Ketika layanan telepon tetap nirkabel (Fixed Wireless Access/FWA) dengan merek dagang StarOne diluncurkan oleh Indosat empat tahun lalu, slogan memberikan telepon bagi semua kalangan digadang-gadang oleh operator tersebut.
Keyakinan menjadikan StarOne sebagai telepon yang akan digunakan semua kalangan tersebut tak dapat dilepaskan dari optimisme Indosat bahwa masyarakat membutuhkan akses telekomunikasi murah guna menunjang keperluan sehari-hari.
Ya, telekomunikasi murah memang menjadi andalan dari StarOne karena tarif yang diberikan bisa dibanting di bawah seluler mengingat lisensi yang dikantongi adalah telepon tetap (Pontap) dan teknologi diusung Code Division Multiple Access (CDMA).
Namun, seiring perjalanan waktu, StarOne tidak pernah mewujudkan mimpinya menjadi telepon untuk semuanya. Pertumbuhan pelanggannya sangat jauh berbeda dengan layanan seluler Indosat (Mentari, IM3, dan Matrix)
Saat ini diperkirakan StarOne hanya memiliki pelanggan di bawah satu juta atau sekitar 800 ribu pelanggan. Angka tersebut di bawah kapasitas terpasang yang mencapai dua juta sambungan. Karena itu tidak heran, pendapatan usaha dari segmen tersebut hingga 30 Juni 2008 hanya sekitar 853 miliar rupiah.
Jika dibandingkan dengan pemain yang baru muncul seperti Smart Telecom atau Hepi dari Mobile-8 Telecom, angka pelanggan StarOne memang membuat pemerhati menjadi miris. Smart yang dilansir pertengahan tahun lalu diperkirakan telah memiliki dua juta pelanggan, sedangkan Hepi yang keluar awal tahun ini sudah memiliki 400.000 pelanggan.
Pemisahan
Melihat rendahnya penetrasi dari StarOne, banyak kalangan menilai adalah hal yang wajar jika jasa tersebut dipisahkan dari Indosat jika Qatar Telecom (Qtel) merealisasikan niatnya menguasai saham Indosat sebesar 65 persen.
“StarOne kan kurang berkembang, sebaiknya memang dipisah saja dari Indosat,” ujar Menteri Negara BUMN Sofian Djalil belum lama ini seusai pemerintah mengumumkan sikapnya tentang batas kepemilikan Qtel di Indosat.
Sikap pemerintah tentang kepemilikan Qtel adalah mengizinkan operator padang pasir tersebut menguasai 65 persen saham di Indosat. Namun, jasa pontap harus dipisah dan memiliki entitas sendiri. Untuk pemisahan tersebut pemerintah memberikan batas waktu dua tahun bagi Qtel.
Kebijakan tersebut merujuk pada aturan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Beleid tersebut secara tegas menyebutkan kepemilikan asing pada penyelenggara jaringan tetap tidak boleh melebihi 49 persen, sementara di seluler maksimal 65 persen.
Sikap pemerintah tersebut dapat dikatakan hasil kompromi antara kantor Menko Perekonomian dan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Depkominfo didukung Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) secara tegas mengacu pada DNI, sementara kantor Menko lebih liberal. Akhirnya, sikap yang diambil adalah jalan tengah yakni Qtel diperkenankan berkuasa hingga 65 persen, tetapi pontap dilepas.
Kendala
Jika pemerintah konsisten untuk meminta Indosat melepas entitas pontap miliknya, maka dapat dipastikan tidak hanya StarOne yang akan dilepas tetapi pontap kabel dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) miliknya.
Sementara untuk Sambungan Langsung Internasional (SLI) sepertinya masih bisa dipertahankan oleh Indosat mengingat jasa tersebut dapat dicantolkan ke layanan seluler.
“Pemisahan tersebut menyangkut semua lisensi pontap yang mensyaratkan kepemilikan asing 49 persen. itu akan diawasi secara konsisten,” tegas Ketua BRTI Basuki Yusuf Iskandar kepada Koran Jakarta, Rabu (19/10).
Untuk diketahui, jasa pontap kabel milik Indosat dibanderol dengan nama I-Phone. Layanan ini nasibnya lebih miris ketimbang StarOne. I-Phone saat ini hanya memiliki 50 ribu pelanggan. Sementara untuk kode akses SLJJ hanya memiliki interkoneksi penuh di Balikpapan. Sedangkan di kota lainnya belum dibuka oleh Telkom.
Tidak dibukanya kode akses tersebut tak dapat dilepaskan dari tidak agresifnya pertumbuhan pelanggan pontap. Padahal, syarat pembukaan adalah adanya pertumbuhan pelanggan sesuai kesepakatan Telkom, pemerintah, dan Indosat awal tahun ini.
Direktur Pemasaran Indosat Guntur S Siboro mengatakan, pemisahan pontap milik Indosat menunggu petunjuk pelaksanaan (juklak) dari pemerintah. “Terus terang untuk soal ini manajemen belum bisa bicara banyak. Selain tender offer belum jalan, pemisahan ini akan mengalami banyak kendala jika dilaksanakan,” katanya.
Dia mengatakan, jika pemisahan dilakukan ada dua cara yang bisa dipilih yakni penjualan ke perusahaan lain atau memisahkan unit bisnis tersebut anak perusahaan baru.
Apapun yang akan dipilih, bentuk pemisahan Star One akan sangat berkiatan erat dengan manajemen jaringan, mengingat dalam satu menara telekomunikasi (base transceiver station/BTS), terdapat radio dari semua layanan Indosat, baik Mentari, IM3, Matrix, maupun Star One.
Bila pemisahan berupa penjualan ke perusahaan lain, bentuk manajemen jaringannya bisa berupa sewa menara dan tentunya perlu mekanisme kerja sama lebih lanjut. Sementara bila bentuknya pemisahan menjadi anak perusahaan baru, hal tersebut akan lebih memudahkan dalam konsolidasi jaringan dan layanan.
Guntur meminta, khusus untuk StarOne regulator harus memberikan pengertian yang komprehensif tentang jasa tersebut. “Saat ini pengertian telepon tetap nirkabel itu kan sumir. Sebaiknya definisnya diperjelas dulu, baru bicara pemisahan,” kataya.
Guntur membantah, StarOne berjalan di tempat dan tidak mendapatkan perhatian dari manajemen. Hal itu dibuktikan dengan keseriusan menggelar jaringan di 70 kota di seluruh Indonesia.
“Perkembangan StarOne tergantung pada banyak faktor, tidak bisa di isolasi pada faktor tertentu saja. Indosat memiliki banyak jasa sehingga pengaturan positioning dan offering akan disesuaikan dengan situasi pasar dan kompetisi,” katanya.
Dijelaskannya, di seluler pun Indosat memperhatikan situasi pasar (kebutuhan pasar) dan kompetisi (brand/jasa apa yang ditawarkan kompetitor). Sebagai contoh, IM3 agresif diposisikan untuk acquisition brand dengan komunikasi Above The Line yang gencar.
Sementara Mentari untuk retention dan frequent caller dengan komunikasi yang mengandalkan word-of-mouth. “Dalam situasi perang harga yang gencar di seluler, kurang manfaatnya bagi StarOne di”perang”kan dengan jasa tersebut. Lebih baik akuisisi lewat komunitas,” jelasnya.
Di luar faktor pasar dan kompetisi, guntur masih menggunakan alasan kuno yakni, lambatnya pembukaan interkoneksi oleh incumbent alias Telkom.”Interkoneksi menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan StarOne terutama untuk kota-kota kecil yang belum memiliki interkoneksi,” tegasnya.
Salah Pemerintah
Pengamat Telematika Miftadi Sudjai menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan memisahkan jasa pontap milik Indosat sebagai bentuk kesalahan regulator dalam memberikan lisensi.
“Seharusnya kejadian dimana Indosat akhirnya benar-benar lepas dari Bumi Pertiwi sudah bisa diprediksi oleh pemerintah dan BRTI. Proses itu kan sudah bisa diprediksi ketika dilepas ke Singapore Technologies Telemedia (STT) dan akhirnya ke Qtel,” jelasnya.
Dikatakannya, seharusnya setelah investor asing menguasai Indosat, regulator tidak perlu lagi memanja Indosat untuk memberikan keistimewaan dalam mengembangkan lisensi pontap. Hal ini karena investor asing hanya ingin mencari keuntungan dengan menggeber jasa seluler.
“Buat apa dipaksa dibuka kode akses SLJJ oleh Telkom, kalau tidak dimanfaatkan juga oleh Indosat. Semua itu dapat dibuktikan dengan tidak adanya perkembangan berarti dari jasa SLJJ Indosat. Ironisnya lagi, BRTI kala itu seperti pasang badan atas nama liberalisasi,” sesalnya.
Menurut dia, kebijakan pemerintah untuk memaksakan dipisahkannya entitas pontap tak lebih dari upaya mencuci dosa karena selama ini terlalu memanjakan Indosat. “Tetapi ini justru menjadi buruk bagi citra pemerintah. Investor asing akan melihat tidak adanya konsistensi. Memang kondisi ini simalakama,” katanya.[dni]
November 19, 2008
Kategori: Telko . Tag:Indosat, Telko . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar