Detikcom Terjual Seharga US$60 Juta?

Detikcom Terjual Seharga US$60 Juta?

By Amir Karimuddin – August 4, 2011

Tweet dari Doni Ismanto menyebutkan transaksi pembelian Detikcom oleh Para Group yang dimiliki Chairul Tanjung mencapai babak finalisasi. Doni Ismanto yang merupakan jurnalis suratkabar Jakarta Daily mendapat informasi dari pihak internal bahwa nilai akuisisi berjumlah US$60 juta untuk total kepemilikan (100%) di portal berita online terbesar di Indonesia ini. Nilain yang serupa disebutkan oleh seseorang yang dekat dengan Budiono Darsono, pemimpin redaksi Detikcom, di kisaran nominal 521-540 Miliar Rupiah.

Jajaran Direksi nantinya akan diisi oleh pihak-pihak dari TransCorp — sebagai perpanjangan tangan Para Group di ranah media, sementara Komisaris Utama akan dijabat oleh Jenderal (Purn) Bimantoro — mantan Kapolri, yang saat ini juga menjabat sebagai Komisaris Utama Carrefour Indonesia, yang juga dimiliki Chairul Tanjung.

 

Besar kemungkinan sejumlah eksekutif yang ada sekarang, akan bedol desa dari perusahaan. Budiono Darsono sendiri dipastikan tidak akan hengkang minimal hingga masa transisi selesai. Sebelumnya diberitakan bahwa jajaran eksekutif Detikcom (yang sekarang) masih diminta untuk menjadi bagian dari manajemen Detikcom setidaknya untuk melewati masa transisi ini.

Bagaimana dengan masa depan Detikcom dengan kepemilikan yang baru? Dengan kemungkinan orang-orang baru di  manajemen bakal berasal dari dunia non-digital, menurut kami masa transisi ini akan menjadi cukup terjal seperti halnya transisi Plasa.com, yang dimiliki oleh Telkom, menjadi perusahaan E-Commerce. Kita tunggu visi Para Group untuk merevitalisasi Detikcom agar tetap menjadi pemimpin di segmen portal media online di Indonesia.

040811 Garuda Siap IPO Citilink

JAKARTA—PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) bersiap melepas saham
Citilink ke pasar modal setelah unit usaha  berbasis Low Cost Carrier (LCC) tersebut  dimandirikan dan mampu berkontribusi secara signifikan ke perseroan.

“Tentu ada rencana untuk di lakukan Initial Public Offering (IPO) terhadap Citilink. Target paling lambat pada 2015 nanti,” ungkap Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar di Jakarta, Rabu (3/8).

VP Strategic Citilink dan EVP Finance Garuda Elisa Lumbantoruan mengatakan, perseroan menargetkan pada kuartal pertama  2011 akan berdiri PT Citilink Indonesia yang memiliki Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP) dan Air Operation Certificate (AOC) terpisah dari Garuda Indonesia.

“Kita akan jadikan Citilink sebagai truly LCC. Bagi kami LCC itu maskapai yang bisa mengelola biaya secara efisien sehingga tercermin dalam penawaran low fare alias tiket murah,” jelasnya.

Diungkapkannya, Citilink pada semester I 2011 berhasil mengangkut 730 ribu penumpang dengan omset sekitar 219 miliar rupiah.
“Kami menargetkan pada akhir tahun ini Citilink bisa mengangkut dua juta penumpang. Setelah itu pada 2012 terangkut 3,7 juta penumpang, dan pada
akhir 2015 bisa membawa 8,3 juta penumpang,” jelasnya.

Dijelaskannya, untuk mencapai target jumlah penumpang yang dibawa maka akan digunakan armada tipe A320 untuk lima tahun mendatang. “Pada tahun ini ditaretkan ada 10 pesawat yang terdiri dari lima B737-300, satu B 737-400. Sisanya empat lagi A320 yang akan mulai datang pada September. Citilink sendiri ditargetkan pada 2015 memiliki 30 pesawat,” katanya.

Diharapkannya, dalam waktu empat tahun mendatang seiring dicapainya target jumlah penumpang yang diangkut dan armada dimiliki, maka Citilink akan berkontribusi sebesra 30 persen terhadap total omset Garuda Indonesia.

Dikatakannya, salah satu yang akan menjadi andalan dari omset Citilink selain
penjualan tiket adalah dari Auxiliaries atau pembelian dari barang-barang di atas pesawat, iklan di atas pesawat, dan pembayaran kelebihan bagasi.

VP Citilink Con Korfiatis mengatakan, kehadiran Citilink yang menawarkan pelayanan LCC bukan membuka persaingan makin keras di segmen tersebut. “Pasar angkutan udara Indonesia masih besar. Jika dihitung secara normal ada 800 juta frekeunsi berpergian setahun. Ini masalah suplai dan demand yang maish timpang. Citilink masuk mengisi ketimpangan suplai itu,” jelasnya.[dni

040811 Kemenhub Awasi Dua Maskapai Lokal

JAKARTA—Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengawasi dua maskapai lokal yang tidak mampu memenuhi standar On Time Performance (OTP) sehingga mengurangi kenyamanan penggunanya.

Kedua maskapai itu adalah Lion Air dan Batavia Air yang memiliki  tingkat ketepatan waktu terbang atau OTP  berada di bawah 70 persen.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S. Gumay mengungkapkan,   Lion Air  memiliki OTP rata-rata 66,45 persen dan Batavia Air 68,83 persen untuk periode Januari-April 2011.

“Kedua maskapai ini  tingkat OTP-nya masih di bawah 70 persen, sehingga masuk dalam kategori merah. Kondisi ini membuat mereka harus terus diawasi,” katanya di Jakarta, Rabu (3/8).

Dikatakannya, melihat posisi   Batavia Air yang masih menempati posisi terendah kedua setelah Lion Air nantinya dapat diminta untuk menurunkan frekuensi terbang jika dalam pengawasan ternyata maskapai ini belum juga meningkatkan nilai OTP nya.

“Kalau memang nantinya Batavia belum juga menaikkan OTP hingga diatas 70 persen, mereka bisa dikenakan sanksi yang sama seperti Lion Air belum lama ini,” katanya.

Untuk diketahui, Lion Air dikenai sanksi berupa pengurangan frekuensi terbang dengan mencadangkan 10-13 pesawat perhari untuk meningkatkan OTP karena maskapai ini paling sering delay atau terlambat terbang.

“Lion kita minta untuk mengatur jadwal dan produksinya, agar OTPnya naik. Kita pancing mereka agar sadar, agar peduli akan budaya safety, pelayanan bagus, jangan cari untung saja, kalau tidak rutenya kita kurangi,” katanya.

Menurutnya,  sejak pemberian sanksi tersebut, Lion sudah kurangi frekuensi sebanyak 82 rute dan sudah mencadangkan lima pesawat. “Batavia bisa juga diperlakukan sama dengan Lion nantinya, kalau kelebihan produksi, harus dikurangi. Standby pesawat harus atur jadwal,” kata Herry.

Kemenhub menetapkan maskapai dengan nilai OTP dikisaran 60-70 persen  masuk kategori merah dan wajib ditingkatkan. Untuk maskapai dengan nilai OTP 70-80 persen masuk kategori kuning, ini juga perlu ditingkatkan, dan dengan nilai 80-90 persen kategori hijau, sedangkan 90 persen kategori istimewa. Semakin rendah nilai OTP, berarti maskapai itu paling sering delay.

Saat ini Garuda Indonesia tercatat sebagai satu-satunya maskapai nasional dengan nilai OTP tertinggi diatas 80 persen yakni 86,98 persen.

Masih menurutnya,  rendahnya OTP karena maskapai berlomba produksi tinggi, sedangkan manajemen dan kru tidak memenuhi. Produksi tinggi harus diikuti jumlah kru, minimum 3,5 set kru untuk satu pesawat.

“Salah satu penyebab ketersediaan kru tadi. Maskapai harus menambah kru. Lion Air sudah tambah 100 kru, ada sebagian asing, yang kemarin belum sempat dilatih. harus dijadwalkan,” kata Herry.

Diungkapkannya, untuk mengawasi implementasi OTP,  pihaknya sudah menurunkan tim dari inspektorat untuk mengawasi masalah delay pesawat ini disejumlah bandara.

Secara terpisah, Direktur Komersial Batavia Air Sukirno Sukarna mengakui  OTP Batavia memang 68 persen. “Kami lagi perbaiki OTP ini, tentunya maintenance kita lebih perketat. Kami juga coba tambah kru. Kami targetkan dapat menaikkan OTP hingga 85 persen pada enam bulan ke depan,” kata Sukirno.

Diungkapkannya,  per 1 Agustus  sudah ada  tambahan I  6 kapten pilot. Selain itu sudah ada  kerjasama antar perusahaan dengan Cardig Air, agar pilot Cardig dengan rating yang sama dapat membawa pesawat Batavia Air. Saat ini Batavia Air memiliki 36 pesawat, yakni 29 jenis Boeing 737 series, lima jenis Airbus 320 dan dua Airbus 330.[dni]

 

040811 ULO SLJJ BTEL Molor

JAKARTA—Uji Laik Operasi (ULO) penyelenggaraan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) milik PT Bakrie Telecom (BTEL) dipastikan molor dari rencana semula karena kendala teknis yang dihadapi pemenang tender lisensi itu pada 2008 lalu.
“Tadinya BTEL memasang target sekitar bulan Juni lalu sudah bisa dilakukan ULO. Tetapi ada masalah di link yang menghubungkan sentral trunk  di Jakarta, Surabaya, dan Banjarmasin, sehingga pelaksanaan tertunda,” ungkap Direktur Telekomunikasi,Ditjen Penyelengaraan Pos dan Informatika Bonnie M. Thamrin Wahid di Jakarta, Rabu (3/8).
Menurutnya, melihat yang terjadi di lapangan, kemungkinan besar ULO baru bisa dilakukan pada akhir Oktober atau awal November nanti. “Ini tidak melanggar aturan karena sesuai ijin prinsip yang diberikan pada 2010, BTEL diberikan waktu hingga Januari 2012 untuk menggelar layanan SLJJ. Jika lewat dari batas waktu itu baru dikenakan sanksi denda,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Independen Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi mengungkapkan, saat ini tim dari kemenkominfo dan BTEL   sedang melakukan evaluasi lapangan, dan  merupakan bagian menuju ULO.  Padahal, sebelumnya kala diwawancara Mei lalu, Rakhmat mengungkapkan,  sudah mengajukan ULO dan ditargetkan selesai pada kuartal II 2011.
Menanggapi hal ini, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi meminta BTEL menunjukkan keseriusannya mengembangkan SLJJ karena sudah memenangkan tender. “BTEL harus serius di SLJJ. Sudah tiga tahun sejak menang tender tidak kedengaran gaung proyek ini oleh BTEL,” sesalnya.
SLJJ  adalah layanan komunikasi jarak jauh antarpelanggan yang masih berada dalam satu wilayah negara, namun dengan kode area yang berbeda. Di beberapa negara maju, SLJJ bukanlah merupakan suatu lisensi tersendiri  yang mesti diperebutkan, karena operator fixed line (jaringan tetap/jartap) bisa secara otomatis mendapatkannya. Lisensi SLJJ sangat berkaitan dengan lisensi lokal dan SLI, terutama pada sisi terminasi dari pelanggan satu ke pelanggan lainnya.
Tetapi tidak demikian ceritanya di Indonesia. Kode akses SLJJ tak bisa diberikan secara gratis. Bahkan, untuk pembukaan kode akses SLJJ secara “alami“ kepada pemegang lisensi pun membutuhkan jalan yang berliku.[dni]

040811 Pilihan Diwarnai Kontroversi


Tender Broadband Wireless Access (BWA) yang diselenggarakan oleh pemerintah tiga tahun lalu bisa dikatakan meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah (PR) sejak wacana lelang dilakukan hingga saat ini.
Tujuan pemerintah menyelenggarakan tender BWA di frekuensi 2,3 GHz antara lain, adalah memberikan nilai ekonomis atas sumber daya frekuensi yang terbatas, tarif internet terjangkau, dan mendorong pertumbuhan industri dalam negeri (IDN) perangkat BWA.
Tujuan pertama yakni memberikan nilai ekonomis terhadap frekuensi memang tercapai. Hal itu bisa dilihat dari hasil lelang dimana harga frekuensi per zona melonjak hampir 9 kali dari reserved price yang diusulkan pemerintah. Diperkirakan pemerintah mendapatkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi per tahun sebesar  458 miliar rupiah untuk 30 MHz, yang berarti sekitar  15 miliar per MHz.
Sedangkan pada 3G, besarnya BHP frekuensi adalah  32 miliar per MHz. Bila dibanding dengan BHP 3G, BHP BWA 2,3 GHz lebih murah, tetapi bila dibandingkan dengan jenis layanan dan jangkauannya,layanan BWA lebih mahal dari 3G.
Lantas bagaimana dengan tujuan lainnya yang ingin dicapai oleh pemerintah? Ternyata semuanya layu sebelum berkembang. Hal ini berpangkal pada ngototnya pemerintah untuk  memilih standar WiMAX 802.16d.
Pilihan pemerintah pada standar ini tak bisa dilepaskan dari keinginan agar IDN bangkit mengingat sudah ada beberapa pemain lokal yang mampu memproduksi sesuai standar yang diinginkan seperti Teknologi Riset Global (TRG), Hariff, LEN, atau Alvaritek.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Dari 8 pemenang lelang, tiga gugur dengan alasan telat membayar BHP atau pilihan standar tidak sesuai skala  ekonomis. Hanya tiga  operator yakni Berca, First Media, dan Telkom yang terlihat menggelar jaringan, sedangkan lainnya menunggu pemerintah melunak dengan pilihan standar teknologinya.
Bagi operator masalah pilihan standar teknologi ini sangat penting karena berkaitan dengan  investor untuk mengadakan jasa. Hal ini karena di industri telekomunikasi saat ini tengah marak pola investasi dengan vendor financing. Dalam skema ini operator menggandeng   vendor perangkat untuk menggelar jaringan.
Sistem itu biasanya memungkinkan   perangkat dipasang dulu setelah itu hasilnya dibagi dua.  Hal yang menjadi masalah, standar pilihan pemerintah ini tidak diminati oleh pemain perangkat asing yang cenderung bermain di WiMax 16e.
Sekarang pemerintah telah melunak dengan memberikan kebebasan pilihan yakni teknologi netral. Tetapi akankah WiMax sesuai keinginan pemenang tender terwujud?. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No  53/2000 Tentang  Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit dalam pasal 27  dinyatakan pelaksanaan realokasi frekuensi radio harus memberitahu pemegang izin dua tahun sebelum penetapan.
Artinya, jika merujuk kepada regulasi ini tentunya pengubahan standar akan membuat komersialisasi Wimax semakin lama.  Seandainya dipaksakan pun pengubahan standar maka bisa dianggap melanggar  PerPres 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa dimana dianggap telah terjadi post bidding. Pasalnya, Kemenkominfo kala menginformasikan ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa kabarnya tidak mencantumkan bahwa satu pemenang, Telkom, tidak menyetujui langkah pilihan teknologi netral ini. Diyakini potensi Telkom akan menuntut ke pengadilan akan tinggi karena operator ini dirugikan dengan kebijakan itu.
Pengamat telematika dari Universitas Indonesia Gunawan Wibisono menilai langkah yang diambil Kemenkominfo menetapkan teknologi netral akan berdampak kepada pemain lain yang menduduki frekuensi sekelas BWA seperti di 2,1 GHz. “Bisa saja pemain 3G meminta dibebaskan menggunakan Long Term Evolution (LTE) karena selama ini membayar BHP berbasis pita seperti pemain di 2,3 GHz,” katanya.
Menurutnya, hal lain yang dilupakan Kemenkominfo nasib perusahaan manufaktur lokal yang telah berinvestasi mengembangkan standar 16d. “Ini kan mencla-mencle namanya. Apa tidak dipikir nasib investasi pemain lokal itu. Saya juga tidak yakin jika nantinya teknologi netral yang dikembangkan WiMax, bisa jadi para pemain itu malah memilih TD-LTE. Hal ini karena di dunia WiMAX sudah kalah pamor,” katanya.
Direktur  Teknologi Riset Global (TRG) Gatot Tetuko menegaskan kebijakan yang diambil Kemenkominfo tidak adil dan tidak konsisten kepada semua ekosistem “Teknologi yang sudah ditetapkan saja masih megap-megap, apalagi disuruh teknologi netral. Memangnya mudah pindah teknologi. Hal lain yang mengesalkan bagaimana nasib investasi kami sebesar 60 miliar rupiah,” kesalnya.
Menurutnya, tidak jalannya komersial BWA sejak lelang dilakukan tak bisa dilepaskan dari mental pemenang yang tidak mempercayai kemampuan perangkat lokal. “Ada pemenang tender yang hanya membeli perangkat TRG hanya untuk syarat lolos Uji Laik Operasi (ULO). Ini kan sudah tidak benar,” keluhnya.[dni]

040811 Empat PT Indonesia Terpopuler Versi Internet

JAKARTA—Empat Perguruan Tinggi (PT) Indonesia berhasil bertengger dalam daftar 20 universitas terbaik di wilayah Asia Tenggara menurut hasil riset  pemeringkatan  PT Webometrics periode Juli 2011.
Empat universitas lokal itu adalah  Universitas Indonesia (UI) di posisi 12,  Institut Teknologi Bandung (ITB) di posisi 16, Universitas Gadjah Mada (UGM) di peringkat 18, dan Universitas Gunadarma di ranking 19.
Situs webometrics.info mengungkapkan,  melakukan pemeringkatan terhadap lebih dari 20 ribu perguruan tinggi di dunia. Hanya 149 PT di Indonesia yang masuk pemeringkatan oleh lembaga yang berbasis di Spanyol ini, atau, ada penambahan 6 PT dari Indonesia dibandingkan edisi Januari.
Hasil pemeringkatan dipublikasikan setiap semester yaitu pada setiap bulan Januari dan Juli. Untuk edisi terbaru ini ada sedikit perubahan metodologi pemeringkatan dibandingkan edisi sebelumnya. Pemeringkatan didasarkan pada empat parameter yaitu Visibility, Size, Rich Files, dan Scholar.
Pada edisi sebelumnya, visibility diukur dengan jumlah tautan eksternal yang unik yang menuju ke website perguruan tinggi yang bersangkutan. Jumlah tautan tersebut diukur dengan Yahoo Site Explorer. Sementara Size adalah jumlah webpage pada sebuah website PT yang terindeks oleh Google, Yahoo Site Explorer, dan Bing.
Rich Files merupakan jumlah file yang ada di website PT dengan format dokumennya mencakup word, PPT, PDF, dan postscript. Sedangkan, Scholar merupakan jumlah artikel yang terindeks di Google Scholar.
Menurut webometrics.info pemeringkatan ini menggambarkan popularitas situs perguruan tinggi di dunia internet yang sangat ditentukan tingkat kekayaan produk akademik dari PT terkait.
Praktisi telematika Bayu Samudiyo mengatakan, sektor pendidikan harus mulai menyadari peran Internet tidak hanya sebagai sumber informasi tetapi juga bisa sebagai alat promosi. ”Di era internet ini tidak ada batasan wilayah. Dunia pendidikan Indonesia harus mulai menyadari peran internet untuk berpromosi dengan strategi yang tepat,” katanya. [dni]

040811 Trafik XL Mulai Naik

JAKARTA—Trafik telekomunikasi milik PT XL Axiata Tbk (XL) mulai menunjukkan kenaikan memasuki hari pertama Ramadan.
Head of Corporate Communication XL Febriati Nadira mengungkapkan, pada hari biasa trafik percakapan di perseroan sebesar  530 juta menit,  SMS (630 juta SMS), dan   data  (33 terabytes).
“Lonjakan trafik tertinggi terjadi pada hari pertama Ramadan atau 1 Agustus 2011dimana  SMS menjadi  790 juta atau naik  naik 25 persen disbanding hari biasa,  data sebesar 36,5 terabytes atau naik 11 persen disbanding hari biasa, dan  percakapan naik 8,5 persen dibandingkan hari biasa atau  575 juta menit,” ungkapnya di Jakarta, Rabu (3/8).
Diungkapkannya, kenaikan trafik mulai terjadi pada H-1 atau 31 Juli 2011 dimana ada  760 juta SMS atau naik  naik 21 persen dibandingkan hari biasa,  trafik data  36 terabytes atau  (naik 9 persen dibandingkan hari biasa, dan   560 juta menit percakapan atau  naik 6 persen dibandingkan hari biasa.
Sebelumnya, VP Network Operation Center XL Robert Dedi Purwanto mengatakan,   untuk mengantisipasi lonjakan trafik selama bulan Ramadan perseroan menyiapkan 100 BTS khusus dan 18 mobile BTS. Jumlah ini diluar tiga ribu BTS 2G dan dua ribu BTS 3G yang dibangun selama tahun ini. Sementara total jumlah BTS yang dimiliki 24 ribu site.
“Kami memprediksi selama Ramadan trafik mengalami kenaikan sekitar 30 persen, baik untuk suara, SMS, atau data. Area yang akan mengalami lonjakan itu paling besar di Jawa Tengah, sementara di Jakarta dan sekitarnya justru terjadi penurunan trafik,” katanya.
Berdasarkan catatan, dari kinerja semester I 2011, XL mengalami penurunan percakapan sebesar 7 persen dari 4,17 triliun menjadi 3,87 triliun rupiah. Penurunan pendapatan percakapan itu dsebabkan penurunan rata-rata pendapatan per pelanggan (ARPU). Pada semester I 2011 ARPU pelanggan XL 32 ribu rupiah per bulan dari sebelumnya di periode sama 34 ribu rupiah per bulan.
Manajemen XL menjelaskan menurunnya produktifitas suara tak bisa dilepaskan dari migrasinya pelanggan ke jasa data. Komunikasi masyarakat dinilai bergeser ke instant messaging karena tarifnya murah dan sudah termasuk dalam paket data yang digunakan pelanggan.[dni]

040811 Kebijakan Frekuensi: Regulator Ijinkan Teknologi Netral di 2,3 GHz. Upaya Mendorong Penetrasi Broadband

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya menyerah dengan pilihan teknologi yang digunakan untuk spektrum 2,3 GHz, khususnya yang akan digunakan oleh operator  pemenang tender broadband wireless access (BWA) tiga tahun lalu.

Jika sebelumnya,  Kemenkominfo lebih memilih standar  IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic Wimax dengan  teknik modulasi  Orthogonal Frequency Division Multiplex (OFDM) yang lebih dikenal dengan standar 16d.

Maka sekarang para pemenang tender dibebaskan memilih teknologi yang akan digunakan bisa standar 16d,  IEEE 802.16e-2005  untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA) atau 16e, mobile wimax, bahkan Time Duplex  Long Term Evolution (TD-LTE) sekalipun.

“Kami mencoba realistis dengan kondisi yang ada. Kita tidak bisa memasung pilihan teknologi yang akan digunakan. Jika terpasung dengan satu teknologi, kita khawatir tingkat penetrasi broadband di Indonesia tidak akan maju-maju,” ungkap  Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Muhammad Budi Setyawan di Jakarta, belum lama ini.

Diungkapkannya, perubahan kebijakan itu akan dituangkan dalam  peraturan pejabat direktur jenderal. “Kami telah berkonsultasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Hasilnya, kebijakan menggunakan teknologi netral ini tidak berdampak hukum terhadap hasil tender pada 2009. Tidak ada post bidding,” katanya.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono menambahkan, penerapan teknologi netral untuk sementara berlaku untuk alokasi di 2,3GHz dengan rentang 2360-2390 atau sebesar 30 MHz.

Menurut Nonot, penggunaan teknologi netral merujuk pada Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam penjelasan poin D No 31, pemerintah mengarahkan pembangunan pos dan telematika menuju konvergensi dengan menerapkan teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri.

“Teknologi yang terbuka akan menciptakan persaingan yang sehat antarpemain, dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi sumber daya lokal. Siklus perkembangan teknologi yang cepat juga harus diimbangi dengan regulasi yang mendukung,” ujarnya.

Dijelaskannya, syarat bagi operator pemenang tender BWA memilih teknologi netral harus bisa berinterperobility dan rela merogoh kocek untuk membayar price cap yang nantinya akan diumumkan pemerintah.  Penentuan price cap akan dilakukan melalui konsultasi publik.

”Kita akan diskusi dengan lembaga terkait untuk menentukan price cap jika operator ada yang memilih teknologi netral. Harus diketahui, sejak dulu para KRT di BRTI mendorong dipakainya teknologi netral,” katanya.

Ditegaskannya, walau memilih teknologi netral, namun regulator tidak akan menyampingkan masalah penyerapan komponen lokal yang dikenal dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dari sisi penggunaan perangkat nantinya.

Diungkapkannya, dari diskusi yang ada terkait TKDN, pemerintah menimbang menggunakan standar di 16d dimana pemenang tender wajib  memenuhi sebesar 30 persen bagi  subscriber station (CPE) dan 40 persen untuk base station TKDN dalam proyek BWA. Selain itu  juga diwajibkan meningkatkan penggunaan produksi perangkat telekomunikasi lokal hingga 50 persen dalam jangka waktu 5 tahun.

Untuk diketahui, sejak pengumuman tender pada 2009, layanan BWA dengan teknologi WiMAX 16d belum  dikomersialisasikan oleh para pemenang tender walau kewajiban membayar up front fee dan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dipenuhi.

Alasannya, pilihan teknologi yang ditetapkan oleh pemerintah tidak memenuhi skala ekonomis sehingga menyulitkan para operator. Padahal, berdasarkan dokumen tender, perusahaan pemenang tender harus melakukan komersialisasi layanan pada November 2010, yang bisa diperpanjang selama satu tahun hingga November 2011.

Berdasarkan hasil tender 2009, pemerintah menetapkan delapan perusahaan sebagai pemenang tender lisensi BWA. Tiga perusahaan kehilangan lisensi, karena tidak mampu membayar biaya up front fee dan BHP frekuensi tahun pertama senilai  70 miliar rupiah.

Saat ini tersisa lima perusahaan pemegang lisensi BWA, yakni PT Berca Hardayaperkasa, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT First Media (First Media), PT Indosat Mega Media (IM2), dan PT Jasnita Telekomindo. Masing-masing perusahaan mendapat kapasitas sebesar 30 MHz di setiap zona lisensi.

Sambut Gembira
Chairman Berca Group Murdaya Widyawimarta Poo menyambut gembira langkah dari pemerintah tersebut. ”Kami siap memenuhi keinginan pemerintah, baik soal harus adanya price cap atau TKDN,” katanya.

Diungkapkannya, perusahaan telah menyiapkan investasi hingga  500 juta dollar AS untuk memasarkan layanan WiMax dengan merek Wigo di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali-Nusa Tenggara dengan pengadaan perangkat dari Xirka dan Panggung Electric Citrabuana.

Menurut Direktur IM2 Indar Atmanto kebijakan teknologi netral dalam pemanfaatan spektrum yang terbatas   akan mampu meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam memanfaatkan teknologi.

Namun, ketika ditanya kesediaan membayar price cap, Indar menjawab secara diplomatis. ”Semua faktor akan menjadi pertimbangan   termasuk ketentuan-ketentuan terkini yang berlaku. Dalam men-deploy layanan BWA kita selalu memastikan bahwa layanan yang akan dipasarkan dapat dinikmati masyarakat dengan harga yang terjangkau,” katanya.

Sementara Head Of Corporate Communication Affair Telkom Eddy Kurnia menolak keras rencana pemerintah tersebut karena bertentangan dengan hasil tender. “Kami menolak rencana pemerintah ini. Ini namanya memberikan ketidakpastian bagi berinvestasi. Jika dari awal ditetapkan teknologi netral, tentunya Telkom dalam ikut tender tiga tahun lalu strateginya tidak seperti kemarin,” ketusnya.

Secara terpisah, Praktisi telematika Hermanuddin menyarankan jika pemerintah konsisten ingin mengembangkan BWA, seharusnya tidak perlu lagi ada price cap karena sudah dibayar oleh pemenang tender kala lelang beberapa tahun lalu.

“Frekuensinya sudah ditetapkan fleksibel mau digunakan untuk teknologi apa saja. Sekarang harusnya bergantung kepada pengguna melihat mana yang lebih efisien dan ekonomis,” katanya.[dni]