Mengelola frekuensi memang pekerjaan paling berat bagi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang dibantu oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Pengelolaan frekeunsi salah satu fokus dari Kemenkominfo karena inilah sumber utama Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.
Pada tahun lalu, PNBP Kemenkominfo sekitar 8,5 hingga 9,1 triliun rupiah, dimana hampir 80 persen disumbang pengelolaan frekuensi. Sektor telekomunikasi menyumbang 90 persen dari BHP frekuensi, yaitu mencapai 5,13 triliun rupiah, sedangkan sektor penyiaran hanya menyumbang 20 miliar rupiah pada tahun lalu.
Sayangnya, hingga sekarang setumpuk persoalan terkait penataan frekuensi belum bisa diselesaikan oleh regulator. Sebut saja masalah tunggakan BHP frekuensi Smart Telecom (Smart) dimana menurut perhitungan Kemenkominfo saat ini sudah mencapai 1,1 triliun rupiah.
Berikutnya, tak optimalnya penggunaan frekuensi 2,3 GHz walaupun BHP dan Up front fee telah dibayar oleh lima pemenang tender Broadband Wireless Access (BWA). Terakhir, yang paling kontroversial adalah tarik ulur penataan frekuensi 3G di 2,1 GHz karena Telkomsel engan untuk berpindah kanal.
Mengapa kontroversial? BRTI dalam plenonya telah memutuskan meminta Telkomsel yang telah datang duluan di kanal 4 dan 5 pindah ke kanal 5 dan 6 agar Tri bisa berada di kanal 1 dan 2, sedangkan Axis di 3 dan 4. Posisi sekarang adalah Tri berada di kanal 1, NTS (3), Telkomsel (4 dan 5), Indosat (7 dan 8), XL (9 dan 10). Sementara kanal nomor 2, 6, 11, dan 12 lowong.
Namun, apa yang terjadi? Walaupun Menkominfo Tifatul Sembiring sudah memberikan sinyal mengikuti saran BRTI dan menahan lelang kanal ketiga bagi pemain 3G hingga tahun depan, Telkomsel tak bergeming.
Bahkan opini publik dibangun seolah-olah penataan ditunggangi oleh kepentingan asing dimana secara kebetulan dua operator (Tri dan Axis) yang sangat membutuhkan tambahan kanal dikuasai oleh investor luar negeri, serta tidak optimalnya frekuensi yang dikelola selama ini oleh mereka.
Bagaimana ini bisa terjadi? Tidak adanya sosok yang memiliki ketegasan sebagai Ketua di BRTI layaknya era Basuki Yusuf Iskandar bisa dikatakan salah satu pemicunya.
Hal ini tak bisa dilepaskan dari adanya dua dirjen (Dirjen Sumber Daya Pos dan Informatika dan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika) di BRTI sebagai perwakilan pemerintah yang memunculkan kesan “Matahari Kembar”, walaupun ketuanya adalah Syukri Batubara yang menjabat Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika.
Kala Basuki menjadi Ketua BRTI, juga terjadi tarik ulur masalah penataan frekuensi di 1.900 MHz.
Namun berkat ketegasannya, StarOne dan Flexi, pindah ke frekuensi 800 MHz. Hal yang sama juga terjadi dalam pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) oleh Telkom bagi Indosat.
Faktor lain yang menjadi pemicu adalah dilupakannya peran sebagai pengayom semua pemain oleh para anggota Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) yang sebagian adalah wakil masyarakat.
Hal itu bisa dilihat kala diskusi yang diadakan oleh Telkomsel dalam rangka kesiapan jaringannya menyambut Lebaran pada Senin (9/8), dimana sejumlah anggota KRT menjadi narasumber.
Tentu ini menyakiti pemain lain karena bisa disalahartikan sebagai bentuk dukungan bagi Telkomsel secara tidak langsung. Jika merujuk pada masalah etika, tentu tidak elok kala masalah belum selesai regulator terlihat ”mesra” dengan operator yang bermasalah.
Menurut Direktur Penjualan Axis Telekom Syakieb Sungkar, posisi regulator itu adalah mengatur industri sehingga harus bisa menunjukkan ketegasan dan independensi.
”Regulator itu tugasnya menegakkan aturan main yang sudah disepakati. Jangan sampai terkesan malah pemain yang mengatur wasit. Ini yang bikin kompetisi tidak sehat,” ketusnya.
Praktisi telematika Kanaka Hidayat mengakui industri telekomunikasi membutuhkan regulator yang independen dalam mengelola spekturm frekuensi.
“Idealnya BRTI diberdayakan dengan menambah personil yang berkualitas untuk membantu para KRT. Jangan seperti sekarang dimana posisinya mengambang diantara dua konsep yakni regulator sebagai bagian dari pemerintah dan regulator sebagai badan independen terpisah dari jajaran pemerintah,” katanya.[dni]