Pengguna jasa telekomunikasi pada akhir tahun lalu berdasarkan data yang dilansir oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah mencapai 80 persen dari total jumlah populasi yakni berjumlah 237.556.363 orang.
Kondisi ini tentunya memaksa para operator harus pintar-pintar mengemas peluang di tengah pasar yang mulai masuk masa kejenuhan.
Berdasarkan catatan, Indonesia saat ini memiliki delapan operator telekomunikasi seluler, Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Mobile-8 Telecom, Smart Telecom, Natrindo Telepon Seluler, Hutchison CP Telecom, dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia.
Selain itu, negeri ini juga punya lima operator telepon tetap baik berbasis kabel maupun nirkabel dengan kode area terbatas, seperti Telkom, Indosat, Bakrie Telecom, Mobile-8 Telecom, dan Batam Bintan Telekomunikasi.
Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Syukri Batubara mengatakan, para pemain dituntut melakukan inovasi, kreativitas, dan produktivitas yang tinggi agar mampu bertahan.
“Kini masyarakat selaku konsumen jasa telekomunikasi sudah cukup cerdik dan mudah membedakan operator mana yang kreatif dan sebaliknya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (16/3).
Dimintanya, industri agar tidak buru-buru menyalahkan pemerintah karena keterbatasan sumber daya frekuensi. “Jangan buru-buru minta tambahan frekuensi. Itu namanya jalan pintas. Hal yang bagus adalah dengan keterbatasan sumber daya, namun kreativitas dan inovasi tetap terjaga dan justru lebih baik,” katanya.
Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam menjelaskan, penetrasi yang tinggi membuat industri mulai masuk ke masa kejenuhan. Sedangkan kondisi keuangan operator adalah pertumbuhan pendapatannya tertekan walaupun trafik mengalami kenaikan yang eksponensial dan kapasitas jaringan terisi penuh.
Menurutnya, cepatnya Indonesia mencapai masa kejenuhan salah satu pemicunya karena tidak ada batas yang jelas antara pemain seluler dan fixed wireless access (FWA). Hal ini membuat salah satu pemain, yakni FWA kian terdesak. ”Lihat saja dari revenue per minute (RPM) seluler yang mulai menyamai FWA dimana hal ini berarti pasar yang tadinya milik FWA telah digerus oleh pemain seluler,” jelasnya.
Ditegaskannya, pemain FWA pun dinilai tak bisa berbuat banyak. Apalagi, isu keterbatasan frekuensi menjadi kendala bagi pemain dengan lisensi ini untuk bermain di sektor yang dianggap keluar dari kejenuhan yakni data. ”Salah satu solusi dari kondisi ini adalah diperlukannya regulator yang kuat dalam memantau atau mengawasi persaingan usaha serta menata kembali industri. Tujuannya tentu agar tidak terjadi kondisi dimana satu pihak merasa dalam posisi tidak menguntungkan,” katanya.
.
Solusi lainnya, seluruh operator juga diimbau untuk melakukan persaingan usaha yang sehat khususnya dalam berpromosi agar semua operator bisa saling menguntungkan bukannya malah akan semakin merugikan operator itu sendiri atau bahkan sampai merugikan pelanggan, tukas Johnny.
Kurva Kedua
Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah mengungkapkan, kunci untuk keluar dari ancaman kejenuhan pasar terlebih di era konvergensi adalah bertransformasi. ”Ini tengah kami bangun melalui platform bisnis baru berbasis TIME, yakni telecommunication, information, media, dan edutainment,” katanya.
Dijelaskannya, tantangan yang dihadapi oleh operator telekomunikasi untuk bermain dimana data dan konten menjadi mesin pertumbuhan adalah budaya dimana penyelenggara jaringan selalu memerlukan modal yang besar dan investasi jangka panjang.
CEO & Presiden Direktur Indosat Harry Sasongko berpendapat, untuk bisa bertahan di tengah sengitnya kompetisi, operator harus bisa memenuhi new wave demand.”Ini eranya new generation of users, the rise of social network power. Generasi baru ini kita sebut juga sebagai generasi “C” alias content, dimana social network begitu powerfull dengan ditunjang oleh 180 juta pengguna telepon selular,” kata Harry.
Presiden Direktur XL Axiata Hasnul Suhaimi mengungkapkan, operator sedang mencari jalan menuju kurva kedua dari berbisnis karena jasa telekmunikasi dasar mulai masuk era kejenuhan.
”Kurva kedua itu adalah kombinasi akses data dan dervatif dari akses data dimana operator tidak hanya sekadar menjadi pipa penghantar,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini hampir semua orang sudah memiliki ponsel, dan tarif murah sudah diterapkan oleh semua operator, yang semuanya hampir memiliki jangkauan layanan seluler hingga 90 persen populasi, maka perseroan harus segera berpikir keras agar bisa terus tumbuh.
“Kalau tidak tumbuh, maka perusahaan ini pelan namun pasti akan stagnan atau melemah, lalu mati. Pada kondisi mendekati maturity seperti ini, operator harus segera semaksimal mungkin mencari sumber pertumbuhan baru selain dari layanan voice dan SMS, antara lain melalui layanan data,” jelasnya.
Business Development Director Ericsson Indonesia Sigit Permana memprediksi dalam waktu sembilan tahun mendatang 270 juta orang dan 1,7 miliar perangkat akan terkoneksi oleh akses telekomunikasi. ”Coumpound Annual Growth Rate (CAGR) dari pertumbuhan itu mencapai 24,13 persen. Jika operator tidak mulai melirik permainan baru, akan terperangkap di masa kejenuhan,” jelasnya.
Direktur Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan, dibanyak negara masalah penetrasi melebihi jumlah penduduk adalah hal yang biasa. ”Masih banyak peluang yang bisa digarap, apalagi hingga sekarang jumlah pasti tingkat pindah layanan (Churn) iu belum pasti,” katanya.
Menurutnya, peluang yang bisa digarap adalah operator tidak fokus hanya di Jawa karena di luar pulau itu ada potensi pasar sebesar 42 persen yang belum digarap secara potensial. ”Untuk masalah membuka area baru ini dibutuhkan bantuan dari pemerintah berupa insentif baik keringanan pajak atau membuka jaringan dengan dana Universal Service Obligation,” katanya.[dni]
Maret 17, 2011
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar