Jika dibandingkan dengan jasa telekomunikasi lainnya, bisnis satelit sangat kecil diberikan perhatian oleh pemerintah atau publik.
Isu tentang jasa ini baru menyedot perhatian publik dan pemerintah kala ada peluncuran satelit baru atau terancam hilangnya filling Indonesia di angkasa karena kurang diurus oleh pemerintah.
Filing satelit merupakan data teknis perencanaan satelit suatu negara yang nantinya diwujudkan pada fisik satelit yang didaftarkan ke International Telecommunication Union (ITU) agar tidak terjadi interferensi
Padahal, bisnis satelit sangat menjanjikan.Tahun ini bisnis satelit diperkirakan mencapai 5,75 triliun rupiah atau tumbuh 10-15 persen ketimbang tahun lalu. Angka itu dari sewa transponder, penyewaan Very Small Aperture Terminal (VSAT), DTH, dan backbone/backhaul operator.
Indonesia sendiri memiliki 159 transponder melalui 7 satelit milik lokal dengan pertumbuhan 10 persen setiap tahunnya. Sedangkan transponder asing sekitar 125 yang berasal dari berbagai negara seperti China, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Belanda, Jerman, Malaysia, dan Singapura melalui 25 satelit.
“Coumpound Annual Growth Rate (CAGR) di Asia untuk bisnis satelit itu mencapai 1,9 persen dari 2008-2016. di Indonesia pasarnya lebih besar karena penyiaran dan operator seluler terus mengembangkan jaringan. Belum lagi program telepon desa yang sangat membutuhkan VSAT,” ungkap Direktur & Chief Wholesale and Infrastruktur Indosat Fadzri Sentosa di Jakarta, belum lama ini.
Dijelaskannya, permintaan akses satelit untuk beberapa kawasan di Indonesia terjadi ketimpangan. “Ada area yang sudah terjangkau penuh oleh teresterial. Tetapi untuk area yang butuh satelit, kapasitas satelitnya kurang. Sebenarnya bisa diakali dengan menggandeng satelit asing. Masalahnya, satelit asing hanya beroperasi di area tertentu karena regulasi kita belum mengakomodasi sepenuhnya kemajuan model bisnis kerjasama satelit,” jelasnya.
Menurutnya, cara lain untuk meningkatkan kapasitas satelit adalah dengan melakukan kerjasama antara pemain lokal dalam membeli atau meluncurkan satelit, dan menawarkan jasa campuran antara satelit dengan teresterial (Hybrid satelite). “Ini bisa terealisasi jika regulasi secara tegas mengatur tentang pola berbagi resiko, skema kerjasama keuangan dan asuransi,” katanya
Untuk diketahui, Indonesia hanya punya dua regulasi yang spesifik mengatur tentang satelit yakni KM No 13/2005 dan KM No 37/2006 tentang Penggunaan Satelit. Dua regulasi itu mengatur tentang satelit asing wajib memiliki landing right dan membayar Biaya Halk Penggunaan (BHP) frekuensi kala beroperasi di Indonesia sebagaimana satelit lokal diperbolehkan di negara bersangkutan. Selain itu juga mengatur azas resiprokal dan melaporkan penggunaan filling Indonesia.
Ketua Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Tonda Priyanto mengakui berkah program Universal Service Obligation (USO) yang dilakukan pemerintah adalah bertambahnya pemain VSAT dalam waktu singkat. “Ini menunjukkan ada pertumbuhan di bisnis ini. Tetapi kami melihat adanya ancaman berupa perang tarif di bisnis VSAT. Kami khawatir ini bisa seperti di seluler sehingga berujung pada menurunnya kualitas,” katanya.
Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengungkapkan, untuk program telepon desa yang dimenangkan perseroan dua tahun lalu dibutuhkan 6000 perangkat penerima sinyal satelit VSAT berbasis IP yang disediakan oleh enam operator yakni AJN Solusindo, Tangara Mitrakom, Patrakom, Telkom Divisi Enterprise, Konsorsium Aprotech, dan Transnetwork Asia. Sedangkan untuk penyediaan jasa komersial, Telkomsel memperkirakan tahun ini membutuhkan 20 transponder.
“Harga sewa untuk STM-1 (Pipa data berkapasitas 155 Mbps) sudah turun dari 15 ribu dollar AS per bulan menjadi 8 ribu dollar AS,” katanya.
Deputi Direktur Perencanaan dan Kebijakan Spektrum Ditjen Postel Denny Setiawan mengungkapkan, permintaan akan jasa satelit tetap tinggi di Indonesia dalam tahun-tahun mendatang. “Hal ini karena Indonesia menargetkan seluruh program USO akan mencapai penetrasi 100 persen hingga 2014. Untuk menjangkau area USO, satelit biasanya menjadi andalan,” katanya.
Revisi
Direktur Kelembagaan Internasional Ditjen Postel Ikhsan Baidirus menyadari regulasi yang ada tidak sesuai lagi dengan model bisnis yang berkembang karena itu revisi aturan telah dipersiapkan. “Draft-nya sudah di meja Menkominfo. Kita perkirakan semester kedua ini sudah keluar regulasi baru guna menjamin kepastian investasi,” katanya.
Dijelaskannya, dalam revisi itu beberapa hal baru diakomodasi, terutama tentang pola kerjasama satelit secara condosat. Condosat adalah praktik satu satelit menggunakan beberapa filing. Tujuannya untuk mengurangi harga per transponder terutama di biaya peluncuran. Sedangkan hal lain yang dibahas dalam revisi regulasi adalah tentang filling yang didaftarkan atas nama Indonesia, kebijakan slot orbit, serta prosedur menggunakan slot orbit dan filling milik Indonesia.
Denny menambahkan, kesulitan dari meluncurkan satelit baru di Indonesia adalah menemukan slot orbit yang tepat dengan alokasi frekuensi khususnya untuk C dan KU-band. “Operator mencoba mengakali dengan menyewa satelit asing. Nah, masalah model bisnis sewa itu yang selalu menimbulkan kontroversi. Ini harus diakomodasi oleh regulasi,” katanya.
Menanggapi hal itu Tonda meminta pemerintah secepatnya merealisasikan janjinya untuk melakukan revisi regulasi karena pembahasan sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu.
“Dulu kala ada isu filling hilang langsung revisi regulasi diapungkan, setelah itu tidak ada kabarnya. Sekarang semoga revisi cepat direalisasikan tanpa harus menunggu Indonesia benar-benar kehilangan filling,” tegasnya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan