Pada awal Mei lalu di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan teknologi (Puspitek) Serpong, digelar demo teknologi Worldwide interoperability for Microwave Access (WiMAX).
Pergelaran teknologi yang disebut-sebut sebagai generasi keempat dari broadband internet atau 4G itu dilakukan melalui perangkat produksi anak negeri yakni milik PT Hariff dan TRG. Kemampuan yang dipertunjukan adalah video conference, video multicast dan internet phone (VoIP).
Praktisi Telematika Gunadi Dwi Hantoro menjelaskan, secara teknis saat uji coba lalu perangkat lokal telah mampu menghantarkan data sesuai standar yakni 9-10 Mbps dengan kanal yang digunakan 3,5 MHz.
“Meskipun ada yang bilang seharusnya bisa mencapai 75 Mbps, tetapi itu jika digunakan kanal sebesar 20 MHz dan biasanya di unlicensed band,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Kedua, kesederhanaan perangkat di sisi konsumen. Konsumen yang telah terbiasa menggunakan perangkat yang sederhana dan mudah untuk dipindah-pindah seperti USB dongle dan PCMCIA untuk layanan 3G saat ini, dengan WiMAX produksi anak bangsa pelanggan diminta kembali untuk menggunakan perangkat terminal outdoor (antenna) yang besar dan harus dipasang menetap di atap-atap rumah.
Chief Executive Officer Infracom Telesarana Atmadji Soewito menegaskan, uji coba tersebut menunjukkan perangkat lokal mampu menjawab kesempatan yang diberikan oleh pemerintah selama ini melalui aturan yang memproteksi secara tidak langsung pemain lokal di teknologi WiMAX.
Regulasi yang dimaksud oleh Atmadji sebagai upaya meretas jalan bagi produk lokal itu adalah ketentuan tentang perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk pita 2,3 GHz dan 3,3 GHz wajib memenuhi kandungan lokal sebesar 30 persen untuk (Subscriber Station) dan 40 persen untuk Base Station (BS). Bahkan dalam jangka waktu 5 tahun wajib memenuhi kandungan lokal minimal 50 persen.
“Pemerintah memilih menggelar tender di 2,3 GHz dan teknologi nomadic itu kan untuk melindungi pemain lokal. Di luar negeri hanya ada 16 negara yang memilih spektrum itu. Tujuan pemerintah agar entry barrier bagi semua pemain, terutama asing, sama untuk membuat perangkat. Hal ini karena selama ini pemain asing berpersepsi spektrum itu untuk mobile,” kata Pria yang ditunjuk menjadi konsultan oleh Hariff itu.
Untuk diketahui, Wimax terdiri dari dua standar yang berbeda sama sekali. Pertama, menggunakan IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic Wimax dengan teknik modulasi Orthogonal Frequency Division Multiplex (OFDM).
Kedua, IEEE 802.16e-2005 untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA).
Atmadji mengatakan, secara ekosistem untuk menggelar satu teknologi baru dibutuhkan equipment, backhaul, access, dan services. Dalam persepsi Atmadji, perangkat lokal bisa bermain di equipment, sedangkan services dan access biasanya jatah dari operator dan penyedia konten.
“Saya prediksi dua tahun ke depan perangkat lokal itu hanya kebagian 25 persen dari seluruh ekosistem atau sekitar 2,5 juta dollar AS. Sedangkan operator hampir 50 persen menikmati kue di pasar,” katanya.
Tunda
Sementara itu, Senior Business Advisor Talent Source, Suryatin Setiawan meminta pemerintah untuk menunda tender Broadband Wireless Access (BWA) mengingat kesiapan ekosistem lokal untuk mendukung teknologi Wimax belum memadai.
“Penyedia perangkat lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar. Jika dipaksakan, walau ada regulasi yang mendukung dikhawatirkan teknologi ini jalan di tempat,” katanya.
Dicontohkannya, harga SS yang mencapai 300 dollar AS dan keterbatasan produksi yang tidak mencapai skala ekonomi. Padahal untuk satu tahun pertama dibutuhkan sekitar satu juta unit perangkat agar bisnis berjalan.
Belum lagi penyedia konten lokal yang belum mampu berbicara banyak di dunia maya. Selama ini akses internet kebanyakan untuk konten asing seperti facebook atau Yahoo. “Jika begini apa bedanya dengan 3G dimana kita malah menyediakan jalan untuk menikmati konten asing. Lantas penyedia konten lokal dapa apa?”.
Suryatin menjelaskan, ketika pemenang tender ditentukan maka otomatis operator akan diikat oleh lisensi modern dimana ada beberapa parameter yang harus dipenuhinya seperti deployment jaringan dan pembayaran biaya frekuensi.
“Nah, seandainya dalam membangun jaringan, perangkat lokal tidak mampu mendukung, tentunya operator tidak mau disalahkan. Bisa jadi jalan keluar yang diminta memperlonggar aturan tentang kandungan lokal. Jika sudah begini, grand design yang dibuat pemerintah untuk membangun industri lokal gagal,” katanya.
Suryatin menyarankan, pemerintah membuat laboratorium raksasa dengan memilih beberapa kota satelit untuk dijadikan uji coba ekosistem WiMAX. “Jika diujicaba di laboratorium raksasa itu tidak hanya keluhan teknis yang terdeteksi, tetapi model bisnis bisa dibentuk. Setelah itu baru digelar tender. Jika langkah ini diambil, setahun lagi baru bisa digelar tender seperti yang dilakukan pemerintah saat ini,” katanya.
Suryatin mengingatkan, meskipun secara finansial pemerintah tidak dirugikan jika WiMax gagal, namun nama besar bangsa Indonesia akan runtuh di mata internasional. Sedangkan pihak yang dirugikan secara langsung adalah operator karena harus membayar frekeunsi dan pemain lokal yang terlanjur telah berinvestasi.
“Tetapi itu tidak seberapa dibanding citra Indonesia. Menunda tender lebih baik, sudah saatnya kita sebagai pemilik pasar keempat terbesar yang mendikte dunia, layaknya China dan India. Bukan sebaliknya malah didikte untuk mempercepat hadirnya WiMAX dan berakhir dengan kegagalan karena lahirnya prematur,” katanya.
Siapkan Skenario
Secara terpisah, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan, telah disiapkan skenario jika memang ternyata pemain lokal tidak siap untuk membangun ekosistem WiMAX.
Skenarionya adalah lelang tetap digelar namun hanya untuk menentukan pemenang administratif sedangkan untuk tahap implementasi dilakukan secara terpisah. “Itu skenario terburuknya. Tetapi seharusnya ditanyakan langsung ke para pemain lokal. Benar tidak mereka belum siap. Jangan terjebak dengan kepentingan asing dalam melihat satu masalah,” katanya.
Dikatakan Nonot, masalah kandungan lokal pemerintah bersikap realistis dengan tidak memaksakan perangkat kerasnya dibuat di Indonesia. “Kita realistis sajalah. Manufaktur lokal banyak yang mati suri. Pemerintah itu mendorong software harus dikuasai oleh pemain lokal. Hal ini karena 60 persen dari perangkat nantinya didominasi komponen tersebut,” katanya.
Sementara itu, Direktur TRG Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, tidak ada kata gentar sama sekali untuk membangun ekosistem WiMAX. “Kami sudah investasi puluhan miliar rupiah. Kenapa harus ditunda? Indonesia harus berani mengambil resiko layaknya China dengan Huawei. Jika memikirkan bisnisnya terus, tidak akan ada itu namanya produk lokal berkibar,” tegasnya.
Atmadji mengatakan, selama ini untuk mengembangkan perangkatnya Hariff telah mengeluarkan dana sebesar 10 miliar rupiah agar bisa menjadi prototipe. “Itu belum sampai produk massal. Penelitiannya yang mahal. Jika memang ada penundaan, kita akan alihkan untuk radio nantinya,” katanya.[dni]
Mei 6, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar