“Terbatasnya area pelabuhan menyebabkan terjadinya penumpukan muatan di pelabuhan sehingga arus barang menjadi stagnan,” ungkap Juru bicara Pelabuhan Tanjung Priok, Hambar Wiyadi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Diungkapkannya, dalam 24 jam setiap harinya, antrian truk yang masuk pelabuhan mencapai 30 ribu truk. Dengan pembatasan beroperasinya truk itu, maka dipastikan menimbulkan kemacetan dan antrian yang panjang di pelabuhan.
“Proses bongkar muat selama 24 jam sehari pun akan terganggu mengingat sebagian barang atau komoditi menggunakan angkutan langsung (truck loosing). Hampir 70 persen kegiatan bongkar muat barang didistribusikan secara angkutan langsung (truck loosing),” katanya.
Menurutnya, adanya kebijakan pembatasan ini membuat pelayanan pelabuhan 24 jam sehari tidak bisa dilaksanakan, padahal hal ini tidak sejalan dengan program dari pemerintah pelayanan 24/7 untuk peningkatan produktivitas pelayanan bongkar muat barang di pelabuhan. “Harus ada tambahan kapasitas pelabuhan sebesar tiga kali dari kondisi saat ini, bila ingin lancar,” tegasnya.
Dikatakannya, kebijakan pembatasan itu juga merugikan pengusaha truk dan pemilik barang karena terjadi peningkatan biaya penanganan kapal dan barang karena distribusi barang tidak lancar sehingga kapal lama bersandar di pelabuhan dan barang lama ditimbun di pelabuhan. Hal ini tidak sejalan dengan program pemerintah untuk menekan atau menurunkan waktu barang ditumpuk di pelabuhan (dwelling time), dimana saat ini lamanya barang ditumpuk di pelabuhan mencapai 5,5 hari menjadi kurang dari 3 hari.
”Peningkatan biaya investasi pengadaan truck bagi pengusaha karena waktu operasi truck terbatas sehingga memerlukan tambahan angkutan (truck) yang lebih banyak. Jelas terjadi penurunan peandapatan bagi pengusaha karena jam operasi truck dibatasi,” tuturnya.
Secara terpisah Organda Angkutan Khusus Pelabuhan (Angsuspel) DKI Jakarta mengancam, akan segera menghentikan operasional seluruh armada angkutan bila pembatasan truk tersebut tetap diberlakukan.
“Kami minta pemerintah, khususnya Pemda DKI mengevaluasi lagi kebijakan tersebut, karena secara tidak langsung hal tersebut sangat merugikan para pelaku usaha trucking yang beroperasi di wilayah Jakarta khususnya,” kata Ketua Umum Organda Angsuspel Gemilang Tarigan.
Diperkirakannya, akibat kebijakan yang salah kaprah itu terjadi kerugian mencapai 400 ribu rupiah per hari per truk, dimana dari sekitar 6000 unit truck yang dioperasionalkan.
“Potensial lost yang diderita oleh para anggota seharinya bisa mencapai kurang lebih 1 -3 miliar rupiah dari sebelumnya kita bisa beroperasi 2-4 rit, apabila penerapan larangan operasional tersebut dilakukan kita hanya bisa beroperasi 1 rit saja perhari.” jelasnya.
Sementara itu, total kerugian yang dialami oleh pelaku usaha logistik yang menggunakan jasa angkutan khusus tersebut diperkirakan mencapai 100 miliar rupiah karena pengiriman barang (delivery) menjadi terhambat, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan biaya logistik menjadi lebih besar akibat telambatnya pengiriman muatan dan aktivitas bisnis para pemilik barang.
Juru bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Bambang S Ervan meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta segera mencabut kebijakan larangan truk masuk kota.
”Secara infrastruktur, kebijakan pembatasan itu belum siap, karena hanya memindahkan kemacetan dari tengah kota ke lokasi lain. Bahkan pihak Kementerian Pekerjaan Umum belum memberikan restu pihak Dinas Perhubungan DKI Jakarta melanjutkan kebijakan itu secara permanen,” jelasnya.
Kabar terakhir mengatakan, Polda Metro Jaya dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta akan terus menjalankan kebijakan pembatasan operasional truk yang sukses selama KTT Asean karena dinilai efektif menekan kemacetan di Ibukota.[dni]