Pada tahun lalu industri telekomunikasi di Indonesia masih mencatat pertumbuhan yang menggembirakan baik dari sisi pendapatan atau penetrasi pelanggan.
Tercatat, tingkat penterasi kartu SIM mencapai 80 persen dari total populasi, sementara untuk pelanggan berkisar di angka 43 persen dari total penduduk. Sedangkan untuk kinerja keuangan, sejauh ini para pemain besar menunjukkan pertumbuhan pendapatan masih dikisaran dobel digit dan laba mulai menunjukkan sinyal positif setelah tahun sebelumnya tertekan akibat krisis ekonomi dan perubahan biaya interkoneksi.
”Dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan industri telekomunikasi di atas 30 persen per tahun. Beberapa tahun ke depan sektor ini sudah masuk ke periode mature alias tidak ada lagi pertumbuhan yang tinggi,” ungkap Kepala Riset Group Batavia Prosperindo Suherman Satikno di Jakarta, belum lama ini.
Praktisi telematika Bayu Samudiyo mengungkapkan, kondisi kompetisi yang makin ketat akan membuat terjadinya konsolidasi diantara sesama pemain. ”Tak bisa dielakkan akan ada konsolidasi, baik berupa aliansi strategis, merger, atau akuisisi. Diperkirakan hanya akan ada 5 atau 6 pemain yang tersisa dari 11 pemain yang ada saat ini. Saya perkirakan ada 4 pemain GSM dan dua CDMA saja nanti,” katanya.
Untuk diketahui, fenomena konsolidasi memang sudah terjadi sejak tahun lalu. Dimulai dari kerjasama roaming nasional yang dilakukan oleh Axis dengan XL atau tahun ini dimana Smart Telecom dan Mobile-8 melakukan aliansi pemasaran melalui Smart-Fren.
”Konsolidasi pasti akan terjadi di antara pemain. Kami sebagai regulator mengantisipasi dengan menggodok aturan tentang merger dan akuisisi. Nanti akan dilakukan konsultasi publik,” ungkap Anggota Komite Badan Regulasi .Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi kepada Koran Jakarta, Rabu (24/3).
Berdasarkan data yang diterima Koran Jakarta, peraturan tentang merger itu akan keluar dalam bentuk Keputusan Menkominfo. Aksi merger yang diatur dalam regulasi itu adalah Penggabungan Konsolidasi, Akuisisi (PKA) dan pengambilalihan, termasuk pengambilalihan aset atau unit usaha, jabatan rangkap, kepemilikan saham silang, ataupun usaha patungan,
Tujuan utama dari keluarnya regulasi itu adalah meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan spektrum frekuensi radio dan penomoran dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
Berikutnya, mencegah terjadinya transaksi sumber daya alam terbatas secara terselubung di antara pelaku usaha dengan dalih melakukan penggabungan, konsolidasi, dan atau akusisi dari pelaku usaha, serta mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha yang bermaksud melakukan penggabungan, konsolidasi, dan akuisisi.
Dalam kajian regulasi itu dinyatakan, seluruh aset (frekuensi, nomor, dan lainnya) yang dimiliki para pelaku usaha pemohon PKA harus dikembalikan kepada pemerintah, selanjutnya Ditjen Postel sebagai organ BRTI akan mengevaluasi seluruh aset tersebut. Apabila kepemilikan sumber daya terbatas itu terlalu lebar, wajib dikurangi atau kalau kurang perlu ditambah. atau dimanfaatkan dengan cara lain.
Para pelaku usaha yang akan melakukan PKA diwajibkan melakukan notifikasi pra PKA apabila dalam kegiatan ini para pelaku usaha mempergunakan dan atau menyangkut masalah sumber daya alam terbatas. BRTI nanti akan bertindak sebagai pihak yang menyetujui PKA, dan persetujuan ini mengikat pemohon PKA.
Draft dari regulasi ini sudah disebarluaskan di kalangan internal Ditjen Postel dan BRTI sejak November 2009. Diperkirakan regulasi ini akan disahkan setelah Peraturan Pemerintah tentang Merger diterbitkan.
Tidak Perlu
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santosa menegaskan, PKA adalah hal yang alami dalam dunia bisnis. ”Sebaiknya pemerintah tidak perlu ikut campur dalam upaya-upaya bertahan hidup yang sedang dilakukan para pebisnis di bidang telematika. Memang, hal ini akan menjadi tren terutama di Indonesia dimana jumkah operator terlalu banyak dan tidak jelas arah penerbitan lisensinya selain hanya untuk alasan keuangan,” ketusnya.
Praktisi telematika Suryatin Setiawan menambahkan, di industri selular indonesia PKA adalah satu-satunya langkah tersisa untuk menghindari bangkrutnya beberapa operator kecil karena terus merugi dan kekurangan skala ekonomi. ”Pemerintah sebaiknya mengatur pencegahan terjadi monopoli dan memelihara adanya kompetisi sehat agar operator tidak merugikan pelanggan dan mitra bisnisnya tetapi masih terus punya kesempatan tumbuh,” katanya.
Sementara Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi menginginkan, pemerintah dapat memberikan arah dan kebijakan yang jelas agar dapat menjaga momentum pertumbuhan operator, meningkatkan efisiensi, dan layanan bagi pelanggan.
”Aksi korporasi ini sesuatu yang lumrah. Penggabungan usaha yang dilakukan pelaku usaha tentunya sudah mempertimbangkan tingkat efisiensi dan efektifitas sumberdaya yang dimiliki. Harus diingat, sumber daya itu termasuk menjadi faktor hitung-hitungan bisnis dan nilai masa depan (future value) dari penggabungan usaha. Kalau aset dikembalikan dulu ke pemerintah, kejelasan future value-nya menjadi hilang,” jelasnya.
Rakhmat mengingatkan, pemerintah tidak perlu khawatir dengan adanya perdagangan aset karena sudah ada payung hukum berupa Daftar Negatif Investasi (DNI) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Sedangkan kekahwatiran tentang nasib frekuensi, menurutnya, bukan hal yang signifikan karena akan diterapkan penarikan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi berbasis bandwitdh. ”Pelaku usaha akan buat hitungan detil ekonomis hasil penggabungan memegang sejumlah frekuensi karena tentunya BHP akan mahal,” katanya.
Untuk diketahui, saat ini Bakrie Telecom dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sedang terlibat pembicaraan serius melakukan aksi PKA. Walaupun kedua manajemen bersikeras membantah, namun di lantai bursa beredar kabar Telkom serius memperhatikan pembukuan yang dilakukan oleh perusahaan milik keluarga Bakrie tersebut. Jika Telkom akhirnya memiliki saham di Bakrie Telecom, maka unit usaha Flexi akan menjadi raja di pasar Fixed Wireless Access (FWA) dengan dominasi pasar diatas 80 persen.
Pada kesempatan lain, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno mendukung langkah dibuatnya regulasi merger oleh pemerintah.
“Sebenarnya untuk regulasi merger sebagai entitas itu sudah banyak aturan, misalnya dari BKPM atau UU Perseroan. Dari departemen teknis memang diharapkan masalah pengelolaan sumber daya terbatas itu. Misalnya masalah hak dan kewajiban kepada negara setelah adanya merger,” tuturnya.
Menurutnya, hal yang lumrah pihak-pihak yang akan melakukan PKA untuk menyelesaikan dulu kewajibannya kepada negara agar pemilik baru nantinya tidak terbebani dosa lama.
Sarwoto pun menyakini, kompetisi yang terjadi sekarang tidaklah sehat bagi pelaku usaha karena terlalu banyak pemain”Konsolidasi adalah salah satu upaya untuk membangkitkan kembali industri ini,” tegasnya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan