Lembaga riset Maravedis memperkirakan dalam waktu lima tahun ke depan sebanyak 25 operator di dunia akan melayani sekitar 226,7 juta pelanggan menggunakan perangkat yang bisa mengakses teknologi Long Term Evolution (LTE) dan 3G/UMTS. Pada saat itu akan dibangun 242 ribu makro base stations LTE oleh operator di seluruh dunia.
Senior Analis Maravedis Esteban Monturus memperkirakan hampir 84 persen operator di seluruh dunia akan meningkatkan kemampuan jaringannya ke High Speed Packet Access (HSPA)/HSPA+ dalam mengantisipasi evolusi LTE dan hanya 16 persen operator akan pindah ke Code Division Multiple Access (CDMA) atau Evolution Data Optimized (EVDO).
“Banyak operator mengembangkan LTE sebagai akses data. Hanya 40 persen yang akan menggunakan teknologi ini untuk suara,” katanya seperti dikutip Cellular News belum lama ini.
LTE menjadi buah bibir belakangan karena inilah kelanjutan dari teknologi seluler generasi ketiga (3G), setelah high speed downlink packet access (HSDPA), dan HSPA +. LTE adalah satu set perangkat tambahan ke universal mobile telecommunications system (UMTS) yang diperkenalkan pada 3rd generation partnership project (3GPP) release 8.
Inovasi ini memberikan tingkat kapasitas downlink sedikitnya 100 Mbps, dan uplink paling sedikit 50 Mbps dan RAW round-trip kurang dari 10 ins. Layanan LTE pertama di dunia dibuka oleh TeliaSonera di dua kota Skandinavia yaitu Stockholm dan Oslo pada 14 Desember 2009.
Head of Network Systems Product Management Nokia Siemens Network (NSN) Tommi Uitto menyakini, hadirnya LTE akan membuat akses internet melalui ponsel jauh lebih murah.
Berdasar data NSN, tanpa layanan suara sekalipun dengan teknologi LTE operator dapat mempertahankan belanja modal dan operasional sebesar 3 euro per pelanggan atau sekitar 33.864 rupiah.
Ilustrasinya, biaya capex dan opex berkurang ketika terdapat lebih banyak pelanggan yang berbagi biaya. Dengan sedikitnya 500 pelanggan per situs yang masing-masing menggunakan kurang dari 2GB per bulan, capex dan opex bulanan akan mencapai 3 euro per pelanggan.
Jika penggunaan data rata-rata dapat dijaga kurang dari 2 GB dan densitas pelanggan sangat tinggi, sangat mungkin untuk menekan capex dan opex bulanan sehingga kurang dari 2 euro. Jika biaya sewa situs dan backhaul sebagian dialokasikan untuk layanan suara, maka capex dan opex bulanan untuk data broadband akan menjadi lebih rendah lagi.
Sebagai perbandingan, saat ini koneksi internet unlimited milik XL dengan batas bandwith 1GB dibanderol 150 ribu rupiah. Sementara untuk layanan unlimited 1 hari dengan batas bandwith lebih rendah, konsumen diwajibkan membayar 10 ribu rupiah.
Belum Izin
Di Indonesia, terdapat tiga operator yang sudah berancang-ancang melakukan uji coba LTE pada semester kedua ini. Ketiga operator itu adalah Telkomsel, Indosat, dan XL.
Menkominfo Tifatul Sembiring mengungkapkan, hingga saat ini belum memberikan izin bagi tiga operator untuk melakukan uji coba. “Setahu saya baru penyedia jaringan Ericcson yang akan menaruh laboratorium kecil berbentuk kontainer untuk trial LTE. Kami berikan waktu 9 bulan bagi vendor itu melakukan uji coba,” katanya.
PLT Dirjen Postel M. Budi Setiawan menambahkan, jika pun LTE diujicoba tahun ini, teknologi itu baru bisa dikomersialkan paling cepat mulai tahun 2012-2013 nanti. “Banyak hal yang harus dikaji,” katanya.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengungkapkan, terdapat empat hal yang menjadi perhatian regulator. Pertama, perlu dipikirkan di mana pita frekuensi yang akan dipakai, dan berapa besar porsi yang bisa dimanfaatkan untuk LTE.
Kedua, belum ada kejelasan terkait bagaimana kontribusi lokal dalam mengadopsi LTE. Ketiga, posisi LTE terkait dengan implementasi WiMax di slot frekuensi 2,3 GHz. Hal ini karena dua inovasi (LTE dan WiMax) diklaim sama-sama reinkarnasi menuju 4G.
Wimax sendiri adalah teknologi berbasis data yang bekerja pada spektrum pita lebar layaknya Wi-Fi namun dengan jangkauan lebih luas dan kemampuan transmisi lebih cepat yakni mencapai 75 Mbps.
Keempat, regulator masih melihat juga best practise di beberapa negara lain mengenai adopsi LTE tentunya dengan memperhatikan keunikan Indonesia. “Untuk frekuensi sendiri, Indonesia sebetulnya masih terkendala dengan frekuensi yang tidak lowong saat ini, seperti di slot 2,5 GHz maupun 700 MHz. Persoalan ini masih dibahas,” ungkapnya.
Ancaman
Sikap Kemenkominfo yang terkesan memberi angin bagi LTE, membuat banyak pihak mencibir karena pemerintah terkesan mengikuti saja kemauan dari vendor asing dan para petinggi operator.
“Kemenkominfo sangat memanjakan teknologi yang didukung oleh Asosiasi GSM dunia yakni LTE. Padahal, Indonesia akan mengomersialkan Wimax sebentar lagi. Kedua teknologi ini sama-sama mengusung 4G,” tegas Pengamat Telematika dari Universitas Indonesia Gunawan Wibisono.
Gunawan meminta, pemerintah mengeluarkan regulasi untuk uji coba LTE seketat wimax misalnya pemenuhan konten lokal. “Perusahaan manufaktur dalam negeri sudah berinvestasi membuat perangkat wimax. Jika LTE dibiarkan tanpa kandungan konten lokal, tentu saja ini bisa melibas produk dalam negeri. Apalagi pengguna LTE itu dalam skala ekonomi lebih menjanjikan,” katanya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah yang berubah-ubah mencerminkan tidak adanya roadmap kebutuhan teknologi dan spektrum bagi industri telekomunikasi. “Jika begini operator wimax yang akan komersial bisa beralih ke LTE. Soalnya mereka membayar frekuensi berbasis pita yang artinya bisa untuk teknologi netral. Sebaiknya matangkan dulu satu teknologi sesuai kebutuhan masyarakat,” katanya.
Pengamat telematika Suhono Harso Supangkat menyarankan jika uji coba dilakukan bukan dalam bentuk test bed, pemerintah secepatnya memberikan arahan. “Harus ada kajian komprehensif terutama bagi industri dalam negeri. Indonesia butuh akses broadband itu benar, tetapi apakah kita harus mengadopsi semua inovasi. Ini harus dipelajari dulu,” katanya.
Sementara Sekjen Indonesia Wireless Broadband (IDWIBB) Y. Sumaryo Bambang Hadi mendesak regulator berfikir dua langkah di depan dalam menata industri. “Sekarang regulator terkesan reaktif bukan antisipatif. Padahal teknologi itu tidak bisa dibatasi ruang geraknya,” katanya.
Menurutnya, LTE dan Wimax bisa saling melengkapi untuk akses broadband, persaingan terletak pada penawaran konten yang diberikan ke pelanggan. “Kuncinya adalah kesetaraan hidup. Jangan LTE diberi penomoran, WiMAX tidak. Ini sudah jelas ada ketimpangan,” tegasnya. [dni]
Mei 19, 2010
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: 1 Komentar