JAKARTA— Para pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel) menolak keras hadirnya investor asing di bisnis menara demi menjaga kedaulatan berusaha di sector telekomunikasi.
“Menara adalah satu-satunya usaha di sector telekomunikasi dimana para pemain local bias berkiprah secara dominan. Jika dibiarkan pemain asing masuk ke sector ini, dipastikan pemain local hanya dapat tulang belulang dari keseluruhan bisnis telekomunikasi yang memiliki pertumbuhan nilai bisnis lumayan tinggi di masa depan,” tegas Sekjen Aspimtel Peter M. Simanjuntak kepada Koran Jakarta, Selasa (9/3).
Diakuinya, para pelaku usaha local di setor ini membutuhkan alih teknologi, keahlian, dan uang yang besar. “Tetapi itu bukan berarti kita membiarkan para pemain asing menguasai sector ini dengan membuka kepemilikan saham hingga 100 persen. Kalau itu yang terjadi namanya membunuh anak negeri sendiri,” katanya.
Diingatkannya, para investor asing bukanlah sinterklas karena pasti menginginkan uang dan keuntungan berlipat ganda untuk bias dibawa keluar negri. “Jadi tidak ada itu pikiran memajukan industry local. Pemerintah harus menyadari itu,” ketusnya.
Sebelumnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, rencana revisi aturan tentang daftar negatif investasi (DNI) masih terganjal karena masalah pembatasan kepemilikan asing di menara telekomunikasi belum selesai. “Kementerian Komunikasi dan Informatika masih mempertahankan pemodal domestik sebagai penguasa penuh sektor usaha menara telekomunikasi,” katanya.
Hal itu masih butuh kesepakatan lintas departemen yang rencananya tinggal diagendakan dalam sekali pembahasan. Tapi belum sampai pada keputusan itu,” katanya.
Sedangkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan, meragukan kemampuan pengusaha local menyediakan dana 8 triliun rupiah per tahun untuk memenuhi kapasitas cakupan layanan telekomunikasi,
“Pemerintah membuka kesempatan kepada investor asing untuk masuk ke sektor menara telekomunikasi, mempertimbangkan masih besarnya kebutuhan investasi di sektor usaha tersebut,” katanya.
Menanggapi hal itu, Peter meragukan angka yang disebut oleh Gita karena tidak mungkin kebutuhan pendanaan setahun sebesar itu. “Jika saya hitung itu angka untuk ketersediaan empat tahun . Saya tidak tahu Pak Gita dapat angka itu darimana,” katanya.
Peter menegaskan, masalah pendanaan dapat disediakan pengusaha dan perbankan nasional.Dengan menggunakan perhitungan debt to equity ratio (DER) 80/20, maka investor lokal hanya perlu menyediakan 1,6 triliun rupiah dan mengusahakan pinjaman 6,4 triliun rupiah.
Bila dana 1,6 triliun rupiah itu dibagi ke 10 penyedia menara besar, maka angkanya hanya 160 miliar rupiah. Adapun pinjaman sebesar 6,4 triliun rupiah juga bukan hal yang sulit bagi Indonesia karena ditinjau dari batas maksimum pemberian kredit (BMPK) perbankan, ada lebih dari 10 bank yang sanggup memberikan pinjaman di atas 600 miliar rupiah.
“Karena itu saya tegaskan tidak benar kalau itu tidak dapat dipenuhi lokal, kecuali investasi dilihat dari satu unit usaha saja mungkin benar pendapat itu,” jelasnya.
Berdasarkan catatan, saat ini Aspimtel beranggotakan 14 perusahaan dan di Indonesia terdapat sekitar 40 penyedia menara.
Selanjutnya diungkapkan, penyedia menara lokal sedang mengusahakan proyek dengan pendanaan 1 triliun rupiah untuk mendanai penyediaan menara bersama dengan Bank BNI. Adapun dengan Bank Mandiri, dana sudah dialokasikan sekitar 3 triliun rupiah.
Belum lagi adanya keputusan Bank Indonesia bahwa lelang surat berharga BI satu kali satu bulan maka kredit ke dunia usaha akan meningkat dan untuk mendanai 8 triliun rupiah tentu menjadi tidak sulit. “Saat ini ada nilai sebesar 250 triliun rupiah di SBI saat ini, dan bila 10 persen saja itu kan artinya sudah 25 triliun rupiah . Jadi 8 triliun rupiah itu bukan masalah,” tegasnya.
Secara terpisah, Deputi Menko Bidang Perindustrian, Perhubungan dan Perdagangan Edy Putra Irawadi,mengungkapkan belum ada kepastian tentang pembatasan investasi asing di sector menara. “Pak Hatta sudah ketemu dengan Pak Gita, hasilnya saya tidak tahu, sekarang mereka ikut Presiden ke Australia. Status sejauh ini masih terbuka 100 persen untuk asing,” katanya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan