dni]

260509 Smart Raih 1,9 juta Pelanggan

smart_telecom_logoJAKARTA–Operator seluler berbasis teknologi CDMA, Smart Telecom, berhasil meraih 1,9 juta pelanggan pada tiga bulan pertama tahun ini.

Angka itu bertambah 400 ribu dari posisi akhir 2008 dimana meraih 1,5 juta pelanggan.

“Pertambahan pelanggan karena Smart agresif melakukan ekspansi jaringan dan layanan data,” ungkap Head of Marketing Smart Telecom Ruby Hermanto di Jakarta, Senin (25/5).

Dikatakannya, Smart telah hadir di Jawa, Bali, Sumsel, dan Sumut. Dan dalam waktu dekat akan hadir di Kota Lampung, Aceh, dan Makassar.

Sementara untuk layanan data, Ruby mengungkapkan, telah menggelar Evolution Data Only (EVDO) di wilayah Jabodetabek. “Sekitar 200 ribu dari total pelanggan menggunakan jasa data,” katanya.

Guna memanjakan pengguna data Smart akan meluncurkan Netbook hasil kerjasama dengan Haier dalam waktu dekat. “Harganya di bawah 5 juta rupiah. Ini akan mengubah pasar data di Indonesia,” jelasnya.

Sementara itu, Head of Vas & Business Development Smart Telecom Tom Alamas Dinharsa mengatakan, peluang lain adalah pada layanan mobile entertainmet seperti layanan full track music portal.

“Kami baru saja meluncurkan layanan music 357. Satu bulan pertama akan diberikan gratis. Setelah itu kita menargetkan akan ada 6 ribu pelanggan yang menggunakannya,” katanya.[Dni]

260509 Indosat Hambat SLI 009

indosatJAKARTA—PT Indosat Tbk (Indosat) dituding menghambat pengembangan jasa SLI 009 milik PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) dengan mensyaratkan pembukaan interkoneksi melalui sejumlah syarat yang berat.

“Kami diberikan syarat-syarat yang tidak masuk akal agar interkoneksi dibuka oleh Indosat. Bahkan, ada syarat yang identik dengan praktik monopoli,” ungkap VP Intercarrier Bakrie Telecom Herry Nugroho, kepada Koran Jakarta, Senin (25/5).

Diungkapkannya, syarat yang diminta oleh Indosat adalah agar BTEL menyediakan dana sebesar 120 juta rupiah untuk set up billing sistem dari operator yang sahamnya dikuasai oleh Qatar Telecom itu. “Padahal dengan Telkom kami tidak diminta dana apa-apa,” katanya.

Syarat lainnya yang sarat dengan praktik monopoli adalah melarang BTEL menerapkan biaya promosi selama tiga bulan pertama setelah pembukaan interkoneksi untuk tarif SLI 009. “Padahal keunggulan kami adalah pada tarif yang dibanting hingga 70 persen ketimbang kompetitor. Jika begini namanya menghalangi konsumen mendapatkan harga alternatif. Bukankah ini melanggar UU anti monopoli,” katanya.

Menanggapi hal itu, Direktur Penjualan Korporat dan Jabotabek Indosat Fadzri Sentosa mengatakan, hingga  saat ini   masih berkoordinasi secara intensif dengan BTEL mengenai berbagai hal, termasuk soal interkoneksi dan program promosi. “Kami berharap akan segera selesai dan segera ditindaklanjuti dengan PKS dalam waktu dekat ini,” katanya.

Berdasarkan catatan, saat peluncuran SLI 009 pertengahan April lalu para punggawa Indosat menyatakan tidak ada keberatan dengan munculnya kompetitor baru di jasa SLI clear channel dan berjanji akan   membuka interkoneksi secepat mungkin.[dni]

260509 Satelit Indostar II : Meluncur dengan Sejumlah Kontroversi

satelit

Pada pertengahan Mei lalu muncul kabar gembira bagi industri penyiaran Indonesia. Semua itu tak bisa dilepaskan dari keberhasilan PT Media Citra Indostar (MCI) meluncurkan Satelit Indostar II menggantikan Indostar I dari Baikonur, Kazakhstan.

Satelit Indostar II menempati   slot orbit 107,7 derajat  BT dan bekerja di pita frekuensi 2,5 GHz selebar 150 MHz. Satelit yang menelan investasi sebesar 300 juta dollar AS tersebut membawa 32 transponder. Dari 32 tranponder yang.dimiliki, 10 transponder aktif dan 3 transponder cadangan akan difungsikan sebagai penguat gelombang frekuensi S-Band untuk menyediakan jasa layanan penyiaran langsung ke rumah-rumah atau (Direct-To-Home/DTH)

Indostar-II juga menggunakan frekeunsi KU-Band yang didesain untuk layanan DTH dan telekomunikasi di India. Sedangkan transponder KU-Band lainnya digunakan untuk akses internet berkecepatan tinggi dan layanan telekomunikasi di Filipina, Taiwan maupun Indonesia.

MCI mengharapkan adanya satelit baru tersebut akan membuat  televisi berbayar Indovision  memiliki jumlah saluran (channel) sebanyak 120 channel dari sebelumnya   56 channel.  Meningkatnya jumlah channel juga diharapkan akan membuat angka pelanggan menjadi  satu juta pada akhir tahun nanti.

Ya, meskipun MCI adalah pengelola  Indostar II, namun wewenang dalam pelaksanaan untuk penyiaran mutlak dikendalikan oleh MNC Sky Vision. Kedua perusahaan ini masih dalam genggaman taipan Hary Tanoesudibjo.

Nilai bisnis dari jasa satelit sendiri di Indonesia per tahunnya diperkirakan mencapai enam triliun rupiah. Hal ini berasal dari  penyewaan  transponder, jasa jaringan , teleport, TV kabel, jasa instalasi, dan lainnya.

Kontroversi

Indostar II memang sudah mengangkasa, tetapi entah kenapa justru kesinisan yang diperlihatkan oleh banyak kalangan di dalam negeri terhadap kehadirannya.

Kesinisan itu tentunya tak bisa dilepaskan dari tidak jelasnya pemilik dari satelit yaitu Protostar dari Amerika Serikat atau   MCI. Protostar adalah mitra dari MCI dalam menjalankan Indostar II.

Berdasarkan catatan, MCI hanya berinvestasi sebesar sepertiga dari total investasi. Sedangkan sisanya ditutupi oleh Protostar. Praktik ini menimbulkan isu tak sedap yang menilai perusahaan tersebut ibarat pialang tanah yang menyewakan lahan. Singkat kata, slot orbit yang dipercayakan ke perusahaan tersebut oleh pemerintah dianggap sebagai bagian investasi ke protostar.

Munculnya isu tersebut membuat juru bicara Depkominfo Gatot S Dewo Broto  mendesak MCI  untuk memperjelas kontrak kerja sama dengan Protostar. “Harapan pemerintah, adanya kejelasan kontrak agar slot satelit milik Indonesia tetap terjaga,” ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Tonda Priyanto mengatakan, praktik satu satelit menggunakan beberapa filing merupakan hal yang  biasa dan dikenal sebagai condosat ( condomonium).  Tujuannya untuk mengurangi  harga per transponder terutama di biaya peluncuran.

Tonda mengatakan, meskipun bekerjasama mengisi filling, tidak membuat kepemilikan slot menjadi berganti. “Slot tetap dimiliki negara bersangkutan. Tetapi itu tentunya akan lebih jelas jika pola kerjasamanya dibuka,” katanya.

Menanggapi hal itu, Corporate Secretary MCI Arya Mahendra membantah keras pihaknya tidak berkuasa penuh terhadap  Indostar II. “Tidak benar itu. Semua kita yang kuasai,” tegasnya kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.

Dijelaskannya, satelit tersebut bekerja pada dua band yakni  Ku-band yang dikontrol oleh Protostar untuk keperluan telekomunikasi dan S-Band untuk penyiaran yang dikontrol penuh oleh Indovision.

“Masalah ini sudah kita presentasikan ke pemerintah. Dan hingga detik ini tidak ada surat komplain dari regulator ke MCI,” tegasnya.

Berdasarkan catatan, praktik kepemilikan satelit bercampur asing sebenarnya lazim terjadi di Indonesia. Contohnya, satelit Palapa Pacific 146 yang merupakan kerja sama antara PT Pasifik Satelit Nusantara dan Mabuhay Philippines Satellite Corporation (MPSC) bersama induknya, Philippine Long Distance telephone Company (PLDT).

Pemerintah membebankan biaya hak pengelolaan (BHP) slot orbit satelit kepada PSN dan Mabuhay karena menggunakan slot orbit di Indonesia.  Sementara untuk persoalan Indostar, Depkominfo belum menegaskan kewajiban BHP terhadap Protostar.

Frekuensi

Kontroversi lainnya yang menghinggapi MCI adalah penguasaan frekuensi yang terlalu besar.   Belum lagi BHP untuk frekuensinya yang sangat murah yakni sekitar 50 juta rupiah per transponder.

Penguasaan sebesar itu dianggap mubazir karena hanya bisa dinikmati oleh pelanggan TV   berbayar dengan maksimal 500 ribu jiwa. Sedangkan jika diberikan untuk akses teresterial bisa dinikmati oleh 10 juta pelanggan.

Pengamat telematika Koesmarihati Koesnowarso mengatakan, merupakan kesalahan  menggunakan spektrum 2,5 GHz untuk alokasi S band satelit. “Sejak World Radiocommunication Conference 2000 (WRC) sudah dialokasikan untuk teristerial baik itu  pengembangan 3G atau WiMAX,” katanya.

Satu-satunya jalan, menurut Koes, kepemilikan frekuensi oleh MCI harus dikompres agar bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat lebih luas. “Pengguna TV berbayar itu kalangan menengah atas. Selain itu regulator juga harus mempertimbangkan pola penarikan BHP frekuensi yang tidak menguntungkan negara selama ini,” katanya.

Melihat hal itu, Arya menilai, gencarnya isu yang menggoyang MCI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kepentingan vendor asing di Indonesia  “Hanya sekelompok orang yang terus mempermasalahkan kepemilikan frekuensi MCI. Semua ini tak bisa dilepaskan dari penggunaan perangkat milik vendor asing untuk frekuensi tersebut. Jadi, kami tidak kaget lagi,” tukasnya.[dni]

260509 Tender BWA : Mengukur Peluang Konsorsium PJI

wimax-1

Akhirnya kabar gembira itu keluar juga dari markas Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) pada pertengahan Mei lalu. Para Penyedia Jasa Internet (PJI) membentuk konsorsium yang terdiri dari 30 perusahaan untuk  membidik lisensi pemanfaatan frekuensi Broadband Wireless Access (BWA).

Rahajasa Media Internet (Radnet) yang telah mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta tender BWA ditunjuk menjadi leader konsorsium. Dan jika nanti terpilih sebagai pemenang, akan dibentuk Badan Usaha dengan nama Konsorsium Wimax Indonesia (KWI).

“APJII hanya membentuk satu konsorsium bukan dua seperti yang diisukan selama ini. Di luar konsorsium ini jika ada yang mengklaim, itu bukan APJII,” tegas  juru bicara APJII, Heru Nugroho di Jakarta belum lama ini.
Heru menegaskan, para anggota konsorsium telah menyediakan dana sebesar 300 juta dollar AS untuk berinvestasi di jaringan BWA selama lima tahun jika menjadi pemenang. Konsorsium akan maju menawar semua zona dengan mengambil satu blok di setiap zona.

Di tahun pertama akan digunakan  untuk membangun jaringan  sebesar 100 juta dollar AS. “Angka tersebut di luar  harga frekuensi. Sekarang kami menunggu dulu harga dasarnya dari pemerintah,” katanya.

Untuk diketahui, tender BWA akan melelang   frekuensi di spektrum 2,3 Ghz. Pemerintah menawarkan di setiap zona (terbagi atas 15 zona)  dua blok frekuensi atau sebesar 30 MHz. Lelang sendiri kemungkinan besar akan mundur dari jadwal seiring harga dasar frekuensi hingga saat ini belum disetujui oleh Departemen Keuangan.

Sebelumnya,  beredar kabar   harga dasar penawaran tertinggi yang ditetapkan pemerintah untuk frekeunsi BWA di spektrum 2,3 Ghz sebesar  32 miliar rupiah  dan terendah  160 juta juta rupiah. Harga tertinggi diperkirakan akan dimiliki oleh zona Jabodetabek.

Heru mengumbar janji, jika konsorsium yang akan menjadi pemenang, maka harga tarif internet akan menjadi 300 hingga 500 ribu rupiah satu Mbps per bulan jika menggunakan standar nomadic. Saat ini harga akses internet sebesar itu ditawarkan sekitar 750 ribu rupiah per bulan.

“Itu juga dengan syarat harga dasar frekuensi seperti yang diisukan selama ini. Harga dasar yang beredar itu sudah bagus,” katanya.

Namun, janji manis itu dicibir oleh para praktisi jika mengacu   BTS yang digunakan harganya  per sektor lima ribu dollar AS dengan kapasitas concurent users maksimum di bawah 50 pelanggan.

“Jika  perangkat untuk konsumen harga  400 dollar AS ditambah harus bayar Upfront Fee dan  BHP di atas satu miliar per MHz  untuk zona Jakarta, sepertinya nama yang tepat bukan KWI,  tetapi Yayasan KWI,” cibir seorang praktisi

Tidak Berubah

Melihat akhirnya APJII memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pemerintah, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Iwan Krisnandi mengatakan, sudah sepantasnya PJI maju agar kompetisi mendapatkan lisensi semakin ketat.

“Inti dari penyelenggaraan lelang ini adalah diantaranya  membuka aksesibilitas dan menurunkan tarif internet. Karena itu pemerintah membuka peluang untuk pembentukan konsorsium,” katanya kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.

Iwan meminta konsorsium itu tetap solid karena susunan keanggotaan tidak bisa berubah jika telah ditetapkan sebagai pemenang. “Jika lisensi sudah diberikan dan berbentuk badan usaha tidak boleh berganti. Saya harapkan mereka tetap solid,” tegasnya.

Menanggapi hal itu, Heru menegaskan, hingga sekarang masih membuka peluang bagi perusahaan lain untuk bergabung dalam konsorsium hingga lisensi didapatkan. “Saya tidak bisa mengelak jika dalam perjalanannya ada yang mundur. Tetapi saya yakin jumlah anggota akan bertambah karena ini menyangkut hidup matinya para PJI,” katanya.

Heru mengungkapkan, selama ini di lapangan PJI berkompetisi secara langsung dengan operator penyelenggara jaringan yang juga memiliki lisensi PJI. “Tentu saja kami kalah jika berhadapan sama operator. Wong kita menyewa jaringan mereka juga,” katanya.

Menurut Heru, persaingan ini membuat adanya ketidaksamaan kualitas layanan yang diberikan oleh operator terhadap PJI  “Namanya bersaing, mana mungkin PJI diberikan best effort,” katanya.

Heru juga menegaskan, bagi PJI membentuk konsorsium merupakan jawaban dari tantangan membuka aksesibilitas. “Kami ini terbatas sekali aksesibilitas kepada jaringan. BWA adalah jawaban untuk kemandirian PJI,” katanya.

Siap Hadapi

Secara terpisah, Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah mengaku tidak khawatir dengan langkah yang diambil oleh para PJI dalam bersaing mendapatkan lisensi.

“Baguslah jika ada konsorsium yang akan maju. Telkom tetap yakin bisa memenangkan kompetisi,” tegasnya.

Rinaldi mengungkapkan, Telkom tidak akan menyiapkan dana sebesar APJII untuk mengembangkan teknologi BWA. “Kami sudah memiliki infrastruktur. Jadi, tidak harus membangun. Nah, kuncinya di harga dasar frekuensi dan lelang BWA untuk mobile,” katanya.

Menurut Rinaldi, jika harga dasar terlalu tinggi akan membuat operator berfikir ulang mengingat pemerintah mulai menggelar tender BWA untuk standar mobile pada  2011 mendatang. “Kita harus memikirkan kontinuitas suatu teknologi. Tidak bisa dihabiskan dana untuk satu teknologi saja,” katanya.

Sementara itu, Chief Sales Officer Smart Telecom Charles Sitorus menegaskan, pihaknya serius untuk mendapatkan lisensi BWA meskipun tidak bermasalah dengan bandwidth data.

“Kami memang tidak bermasalah untuk menyelenggarakan layanan data. Tetapi teknologi BWA ini bisa membuat akses internet lebih murah dan mengubah segmen pasar. Karena itu Smart harus ikut cawe-cawe,” tegasnya.

Selain dua operator tersebut, pesaing terberat dari KWI adalah Indosat grup. Tak tanggung-tanggung, Indosat mengerahkan dua anak usaha (IM2 dan Lintasarta) serta perseroan sebagai entitas untuk maju mendapatkan lisensi BWA.

Langkah Indosat untuk melenggang hingga babak akhir dari lelang bisa menjadi mulus jika parameter perusahaan lokal yang digunakan oleh panitia tender adalah badan usaha yang tercatat di bursa Indonesia. Sementara jika kukuh berpegang pada ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI), dipastikan Indosat akan tersandung karena kepemilikan asingnya melewati batas ketentuan yakni 65 persen.

Mendengar reaksi dari operator yang akan memberikan perlawanan keras, Heru mengatakan, pihaknya realistis dengan kondisi di lapangan. “Memang idealnya lisensi ini hanya dikuasai dua pemain agar penggunaan frekuensi optimal. Karena itu kami hanya membidik satu blok di setiap zona dengan prioritas di Jabodetabek,” tuturnya.[dni]

NamaAnggota Konsorsium PJI

PT Audianet Sentra Duta

PT Media Antar Nusa

PT Solusi Lintas Data

PT Angkasa Sarana Teknik Komunikasi Padi Internat

PT Sejahtera Globalindo

PT Core Mediatech

PT Eresha Technologies

PT Pasifik Lintas Buana

PT Bali Ning

PT Universal Telematics Solution

PT Simaya Jejaring Mandiri

PT Linknet

PT Jasnita Telekomindo

PT Data Utama Konsultan

PT Uninet Media Sakti

PT Jalawave Cakrawala

PT Indo Pratama Cybernet

PT Rahajasa Media Internet

PT Ramaduta Teletaka

PT Jetcoms Netindo

PT Bit Teknologi Nusantara

PT Transmedia Indonesia

PT Cakra Lintas Nusantara

PT Dutakom Wibawa Putra

PT Global Prima Utama

PT Melvar Lintas Nusa

PT Bhakti Wasantara Net

PT Detik ini Juga

Sumber: APJII