JAKARTA—Regulator telekomunikasi sedang melakukan kajian untuk melelang frekuensi yang digunakan oleh operator satelit agar mendapatkan manfaat optimum dari penggunaan sumber daya alam terbatas.
“Operator satelit menguasai frekuensi terlalu besar sementara dari sisi pendapatan bagi negara sangat kecil dibandingkan teresterial. Hal itu bisa dilihat dari pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yang pincang,” ungkap Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono di Jakarta, Senin (6/9).
Dicontohkannya, penguasaan frekuensi yang terlalu besar yakni 150 MHz di spektrum 2,5 GHz oleh Media Citra Indostar (MCI). Penguasaan sebesar itu dianggap mubazir karena hanya bisa dinikmati oleh pelanggan TV berbayar dengan maksimal 500 ribu jiwa. Sedangkan jika diberikan untuk akses teresterial bisa dinikmati oleh 10 juta pelanggan. Padahal, World Radiocommunication Conference 2000 (WRC) pun menyatakan frekuensi 2,5 GHz dilakosaikan untuk teristerial baik itu pengembangan 3G atau WiMAX.
“Seharusnya pembayaran BHP untuk frekuensi satelit berbasis pita seperti di teresterial untuk 3G, bukan BHP kanal. Saya rasa jika dilakukan lelang BHP yang didapat akan kompetitif walau pesertanya sesama Direct To Home-Broadcast Satelite Service (DTH-BSS),” tukasnya.
Untuk diketahui, MCI dengan Indostar II masih menjadi kontroversi di Indonesia mengingat berencana menggeser satelit itu dari slot orbit milik Indonesia karena pemilik baru ingin mengoptimalkan Ku-band.
Pada tahun lalu kepemilikan Protostar II (nama lain Indostar II) berubah seiring bangkrutnya mitra MCI yakni Protostar Ltd. SES World Skies (SES) membeli satelit tersebut seharga 185 juta dollar AS, sehingga kepemilikan satelit sekarang diklaim oleh MCI adalah milik bersama dengan perusahaan Perancis itu.
Kabar beredar karena ada dua kepemilikan satelit ini memiliki nama yakni untuk penyiaran dengan S-band dinamai Indostar-II, sedangkan jasa KU-band diberikan nama SES-7. KU-band digunakan melayani Asia Selatan dan Tengah, serta menyerempet wilayah Sumatera.
“Seharusnya untuk satelit seperti di atas pemilik mayoritasnya membuat saja perusahaan di Indonesia sebagai PMA atau Joint Venture Corporation (JVC) agar ada pajak masuk ke negara serta penyerapan tenaga kerja. Regulasi tentang satelit yang baru harus membenahi sangkarut ini,” tegasnya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan