Pada tahun lalu Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mencapai angka sekitar 9 triliun rupiah alias melampaui target yang dibebani sebesar 7 triliun rupiah. Angka itu membuat lembaga tersebut menyumbang 6,4 persen bagi total PNBP negara. Sedangkan pada tahun ini dtargetkan angka itu melonjak sekitar 30 persen atau menjadi sekitar 8,5 hingga 9,1 triliun rupiah.
Penyumbang terbesar bagi PNBP itu datang dari sektor telekomunikasi. Sektor ini juga berhasil menyumbang sebesar 1,2 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) negara pada tahun lalu.
Namun, tingginya sumbangan yang dihasilkan oleh sektor ini baik berupa PNBP atau pajak mulai mengkhawatirkan banyak kalangan karena dianggap telekomunikasi akan dijadikan sapi perahan ditengah upaya operator meningkatkan ekspansi dan kualitas layanan.
Untuk diketahui, di Indonesia pungutan berupa pajak yang dikenakan pada operator adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPH). PPN biasanya sudah dikenakan dalam harga kartu perdana dan tarif layanan ke pelanggan. Sementara PPH diambil dari pendapatan operator.
Sedangkan komponen PNBP adalah biaya lisensi (up front fee), Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi, BHP jasa telekomunikasi (Jastel), serta sumbangan Universal Service Obligation (USO).
Up front fee dikeluarkan oleh operator untuk mendapatkan lisensi, besarannya tergantung penawaran kala tender. BHP frekuensi ditarik berbasis izin stasiun radio (ISR) alias tergantung area yang dikembangkan dan jumlah Base Transceiver Station (BTS). Sedangkan BHP Jastel 0,5 persen dan USO 1,25 persen dari pendapatan kotor operator.
“Operator menjadi susah untuk berekspansi jika banyak pungutan yang dikenakan,” ungkap Chairman Lirne Asia Rohan Samarajiva kepada Koran Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, beragamnya pungutan yang dialami sektor telekomunikasi karena banyak pemerintahan di negara Asia mulai menyadari industri itu memiliki nilai yang tinggi. “Sayangnya pemerintahan itu lupa, jika penarikan pajak terlalu tinggi justru yang dibebani adalah masyarakat karena operator akan mengalihkan beban itu ke pengguna,” katanya.
Dicontohkannya pengenaan pajak untuk pulsa dan kartu perdana dimana sebenarnya pihak yang paling terbebani adalah masyarakat kecil karena layanan telekomunikasi sudah masuk hingga ke pedesaan. “Ini sesuatu hal yang aneh jika ada pengguna dengan pendapatan rendah malah mensubsidi segmen masyarakat lain dengan pendapatan tinggi,” katanya.
Peneliti lain dari Lirne Asia Helani Galpaya mengungkapkan, jika pemotongan pajak terjadi di sektor telekomunikasi akan signifikan mendorong tingkat penetrasi di satu negara. “Di Turki yang menerapkan pajak sangat tinggi jika terjadi pemotongan pajak diperkirakan akan meningkatkan penetrasi nyaris satu persen dari target,” katanya.
Kurangi Beban
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno mengakui pungutan yang dibebankan kepada operator mempengaruhi keinginan berekspansi. “Biasanya pungutan itu masuk ke biaya operasional. Untuk BHP frekuensi saja bisa mempengaruhi biaya operasional sebesar 15-20 persen. Belum lagi pajak-pajak di daerah, itu lumayan banyak juga,” ungkapnya.
Dikatakannya, jika pemerintah bisa mengurangi pungutan bagi operator akan signifikan menurunkan biaya operasional sehingga pelanggan bisa mendapatkan tarif yang lebih terjangkau dan ekspansi jaringan lebih agresif. “Jika BHP frekuensi dikurangi itu bisa menekan biaya produksi hingga 30 persen,” jelasnya.
Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi menyarankan, pemerintah harus melihat kembali segala jenis kontribusi yang diinginkan dari industri, terlebih dengan persaingan yang makin kuat dan penurunan average revenue per user (ARPU) yang terus terjadi.
Chief Marketing Officer Indosat mengungkapkan, hampir semua perusahaan telekomunikasi mengalami arus kas yang negatif, jika benar ada pengurangan beban, tentu akan signifikan membantu untuk berkompetisi.
Pungutan PNBP
Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam mengungkapkan, hal yang harus dikurangi oleh pemerintah adalah pungutan yang masuk dalam kategori PNBP seperti lisensi fee dan BHP frekuensi. “Jika itu dikurangi, operator bisa terus ekspansi untuk menambah kapasitas, feature dan jumlah pelanggan. Hal ini akan membuat pendapatan meningkat yang akhirnya setoran dari PPH atau PPN bisa naik terus. Jadi pajak itu dilihat hasil akhirnya bukan dari awal,” jelasnya.
Digambarkannya, biaya frekuensi di Hongkong sekitar 5 persen dari pendapatan satu operator, sementara di India (2-6% dari pendapatan) dan , China 0,5 persen dari pendapatan. Di Indonesia untuk operator besar yang jaringannya sudah besar kurang lebih 7-9 persen dari pendapatan dan ini belum termasuk BHP Jastel dan USO.
“Di Indonesia operator belum beroperasi sudah dipungut. Ini kan aneh. Jadi kalau dilihat dari perbandingan dengan negara lain pengurangan BHP ke depannya bisa cukup besar, mungkin 10-25 persen,” jelasnya.
Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi mengakui ada yang aneh dari pola penarikan BHP frekuensi karena tidak berbasis pada pendapatan atau laba. “Prinsip sekarang bayar dulu, terlepas layanannya dipakai atau tidak. Ini jelas membebani operator. Kalau pajak, kita bayar setelah ada pendapatan. Jadi walaupun berat tapi diambil dari pendapatan yang sudah ada,” katanya.
Sementara Rakhmat tidak setuju jika BHP frekuensi diambil dari pendapatan karena menyangkut penggunaan sumber daya alam terbatas. “Nanti kalau operator itu tidak investasi dan tidak ada pedapatan, terus tidak bayar frekuensi. Enak sekali. Baiknya yang ditimbang itu adalah asumsi dari penarikan BHP frekuensi yang sudah tidak update karena ARPU terus turun,” katanya.
Secara terpisah, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengakui skenario pungutan bagi operator memang menarik untuk dikaji karena kondisi saat ini yang terbesar adalah PPN dimana menjadi beban langsung pengguna, sedangkan PPH untuk operator sangat kecil di Indonesia.
“BHP Jastel dan USO sangat kecil di Indonesia. Kalau BHP frekuensi dan lisensi fee itu memang besar,” akunya.
Menurutnya, menurunkan BHP jastel yang cuma 0.5 persen jelas tidak logis. Hal yang rasional adalah PPN diturunkan, dan BHP Jastel dan PPH perusahaan dinaikkan sehingga lebih asil bagi rakyat karena elemen biaya perusahaan akan masuk ke komponen kompetisi.
“Sedangkan BHP frekuensi yang merupakan “bayar di muka” bisa saja diturunkan untuk mengurangi entry barrier. Ini akan membuat total kontribusi ke negara bisa saja konstan atau naik tetapi lebih fair karena dipungut sesuai revenue, bukan di muka ( di danai dari belanja modal),” jelasnya.
Hal lain yang disorot Nonot adalah penggunaan dari infrastruktur USO sebaiknya berupa open access network mengingat dana itu adalah iuran dari semua pelaku industri. “Jika ini bisa dilakukan, tarif bisa di tekan sangat rendah khususnya di daerah layanan USO sehingga terjadi subsidi silang dari daerah mampu ke daerah tertinggal hingga dicapai level komersial yang layak. Kalau sudah begini, operator tidak akan keberatan pungutan USO dinaikkan,” katanya.[dni]
April 26, 2010
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar