Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) awalnya dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2003. Lembaga ini terdiri atas Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) dan Ditjen Postel, Depkominfo.
BRTI periode 2009-2011, dilantik pada 2 Maret 2009 dengan susunan KRT terdiri dari lima wakil masyarakat yakni Danrivanto Budhyanto, Heru Sutadi, Iwan Krisnadi, Nonot Harsono, dan Ridwan Effendi.
Sedangkan dua wakil pemerintah adalah PLH Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika M. Budi Setyawan, serta staf khusus Menkominfo Adiseno. Kedua personil ini masuk di tengah periode menggantikan Basuki Yusuf Iskandar dan Abdullah Alkaff.
Jauh dari harapan. Inilah kalimat yang pantas dialamatkan kepada BRTI periode ini. Banyak contoh kasus bisa diapungkan dimana peran dan ketegasan BRTI tidak tampak sebagai lembaga yang harusnya menjadi pengawas dan pembina industri telekomunikasi.
Kasus yang menyangkut pelayanan kepada masyarakat yang bisa disebutkan adalah masalah SMS gratis lintas operator dimana jelas-jelas ada surat edaran dari lembaga itu tidak diperbolehkan sejak awal 2010. Entah kenapa, himbauan untuk menghentikan layanan itu dianggap angin lalu oleh pelaku usaha.
Berikutnya ketika berhadapan dengan penguasa industri seperti Telkomsel, lembaga ini tak ubahnya anak manis yang terduduk diam melihat kenakalan temannya.
Lihatlah kasus pemotongan pulsa pelanggan secara sepihak untuk berlangganan nada sambung pribadi “Ayo Semangat” atau kesalahan penagihan langganan data. Tidak ada ketegasan yang ditunjukkan oleh BRTI dalam membela hak pelanggan.
Lebih runyam lagi dalam kasus penurunan biaya interkoneksi atau mengakomodasi keinginan Media Citra Indostar (MCI) memindahkan satelitnya. Untuk interkoneksi, para KRT tidak bisa melanjutkan penurunan dobel digit yang telah dirintis para pendahulunya.
Sedangkan untuk pemindahan satelit, para KRT lebih memilih menyelamatkan satu pelaku usaha ketimbang repot menata sumber daya secara komprehensif sehingga menguntungkan industri secara keseluruhan.
Belajar dari perjalanan waktu, sudah seharusnya dalam aturan baru yang akan disahkan pada akhir Januari nanti Menkominfo berani melakukan sesuatu yang inovatif terhadap BRTI dengan tidak memilih wakil masyarakat yang masih “terafiliasi” dengan pemerintah atau dirinya.
Hal lain yang krusial adalah dipaparkan secara tegas dan jelas fungsi dan tugas setiap komponen di BRTI dan proses pengambilan keputusan yang transparan
Ini sangat penting sebagai ukuran kinerja setiap KRT yang menjadi perwakilan dari masyarakat. Selain itu adanya mekanisme penjelasan posisi dari setiap KRT terhadap satu kasus sangat dibutuhkan.
Contoh nyata dengan publikasi dissenting opinion agar tidak ada lagi wakil masyarakat yang berlindung atas nama kolegial. Tentunya juga dibutuhkan komitmen dari setiap KRT untuk bekerja penuh di BRTI. Bukan rahasia lagi, walau sudah diangkat sebagai KRT, sebagian masih tidak rela melepas profesi lamanya.
Terakhir, Kemenkominfo harus mulai secara legowo melepaskan pengaruhnya di BRTI karena berdasarkan konsensus terdahulu, masuknya unsur pemerintah adalah transisi. Jika semua pihak tidak membenahi diri, maka BRTI tetap saja akan menjadi macan ompong yang suka mengaum di media massa tetapi tidak berkuku di industri.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan