JAKARTA–Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) optimistis setoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun depan mencapai 11,8059 triliun rupiah atau naik 15 persen dari target tahun ini sebesar 10,266 triliun rupiah.
“Pada tahun ini kami melebihi target yang ditetapkan. Per 20 November saja sudah didapat PNBP sebesar 11,131 triliun rupiah. Sedangkan anggaran yang dialokasikan untuk tahun ini oleh negara ke instansi ini sekitar 2,8 triliun rupiah,” ungkap Menkominfo Tifatul Sembiring di Jakarta, Rabu (29/12).
Diungkapkannya, sumber utama PNBP datang dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi. Selanjutnya dari pembuatan sertifikasi, biaya Jasa Telekomunikasi (Jastel), dan kontribusi Universal Service Obligation (USO). Jastel biasanya ditarik satu persen dari pendapatan operasional penyelenggara telekomunikasi. Sedangkan USO sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor operator.
Berkaitan dengan belum selesainya pembayaran BHP frekuensi milik Smart Telecom sebesar 600 miliar rupiah, restitusi yang dilakukan terhadap Bakrie Telecom sebesar 80 miliar rupiah, atau kekurangan pembayaran dari Telkom dan Mobile-8 diyakini mantan Presiden PKS itu tidak mempengaruhi raihan PNBP pada tahun ini. “Realisasi per 20 November itu sudah menghilangkan setoran dari WTU dan Internux sebagai pemenang tender Broadband Wireless Access (BWA) yang dicabut lisensinya,” jelasnya.
Ditegaskannya, walau mulai tahun depan BHP frekuensi berbasis pita dilaksanakan tetapi tidak akan mempengaruhi besaran PNBP karena pemasukan akan datang dari hasil refarming frekuensi milik penyiaran.
BHP berbasis pita adalah penarikan frekuensi berdasarkan lebar pita yang dimiliki pelaku usaha. Sebelumnya penarikan berbasis izin stasiun radio (ISR).
“Implementasi TV digital akan memberikan lowong frekuensi. Nanti akan diprioritaskan untuk sektor telekomunikasi. Selain itu ada satu ijin TV digital yang dikeluarkan. Jadi pemasukan tetap besar,” katanya.
Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa meminta peraturan BHP berbasis pita harus diikuti oleh penghapusan berbagai pungutan bagi operator sehingga akan lebih efisien dalam mengembangkan jaringan untuk memperbaiki kualitas.
Sedangkan Pendiri Center for Indonesia Telecommunications Regulation Study (Citrus) Asmiyati Rasyid meminta masa transisi diperpendek menjadi dua tahun karena beberapa operator sudah menguasai frekuensi sejak lama tanpa ada niat membangun.
“Harusnya ada ketegasan dari pemerintah untuk operator yang telah lama mengangkangi frekuensi seperti Axis atau Tri. Jika alasan terbatas dana, rasanya tidak masuk akal karena keduanya mengajukan tambahan frekuensi untuk 3G,” tegasnya.
Menurutnya, penerapan BHP pita di masa depan berpotensi menurunkan setoran PNBP bagi pemerintah karena para pembayar terbesar seperti Telkomsel akan turun pungutannya. “Adanya masa transisi ini memperlihatkan operator besar menjadi penopang operator kecil. Jika mau kompetisi yang adil, BHP pita langsung diterapkan tanpa ada masa transisi,” ketusnya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan