Kala teknologi telekomunikasi belum maju seperti sekarang, pemerintah tidak memandang frekuensi sebagai sesuatu yang bernilai tinggi. Puluhan tahun lalu, pemerintah lebih memanjakan penyiaran dalam memanfaatkan sumber daya alam terbatas itu karena berfungsi untuk diseminasi informasi dan membangun citra penguasa.
Namun, jaman telah berubah. Saat ini sektor telekomunikasi menjadi bintang dalam memberikan setoran kepada pemerintah berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Simak data berikut ini, pada tahun lalu Kemkominfo meraih PNBP sekitar 7 triliun rupiah atau berkontribusi sekitar 6,4 persen bagi total PNBP negara. Sedangkan pada 2010 angka itu melonjak sekitar 30 persen atau menjadi sekitar 8,5 hingga 9,1 triliun rupiah.
Hampir 80 persen PNBP dari Kemkominfo disumbang oleh Ditjen Postel, terutama dari pengelolaan frekuensi. Sektor telekomunikasi menyumbang 90 persen dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, yaitu mencapai 5,13 triliun rupiah, sedangkan sektor penyiaran hanya menyumbang 20 miliar rupiah pada tahun ini.
Sumber PNBP lainnya bagi Kemkominfo adalah pembuatan sertifikasi, biaya Jasa Telekomunikasi (Jastel), dan kontribusi Universal Service Obligation (USO). Jastel biasanya ditarik satu persen dari pendapatan operasional penyelenggara telekomunikasi. Sedangkan USO sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor operator.
Sayangnya, walaupun posisi sektor telekomunikasi menjadi bintang dalam hal setoran, tetapi tidak untuk penguasaan frekuensi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari warisan kebijakan di masa lalu dimana penyiaran adalah bintang lapangan.
Berdasarkan catatan, sektor telekomunikasi menguasai 585 Mhz, penyiaran berbasis satelit (1.600 Mhz), broadcast teresterial (700 Mhz), kementrian pertahanan/polisi (1.500 Mhz), Kemenhub (500 Mhz), dan penelitian (200 Mhz).
Melihat kondisi seperti ini, sudah saatnya dipikirkan oleh penguasa di negara ini melakukan refarming frekuensi dengan menghitung ulang kebutuhan setiap sektor usaha. Refarming adalah konsep menata ulang frekuensi yang telah terpakai dengan teknologi baru agar manfaat yang di dapat lebih optimal. Jika refarming terjadi, sektor telekomunikasi harus mendapatkan prioritas tambahan frekuensi mengingat era konvergensi akan datang dan membutuhkan penggunaan spektrum yang banyak.
Untuk kondisi Indonesia, refarming yang dilakukan haruslah bersikap nasional dan lintas sektoral. Pemerintah harus berani mengambil keputusan tegas dengan menarik frekuensi yang tidak terpakai secara optimal oleh satu sektor usaha atau mengurangi alokasi.
Di sektor telekomunikasi refarming bisa dilihat dari kepemilikan jumlah pelanggan dan daya jangkau operator. Sedangkan untuk penyiaran, para pelaku usahanya harus mulai menjalankan teknologi kompresi terbaru agar kepemilikan frekuensi yang besar bisa dikurangi dan dialihkan untuk teresterial.
Syarat dari suksesnya konsep penataan ulang ini harus dibuatnya Undang-Undang khusus tentang penggunaan frekuensi dan selanjutnya membentuk Badan pengelola frekuensi layaknya di beberapa negara Eropa seperti Perancis yang memiliki Agence Nationale des Frequences (ANF).
Badan yang langsung berada di bawah pemimpin pemerintahan ini harus dimiliki Indonesia mengingat pengaturan frekuensi lintas sektoral sehingga membutuhkan wewenang yang luas.
Jika seperti sekarang dimana hanya dipegang oleh level direktur di Ditjen Postel hal yang terjadi adalah kewenangan tidak sebanding dengan fungsi yang besar sehingga tidak mampu menahan intervensi dari pihak luar.
Terakhir, diperlukan kerelaan dari semua pihak untuk menyadari refarming bertujuan meningkatkan perekonomian negara. Soalnya sudah menjadi rahasia umum frekuensi dianggap sebagai aset oleh pelaku usaha, bukan “pinjaman” dari negara. [dni]