JAKARTA—Kementrian Perhubungan (Kemenhub) diminta untuk berhati-hati menambah pemain di sektor penerbangan karena kapasitas infrastruktur sudah tidak memadai.
“Menambah pemain di sektor penerbangan memang dilindungi oleh regulasi. Masalahnya, kenyataan di lapangan berbicara kapasitas infrastruktur sudah mulai krisis terutama di bandara,” ungkap Sekjen Asosiasi Maskapai Nasional/INACA, Tengku Burhanuddin di Jakarta, Selasa (8/6).
Diungkapkannya, saat ini fasilitas bandara seperti runway, taxiway, maupun parking sudah mengalami keterbatasan. Belum lagi airpspace serta slot time dengan jumlah perusahaan penerbangan yang ada sekarang mulai menimbulkan masalah.
“Apalagi beberapa maskapai sudah berencana menambah armada dengan badan lebar. Inilah kenapa perlu kajian teknis untuk jumlah penambahan pemain,” jelasnya.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, sebenarnya pembatasan pemain bisa dilakukan dengan mengatur kepemilikan aset minimum dari pelaku usaha. “Hal yang penting regulator tidak hanya mempertimbangkan masalah teknis, tetapi juga kemampuan finansial badan usaha,” jelasnya.
Secara terpisah, Direktur Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Tri S Sunoko mengungkapkan, hingga saat ini belum mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP) bagi 11 maskapai baru.
“Belum ada SIUP dikeluarkan, bahkan PT Firefly Indonesia Berjaya yang merupakan anak usaha Firefly Sdn Bhd (Group Malaysia Airlines) perlu dicek dulu ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepemilkan lokalnya walau telah menyiapkan tiga pesawat bersayap tetap (fix wing) untuk beroperasi di Indonesia pada tahun ini,” jelasnya.
Sampai saat ini, PT Firefly Indonesia Berjaya, dimiliki Firefly Sdn Bhd, anak usaha Malaysia Airlines sebesar 48 persen, sedangkan dua orang pemodal dalam negeri menguasai masing-masing 50 dan 2 persen.
Diungkapkannya, pihaknya telah menerima laporan akan mengoperasikan minimal tiga pesawat dengan satu dimiliki sesuai syarat Undang-Undang (UU) No.1/2009 tentang Penerbangan. “Firefly Indonesia telah memenuhi persyaratan menjadi maskapai charter dengan tiga pesawat, tetapi SIUP belum dikeluarkan ,” katanya.
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S. Gumay menegaskan, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Bali layak didarati oleh pesawat berbadan lebar seperti super jumbo Airbus A380.
“Dua bandara itu memiliki landas pacu (runway) dengan ukuran memadai untuk pesawat berbadan lebar A380,” katanya.
Dijelaskannya, saat ini kedua bandara itu telah ditetapkan sebagai alternate aerodrome untuk pesawat A380 milik Singapore Airlines dan Qantas.
Namun, Herry mengakui fasilitas terminal di kedua bandara itu tak cukup memadai untuk melayani pesawat super jumbo A380. “Kalau dipaksakan bisa tapi pelayanan untuk pesawat itu akan sangat lama dengan infrastruktur terminal yang ada,” tuturnya.
Sebelumnya, Airbus diketahui telah menawari maskapai Garuda Indonesia untuk membeli pesawat super jumbo A380. Airbus beralasan Garuda bisa menggunakan pesawat itu untuk melayani angkutan jamaah haji ke Arab Saudi dengan tingkat efisiensi cukup tinggi. Jumlah jemaah yang bisa diangkut diperkirakan sekitar 700 jamaah haji dalam satu kali penerbangan.[dni]