JAKARTA–Investasi proyek rel perkotaan di DKI Jakarta diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang mencapai 1,09 miliar dollar AS atau melonjak 336 persen sebesar 250 juta dollar AS dibandingkan posisi pada 2005.
“Perizinan untuk proyek-proyek kereta api perkotaan di Jakarta terus meningkat selama 10 tahun terakhir, termasuk meningkatkan dan renovasi jaringan rel yang ada. Inilah alasan diprediksi investasi di sektor ini akan melonjak tajam 10 tahun ke depan,” ungkap Country Director Frost & Sullivan Indonesia Eugene van de Weerd di Jakarta, Selasa (30/11).
Dijelaskannya, saat ini Jakarta sedang mengalami urbanisasi dengan sangat cepat walaupun industrialisasi telah menyebar ke kota-kota kecil, namun Jakarta tetap menjadi pusat ekonomi
Diperkirakannya, migrasi penduduk dari kota-kota kecil ke Jakarta diperkirakan akan tumbuh di tingkat 1,1 persen per tahun pada 2010 nanti . Saat itu penduduk Jakarta diperkirakan akan mencapai 14.620 orang per kilometer persegi sehingga menjadikan kota ini. sebagai salah satu kota yang paling padat penduduknya di Asia Pasifik.
“Saat itu, kereta api adalah moda transportasi yang tepat untuk digunakan karena murah dan memiliki daya angkut yang banyak,” jelasnya.
Diungkapkannya, proyek rel perkotaan yang direncanakan untuk kota seperti Jakarta adalah mengatasi masalah kemacetan yang ada dan memudahkan laju masyarakat di seluruh kota, khususnya distrik-distrik pusat bisnis (CBD).
“Proyek ini juga ditujukan mencapai sistem transportasi umum yang lancar, menghubungkan berbagai daerah pinggiran dan area bisnis di perkotaan,” katanya.
Menurutnya, beberapa tahun ini Jakarta mengalami kenaikan dalam tingkat keterangkutan penumpang (ridership) perkotaan utamanya disokong oleh layanan komuter Jabotabek sepanjang 170 kilometer yang telah ada.
“Pada 2020 secara ridership kumulatif untuk kereta api perkotaan di Jakarta akan mencapai 340 juta dari perkiraan 182 juta di tahun ini. Hal itu tertolong oleh selesainya proyek MRT Jakarta pada 2016 yang akan mengangkut 110 juta penumpang pada 2020,” katanya.
Diungkapkannya, di kawasan Asia Pasifik, negara yang memiliki daya tarik tinggi untuk investasi rel perkotaan dalam 20 tahun mendatang adalah Mumbai, Shanghai dan Ho Chi Minh City.
Di antara ketiganya, hingga 2020, Mumbai adalah tujuan paling menarik untuk investasi rel perkotaan baik untuk segmen metro rail maupun monorel.
” Shanghai, dengan populasi lebih dari 20 juta jiwa juga menawarkan peluang yang signifikan untuk berbagai perusahaan teknologi rel terkait rencana untuk membangun 20 jalur metro dalam 10 tahun mendatang.
Sementara Ho Chi Minh City merupakan pesaing kuat sebagai tujuan investasi dalam pembangunan infrastruktur rel dengan usulan 6 jalur baru untuk transit cepat sepanjang lebih dari 100 km pada tahun 2020,” jelasnya.
Berkaitan dengan pasar rel Asia Pasifik dalam kurun waktu 10 tahun mendatang, Eugene memperkirakan akan mencapai 90 miliar dollar AS atau tumbuh 5-6 persen per tahun dari sekitar 50 miliar dollar AS pada tahun ini.
Sedangkan penumpang yang diangkut sebanyak 10,66 miliar orang pada tahun ini dan menjadi 15.35 miliar penumpang pada 2020.
“Untuk Asia Pasifik transportasi perkotaannya sedang dalam fase pertumbuhan, dibandingkan dengan Eropa Barat dan Amerika Serikat,” jelasnya.
Menurutnya, wilayah ini memiliki lokus pengembangan yang menarik, gabungan antara negara-negara dengan infrastruktur rel perkotaan yang sudah maju dan yang masih berkembang.
Sejauh ini di Asia Pasifik negara yang sudah maju infrastruktur rel perkotaannya adalah Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Sementara negara-negara seperti India, Cina, Vietnam dan Indonesia sedang dalam tahap pengembangan infrastruktur rel.
Diingatkannya, untuk memajukan investasi di rel perkotaan di Asia Pasifik faktor sektor swasta akan menentukan disamping pendanaan dari lembaga keuangan domestik dan internasional. “Kendalanya di negara-negara ini adalah masalah kurangnya tenaga kerja yang handal serta sulitnya perizinan seperti dalam pembebasan lahan,” jelasnya.
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengakui, pemerintah harus membangun angkutan barang dan penumpang berbasis rel untuk merealisasikan terjadinya efisiensi dari sisi ebergi dan lingkungan hidup.
“Pemerintah tidak bisa mengutamakan pembangunan berbasis jaln jika melihat tren pertumbuhan penduduk dan barang di Indonesia di masa mendatang. Mengutamakan angkutan berbasis rel akan lebih baik karena dari sisi energi dan lingkungan terjadi efisiensi 20 hingga 50 persen,” jelasnya.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Asril Syafei mengungkapkan, untuk mendorong pembangunan angkutan berbasis rel pemerintah membuka peran bagi swasta untuk berinvestasi. “Swasta bisa berinvestasi di sarana, prasarana, atau keduanya. Pemerintah sendiri membuka kerjasama dalam bentuk Public Private Partnership (PPP) dengan percontohan adalah KA Bandara Soekarno-Hatta yang akan dimulai pembangunannya tahun depan,” jelasnya.
sebelumnya, Direktur Umum PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ignasius Jonan mengakui, konsep bisnis perekeretaapian yang berlaku di Indonesia saat ini dinilai belum kondusif karena konsep Public Service Obligation (PSO), Track Access Charge (TAC) dan Infrastructure Maintenance and Operations (IMO) belum diatur secara kondusif.
TAC adalah ongkos yang dibebankan dalam menggunakan infrastruktur negara (jalan rel, sinyal, dll). PT KAI wajib membayar TAC kepada Pemerintah dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sementara Infrastructure Maintenance (IM) saat ini dikerjakan bersama-sama dan tumpang tindih antara PTKAI dan Ditjen KA . Padahal, seharusnya dapat dikerjakan oleh siapa saja yang berkompeten untuk merawat Jalan Rel dan sinyal, melalui lelang oleh Ditjen KA. Sedangkan untuk Infrastructure Operations (IP) dilakukan PT KAI atas nama negara dan seharusnya menerima bayaran untuk pengoperasian.
“Kondisi saat ini besaran IMO sama dengan TAC. Dalam jangka panjang akan bermasalah karena tidak ada yang bertanggungjawab dengan jelas atas infrastruktur perkeretaapian,” jelasnya.
Sedangkan untuk PSO merupakan kewajiban negara yang harus dibayarkan kepada operator kereta api atas selisih Pedoman Tarif per Km/penumpang dan Tarif per Km/penumpang yang ditentukan pemerintah ditambah margin yang wajar.
Menurutnya, untuk memajukan moda kereta api dibutuhkan kombinasi jangka pendek, menengah, dan panjang antara regulator dan operator. Diantaranya adalah sertifikasi untuk seluruh operator KA dilakukan instansi yang berwenang.
Hal itu berupa pemisahan tugas yang jelas antara PT. KAI sebagai operator dan Ditjen KA sebagai regulator dalam hal pembangunan dan pengelolaan stasiun, rel dan persinyalan. Pemisahan aset yang jelas antara PT. KAI dan Ditjen KA dan mengundang swasta untuk ikut dalam operasionalisasi perkeretaapian Selain itu diharapkan penyelesaian semua regulasi perkeretaapian (PP, Permen/Kepmen, SOP/Juklak/Juknis) yang diperlukan. [Dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan