Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya memberikan “parsel” yang istimewa bagi pemilik frekuensi di band 2,3 GHz untuk rentang 2360 – 2390 Mhz menjelang Lebaran lalu.
Kado yang diberikan adalah berupa dibukanya penggunaan teknologi netral bagi pemenang tender Broadband Wireless Access (BWA) 2009 lalu. Jika sebelumnya, Kemenkominfo lebih memilih standar IEEE 802.16d-2004 untuk Fixed atau Nomadic Wimax dengan teknik modulasi Orthogonal Frequency Division Multiplex (OFDM) yang lebih dikenal dengan standar 16d di rentang frekuensi tersebut.
Maka sekarang para pemenang tender dibebaskan memilih teknologi yang akan digunakan bisa standar 16d, IEEE 802.16e-2005 untuk Mobile Wimax dengan teknik modulasi Spatial Orthogonal Frequency Division Multiplex Access (SOFDMA) atau 16e, mobile wimax, bahkan Time Duplex Long Term Evolution (TD-LTE) sekalipun.
Lima pemenang tender BWA yang masih eksis adalah Telkom, First Media, Berca Hardayaperkasa, Indosat Mega Media (IM2), dan Jasnita Telekomindo
“Kami memutuskan untuk memberlakukan teknologi netral bagi pemenang tender BWA tiga tahun lalu. Nantinya kebijakan ini akan di tuangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo tentang Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2.3 GHz untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel ( Wireless Broadband ) Berbasis Netral Teknologi,” ungkap Juru Bicara Kemenkominfo Gatot S Dewo Broto di Jakarta, belum lama ini.
Dijelaskannya, sesuai hasil pertemuan antara regulator dengan para pemenang tender, maka diberikan diberikan pilihan untuk tetap menggunakan teknologi sesuai Dokumen Seleksi tahun 2009, dengan nilai Biaya Hak Penggunaan (BHP) Izin Pita Spektrum Frekuensi Radio (IPSFR) Tahunan sesuai hasil seleksi lelang tahun 2009, atau menggunakan teknologi BWA lainnya dengan konsekuensi wajib menerima nilai BHP IPSFR dari penyesuaian nilai harga seleksi lelang tahun 2009.
Kewajiban BHP IPSFR adalah BHP IPSFR tahunan, untuk pembayaran tahun ketiga sampai dengan tahun kesepuluh atau sampai dengan masa laku IPSFR berakhir. Tahun ketiga sampai dengan tahun kesepuluh, yaitu untuk periode 17 November 2011 sampai dengan 16 Nopember 2019. Mekanisme dan tata cara pembayaran kewajiban BHP IPSFR ditetapkan dengan Keputusan Menteri tersendiri.
Berdasarkan simulasi data yang dihimpun oleh Koran Jakarta. Kenaikan BHP yang diterima oleh pemenang tender jika memilih teknologi netral antara 8-10 persen dari tahun pertama. Misal, untuk zona gemuk Banten & Jabodetabek yang sebelumnya ditarik BHP 110,033 miliar rupiah, berubah menjadi 119,435 miliar rupiah. Begitu juga dengan Jabar dari 18,408 miliar rupiah menjadi 19,962 miliar rupiah dan Jawa bagian timur dari 29,742 miliar rupiah menjadi 32,290 miliar rupiah.
“Pilihan ini diberikan bagi pemenang tender tanpa ada paksaan dan sudah dikonsultasikan dengan instansi terkait untuk menghindari adanya potensi pelanggaran peraturan seperti post bidding,” jelasnya.
Ditegaskannya, walau diberikan keleluasaan bagi penyelenggara untuk memilih teknologi netral, tetapi pemerintah tidak akan melepaskan masalah pemenuhan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sekurang-kurangnya 30 persen untuk subscriber station (SS) dan 40 persen untuk base station ( BS) .
Begitu juga dengan rencana secara bertahap, alat dan/atau perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk keperluan layanan BWA wajib memenuhi TKDN sekurang-kurangnya 50 persen dalam jangka waktu 5 tahun.
Diharapkannya, setelah pemilik lisensi menetukan pilihan teknologi, segera dilaksanakan Uji Laik Operasi (ULO), selanjutnya pengajuan permohonan untuk mermperoleh izin penyelenggaraan. Jika izin penyelenggaraan sudah diperoleh, para penyelenggara BWA diizinkan untuk melakukan kegiatan komersial kepada para pelanggan. “Namun jika hanya masih memegang izin prinsip (yang kesemuanya ini akan berakhir pada sekitar tanggal 6 November 2011), maka dilarang untuk melakukan kegiatan komersial,” tegasnya.
Pilihan Ke 16e
Direktur Berca Hardayaperkasa Duta Sarosa, Direktur Jasnita Telekomindo Sammy Pangerapan, dan Sekretaris Perusahan Indosat Mega Media (IM2) Andri Aslan menegaskan, pilihan dari perseroan jatuh kepada standar Wimax 16e, walaupun harus merogoh kocek makin dalam untuk membayar BHP.
“Teknologi ini lebih berkelanjutan dan telah mencapai skala ekonomis baik dari sisi perangkat untuk operator atau pelanggan,” kata ketiganya secara terpisah.
Sammy yang juga Wakil Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengingatkan pemain BWA untuk menggandeng Penyedia Jasa Internet (PJI) dengan mengalokasikan 20 pesen dari kapasitas terpasang yang digelar.
”Sesuai dokumen tender kala lelang tiga tahun lalu, para pemenang diwajibkan membuka 20 persen kapasitasnya bagi PJI. Kami ingin memastikan operator BWA yang akan menggelar layanan secara komersial setelah keluarnya aturan penggunaan teknologi netral untuk melakukan hal tersebut,” ungkapnya.
Diperkirakannya, implementasi WiMax berstandar teknologi terbuka akan mampu melayani 23 juta pelanggan dengan nilai bisnis sekitar 5,75 triliun rupiah dalam setahun.
Menurutnya, dengan kapasitas yang ada saat ini, dan dengan nilai total BHP frekuensi sebesar 235 miliar rupiah , maka jumlah pelanggan yang bisa ditampung operator WiMax saat ini adalah sekitar 23 juta pelanggan dalam setahun, atau penambahan 2 juta setiap bulannya.
Terkait dengan harga BHP yang mahal, Sammy mengatakan biaya itu tidak mahal, karena berdasarkan perhitungan, biaya yang dikeluarkan operator untuk bayar lisensi per pelanggan per bulan adalah hanya 10 ribu rupiah dengan average revenue per user (ARPU) adalah sebesar 250 ribu rupiah.
Sementara Sekretaris Perusahaan First Media Harianda Noerlan mengungkapkan, masih dilakukan konsolidasi internal untuk menentukan pilihan standar yang diambil. ”Masih dilakukan konsolidasi internal, terutama masalah untung-rugi dan tambahan bayar BHP,” katanya.
Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah mengaku masih berpegang pada dokumen tender kala lelang dilakukan yakni Wimax Nomadic. “Kami terus terang belum berubah pendiriannya. Kita lihat saja nanti dinamika pasar,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno mengaku, teknnologi Wimax terlepas apapun pilihannya bisa menjadi solusi bagi operator 3G untuk meng-overload kapasitasnya agar jaringan tidak terbebani.
“Bisa saja terjadi kerjasama antara pemain 3G dan BWA dalam membawa trafik akses ke pelanggan. Tinggal skema bisnisnya saja dibuat saling menguntungkan,” katanya.[dni]
September 13, 2011
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar