Departemen Perhubungan (Dephub) akan membuat besaran komponen biaya Terminal Handling Charge (THC) di setiap pelabuhan di Indonesia berbeda-beda.
THC adalah beban biaya pengelolaan peti kemas di pelabuhan dan biasanya dikenakan oleh perusahaan pelayaran. Sebelumnya di pelabuhan Tanjung Priok sesuai Surat Menhub No.
PR.302/3/18-PHB 2008 tertanggal 21 Oktober 2008 ditetapkan THC untuk peti kemas 20 kaki 95 dolar AS per boks. Angka tersebut terdiri dari Container Handling Charge (CHC) 83 dolar AS dan biaya tambahan (surcharge) 12 dolar AS.
Sedangkan, THC peti kemas 40 kaki ditetapkan 145 dolar AS per boks, terdiri dari CHC 124,5 dolar AS dan surcharge 20,5 dolar AS.
“Besaran biaya di Tanjung Priok tidak akan menjadi acuan di pelabuhan lainnya. Hal ini karena masing-masing pelabuhan tingkat efisiensi dan kapasitasnya berbeda-beda,” ujar Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, di Jakarta, Rabu (19/11).
Menurut Jusman, penentuan komponen THC akan lebih transparan di pelabuhan Suarabaya karena struktur biaya sangat deti per jenis kontainer.
“Di Surabaya THC-nya lebih kompetitif. Padahal kapasitasnya sama dengan Tanjung Priok. Karena itu Priok tidak bisa jadi acuan,” jelasnya.
Jusman menjelaskan, disparitas dari biaya THC akan membuat adanya kompetisi yang sehat antarterminal petikemas dan antar perusahaan pelayaran.
Selain itu, lanjutnya, kebijakan tersebut akan memicu seluruh pengeluaran yang dikenakan perusahaan pelayaran kepada pemilik barang, struktur biayanya jelas.
“Pemilik barang ada peluang mendapatkan harga yang kompetitif dengan struktur biaya yang jelas,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno mengakui, penerapan THC di Surabaya lebih transparan dibanding pelabuhan lain di Indonesia.
Benny meminta, penerapan THC di pelabuhan lain harus konsisten memasukkan biaya tambahan dalam komponen biaya angkutsehingga terjadi kompetisi antarperusahaan jasa angkut (Shipping Company). Transparansi juga diminta dalam penetuan CHC. “Kalau komponen bahan bakar sewaktu CHC tinggi dan sekarang (bahan bakar) lebih murah, harus disesuaikan. Selain iu jika ada penarikan pajak harus dikeluarkan fakturnya,” pintanya.
Sebaliknya, Ketua Dewan Pengguna Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengungkapkan, penerapan THC di Surabaya belum ideal karena biaya tambahan masih dimasukkan dalam THC. “Sama saja dengan Priok,” katanya.
Toto mengungkapkan, peliknya masalah THC karena selama ini yang menikmati adalah pelayaran asing. Sementara pelayaran nasional yang notabene menjadi agen pelayaran asing tidak menikmati sama sekali. Jadi, merupakan hal yang wajar Indonesia National Shipowner Association (INSA) kelimpungan dan menyatakan keberatan THC ditetapkan langsung oleh regulator.
“Yang harus dipertanyakan itu justru sikap INSA atas THC ini. sebenarnya mereka berpihak pada kepentingan nasional atau asing,” tegas Toto.
Bukti dari THC dinikmati oleh pelayaran asing tidak ada pemasukan pajak yang diterima oleh pemerintah dari komponen tersebut. “Semuanya diambil oleh pelayaran asing. Karena itu mulai tahun depan kita usulkan term of trade menjadi CY to CY terms sehingga dalam biaya angkut sudah termasuk CHC. Sementara THC dan surcharge dihilangkan,” tegasnya.[dni]