Transformasi ternyata tidak hanya milik pemain besar. Pemain kecil alias medioker pun tak ketinggalan melakukan aksi ini untuk mengantisipasi era konvergensi.
Dua tahun lalu penguasa pasar, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) muncul dengan istilah Telecommunication, Information, Media, and Edutainment (TIME) sebagai jargon transfromasinya. Pada tutup kuartal I 2011, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) memperkenalkan visi Telekomunikasi, Media dan Teknologi (TMT).
TMT diusung dengan mengkonvergensikan tiga lini usaha yakni bisnis Telekomunikasi yang diwakili oleh BTEL, Media (Viva Group), serta Teknologi melalui Bakrie Connectivity (BConn) dan Bakrie Network (BNET). Dua perusahaan terakhir ini adalah anak usaha dari BTEL. BTEL dengan merek dagang Esia menyediakan layanan suara dan SMS dimana pada akhir 2010 memiliki 13 juta pelanggan.
Sedangkan Bconn dengan Affordable Hyperspeed Access (AHA) tahun lalu memiliki 150 ribu pelanggan data. Sementara BNET adalah anak usaha yang bergerak dibidang penyewaan infrastruktur menara dan serat optik yang tengah menggarap proyek di sepanjang ruas toal Kanci-Pejagan, selain di wilayah Jawa dan Sumatera.
“Secara sederhananya transfromasi ini disebut “BTEL 2.0: More Than Just Talk”. Ini sebuah lompatan besar kami yang kedua dalam lima tahun ke depan,” tegas Presiden Direktur Bakrie Telecom Anindya N Bakrie di Jakarta, belum lama ini.
Dijelaskannya, BTEL 2.0 lebih dari layanan suara, tapi juga akses data di mana pelanggan bisa menikmati solusi mobilitas secara keseluruhan dengan harga yang paling terjangkau.
Diungkapkannya, sejumlah langkah telah disiapkan oleh perseroan sejak dua tahun terakhir dalam mewujudkan BTEL 2.0. Pertama, mengajukan lisensi seluler ke pemerintah guna menggarap potensi pasar yang lebih besar yakni sekitar 83 triliun rupiah dibandingkan lisensi FWA milik Esia yang hanya 6.6 triliun rupiah. Lisensi sendiri kabarnya sudah disetujui oleh Kemenkominfo karena surat ijin prinsip sudah beredar di pejabat-pejabat berwenang di instansi itu.
Kedua, mengakuisisi satu perusahaan berbasis teknologi 4G yang memenangkan tender Broadband Wireless Access (BWA) tiga tahun lalu guna mengakali keterbatasan spektrum di 800 MHz yang dimiliki BTEL.
Ketiga, memperkaya konten dengan menggandeng pengembang aplikasi global dan mendorong pemain lokal melalui inkubasi dengan suntikan dana 100 miliar rupiah, serta memperkaya tipe perangkat untuk mengakses di era konvergensi. Terakhir, menawarkan 20-30 persen saham Viva Group ke publik dalam waktu dekat dengan harapan ada dana segar sebesar 800 miliar sampai 1,2 triliun rupiah.
”Kami menyiapkan belanja modal untuk empat tahun ke depan sebesar lima triliun rupiah guna mewujudkan transformasi ini. Sekitar 50 persen untuk akuisisi, sisanya untuk pengembangan. Kami optimistis pendapatan BTEL menjadi 7 triliun rupiah atau meningkat dua kali lipat dalam empat tahun ke depan. Jika transformasi berhasil, kontribusi suara dan data bagi total omset akan berubah dari 70-30 menjadi 30-70,” jelasnya.
Wakil Direktur Utama Bidang Pemasaran Bakrie Telecom Erik Meijer optimistis, konvergensi ini bisa direalisasi karena BTEL dan BConn dalam bisnis konten sudah jauh lebih matang daripada kompetitor lain berkat memahami cara bekerjasama dengan industri konten.
”Kontribusi Value Added Services (VAS) untuk pendapatan di BTEL sekitar 12 persen, sedangkan di kompetitor hanya 5 persen. Itu buktinya industri konten senang bekerjasama dengan BTEL,” jelasnya.
Penuh Tantangan
Pengamat telekomunikasi Guntur S Siboro mengakui, transformasi ala BTEL membuat perusahaan ini berpeluang besar untuk bertahan di masa depan. Namun, tantangan untuk mengkonvergensikan Access, Backbone, dan Content (ABC) tidaklah ringan.
”Realisasinya susah dilaksanakan karena model bisnis untuk konvergensi ABC itu belum ada yang tokcer. Hal ini karena filosofi bisnis telekomunikasi yang terbiasa dengan model usage berhadapan dengan konten yang menganut paham flat fee atau subscription. Praktik selama ini biasanya amburadul,” jelasnya.
Menurutnya, jika pun BTEL menambah lisensinya dengan seluler belum menjamin akan bisa bersaing melawan pemain besar karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan seperti penomoran dan komitmen pembangunan jaringan.
”Jika mengambil lisensi seluler, Esia tidak akan kompetitif di pasar karena menggunakan biaya interkoneksi seluler yang lebih mahal ketimbang FWA. Saya melihat dual lisensi yang ingin dimiliki BTEL lebih kepada keinginan meningkatkan nilai perusahaan agar mudah mencari pendanaan dari luar,” jelasnya.
Pengamat Keuangan Yanuar Rizky juga menilai aksi BTEL tak lebih mengemas perusahaan dalam bahasa komunikasi yang baik. ”Teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) yang diusungnya tidak mencapai skala ekonomi karena perubahan pasar terlalu cepat, sementara investasi mulai tergerus dengan terpangkasnya harga retail. BTEL butuh menyampaikan sesuatu ke pasar bahwa mereka bergairah, maka transformasi ini sepertinya solusi bagi para pemodal,” katanya.
Yanuar pun menyakini, kinerja perseroan ini dalam empat tahun mendatang akan tetap dibayangi oleh catatan negatif untuk bottom line karena selama ini investasi didanai melalui hutang. Hal itu bisa dilihat dari investasi besar dalam dua tahun belakangan sudah memukul bottom line dari perusahaan ini.
Untuk diketahui, BTEL hanya mencatat laba bersih 9,975 miliar rupiah di 2010, merosot hingga 90 persen dibandingkan tahun 2009 yang sebesar 98,442 miliar rupiah. Sementara pendapatan hanya naik 0,33 persen dari 3.435,6 miliar rupiah pada 2009 menjadi 3.447,1 miliar rupiah pada 2010,
Sementara Head Of Corporate Communication Telkom Eddy Kurnia menanggapi dengan tenang aksi BTEL karena perseroan sudah melakukan transformasi sejak Oktober dua tahun lalu. ”Kami sudah mendeklarasikan TIME sejak lama. Masing-masing perusahaan memiliki konsentrasi tersendiri untuk area pertumbuhan yang dibidikanya. Program TIME sendiri sudah berjalan di jalur yang benar,” jelasnya.
Sedangkan Presiden Direktur XL Axiata Hasnul Suhaimi mengungkapkan, perseroan memiliki cara sendiri untuk menghadapi era konvergensi. ”Kami akan fokus sebagai penyedia akses data, suara, dan SMS. Sedangkan untuk masalah konten, XL lebih senang menggandeng mitra dari luar sambil mencari cara mendapatkan model bisnis yang ideal agar tidak hanya sebagai pipa penghantar,” tuturnya.
Presiden Direktur Alcatel Lucent Indonesia Frederic Chapelard mengungkapkan, saat ini tantangan yang dihadapi operator bagaimana dapat bertahan agar bisa mengoptimalkan biaya dan mengoperasikan jaringan, serta melakukan diversifikasi sumber pendapatan.
Menurutnya, operator di Indonesia berada dalam lanskap telekomunikasi yang unik karena diramaikan dengan kehadiran 10 operator dengan skema lisensi yang berbeda-beda. Di sisi lain, operator menghadapi kenyataan bahwa tingkat pendapatan rata-rata perpelanggan merupakan salah satu yang terendah di dunia yaitu dibawah 4 dollar AS per bulan.
Disarankannya, sangat penting bagi operator untuk mengantisipasi berkembangnya pasar yang semakin terkoneksi ke arah Internet yang tidak hanya mencakup koneksi antarmanusia namun juga antarperangkat.
“Industri telekomunikasi memainkan peran penting mendukung pertumbuhan ekonomi seperti halnya peran pengembangan sosial. Peran ini membutuhkan kerja sama, kepemimpinan dan investasi dalam jangka panjang seiring tumbuhnya ekonomi dan daya beli masyarakat,” ujarnya. [dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan