Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) optimistis hadirnya teknologi baru untuk akses internet mulai tahun depan akan mampu mendongkrak penetrasi penggunaan internet.
Saat ini penetrasi internet di Indonesia untuk mobile broadband sekitar 6,41 persen dari total populasi, fixed broadband (0,74%), dan di rumah tangga (3,3%). Hadirnya teknologi baru diharapkan angka penetrasi melonjak menjadi 20 persen.
Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemenkominfo M.Budi Setyawan mengungkapkan pada Oktober nanti akan keluar peraturan setingkat Dirjen yang mengatur masalah pengunaan teknologi di frekuensi 2,3 GHz yang selama ini belum berjalan walau tender telah memiliki pemenang sejak beberapa tahun lalu.
Kabar beredar mengatakan, walau Kemenkominfo mengapungkan wacana teknologi netral di 2,3 GHz, namun diskusi dalam menyiapkan aturan mengarah ke WiMax 16e. Hal itu terlihat dari pembahasan di kalangan internal SDPPI yang tengah mengatur tentang lebar kanal dan interferensi antar dua teknologi yakni wiMax 16d dan wiMax 16 e.
Rencananya, definisi frekuensi tengah (center frequency) atau titik tengah frekuensi dalam sau channel bandwitdh untuk lebar kanal 3,5 MHz dan 7 MHz menjadi hanya menyebutkan lebar kanalnya saja (3,5 MHz, 5 MHz, 7 MHz, dan 10 MHz) tanpa mengatur lebih lanjut frekuensi tengahnya.
Bahkan, Rancangan Peraturan Dirjen yang akan keluar juga akan mengatur persyaratan teknis alat dan perangkat ke pelanggan, serta BTS. Tentunya, jika ini diteruskan, berlawanan dengan prinsip dari teknologi netral yang digadang-gadang oleh Kemenkominfo untuk frekuensi 2,3 GHz.
Dalam pengertian dunia internasional teknologi netral seharusnya tidak ada diskriminasi dalam pemilihan teknologi. Peran dari pemerintah lebih kepada menetapkan obyektif yang akan dicapai, Servicel Level Agreement (SLA), dan kualitas layanan.
Jika demikian, kenapa Kemenkominfo dalam menyiapkan aturan untuk frekuensi 2,3 GHz condong ke Wimax 16e, selain Wimax 16d? Bukankah di frekuensi ini bisa digunakan juga untuk Time Duplex Long Term Evolution (TD-LTE) yang juga dikategorikan standar Broadband Wirless Access (BWA)? Seandainya Kemenkominfo memang ingin memberikan jalan bagi wiMax 16e, seharusnya dengan tegas disebutkan standar tersebut tanpa membawa-bawa ide teknologi netral.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono membantah adanya keberpihakan pemilihan teknologi di frekuensi 2,3 GHz. “Kami fokus pada fungsi teknologi bukan mereknya. Data yang beredar di masyarakat itu baru sebatas usulan dan diskusi terus berlanjut karena internal inter-direktorat juga perlu disamakan presepsinya,” katanya.
Diungkapkannya, draft terakhir yang disiapkan adalah regulator memastikan dala teknologi netral setiap operator tidak memancarkan sinyal melampaui pita yang telah dialokasikan, tanpa melihat teknologi yang digunakan (Wimax 16 d, 16 e, atau TD-LTE). “Pita yang dialokasikan adalah 15 MHz. Silahkan dikelola kanalisasinya sesuai strategi penggelaran masing-masing pemain,” tegasnya
Anggota Komite lainnya, Heru Sutadi mengungkapkan, definisi teknologi netral tidak ada di UU Telekomunikkasi tetapi di UU ITE. ”Di UU ITE bicara soal teknologi netral artinya konsumen bisa pakai teknologi apa saja untuk akses internet. Saya rasa kita memang perlu ada terminologi bersama tentang teknologi netral. Satu hal yang pasti pilihan bagi operator di 2,3 GHz adalah wimax 16d atau 16e, sedangkan untuk TD-LTE masih dievaluasi” katanya.
Sementara Ketua Wimax Forum Indonesia Sylvia W Sumarlin meminta pemerintah untuk berpegang pada prinsip dari teknologi netral dengan tidak mengikat operator melalui standar atau pilihan teknologi. ”Jika memang bicara teknologi netral, diserahkan saja pada industri pilihan teknologi yang dipilihnya. Saya terbuka saja di 2,3 GHz itu untuk WiMax, TD-LTE, atau Offload WiFi sekalipun,” tegasnya.[dni]