Pesan singkat atau Short Message Services (SMS) ternyata masih merupakan layanan yang diandalkan oleh operator telekomunikasi menggaet pelanggan ditengah hiruk pikuknya instant messaging melalui internet protocol.
Setelah kasus penawaran SMS gratis ditertibkan oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bersama Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) pada pertengahan Februari lalu, awal Maret ini jasa SMS kembali menjadi perbincangan.
Pasalnya, BRTI tengah mengaji tentang perubahan pola penagihan jasa itu dari berbasis Sender Keep All (SKA) menjadi berdasarkan interkoneksi.
Pola SKA memungkinkan keuntungan diambil semuanya oleh operator pengirim SMS. Sedangkan jika berbasis interkoneksi, memungkinkan revenue sharing antara operator pengirim dan penerima.
“Penerapan pola interkoneksi merupakan satu-satunya jalan keluar menyehatkan iklim kompetisi di jasa itu. Ini akan ampuh menghentikan kenakalan dari operator yang masih menjalankan promo SMS gratis yang dibalut dengan komunikasi iklan merugikan konsumen,” tegas Anggota Komite BRTI Nonot Harsono kepada Koran Jakarta, belum lama ini.
Diungkapkannya, pasca rapat antara Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dan regulator pertengahan Februari lalu telah disepakati penawaran SMS gratis lintas operator dihentikan dan penarikan biaya SMS tetap berbasis SKA. ATSI juga membuat kode etik pemasaran terkait SMS gratis yang mengatur materi iklan dan sanksi bagi pelanggar.
Dalam kode etik itu diatur tentang materi iklan dan sanksi bagi pelanggar. Sanksi yang diberikan adalah menghentikan materi iklan dan mengirimkan permintaan maaf ke operator dengan surat tembusan ke BRTI. Namun, di lapangan pada 26 Februari lalu ditemukenali Telkomsel menawarkan 50 SMS gratis lintas operator bagi pelanggannya selama dua hari.
“Ini tidak bisa ditolerir lagi. Dulu, Telkomsel yang mengadukan keberatan dengan penawaran SMS gratis, sekarang mereka yang melakukannya. Kalau tidak dicari solusi yang komprehensif, regulator bisa capek memediasi kelakuan ugal-ugalan oleh operator yang hanya mencari keuntungan,” ketusnya.
Menurutnya, penerapan SMS berbasis interkoneksi bisa dilakukan karena payung hukumnya sudah ada yakni PM No 8/2006 tentang interkoneksi. Sayangnya, implementasinya ditunda melalui Surat Dirjen Postel pada 5 Februari 2008 (Surat 09/djpt.3/kominfo/2008).
Isi surat itu pada butir d menyebutkan: untuk layanan sms, masih tetap dimungkinkan menggunakan sender keep all (SKA). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya investasi baru yang akan menimbulkan biaya tambahan. Diharapkan penurunan biaya elemen jaringan pada layanan sms tercermin pada tarif retailnya. Surat ini muncul karena operator berkilah SMS adalah bagian dari layanan Value Added Services (VAS).
“Surat itu terbit karena semangatnya waktu itu penurunan tarif suara. Sekarang waktu yang tepat memberlakukan interkoneksi di SMS karena pasar sudah berubah. Apalagi SMS tidak bisa lagi dipandang sebagai VAS tetapi kebutuhan utama bagi pelanggan dan alat kompetisi oleh operator,” tegasnya.
Nonot memperkirakan, jika SMS berbasis interkoneksi maka tarif ritelnya tidak akan lebih dari 100 rupiah, bahkan bisa lebih murah jika operator melakukan subsidi. “Pola SKA sangat tidak berimbang karena komunikasi berbentuk asimetris tidak bisa diakomodir dalam bentuk revenue,” katanya.
Berdasarkan catatan, saat ini dari rata-rata trafik SMS per hari biasa operator bisa mendapatkan uang segar sekitar 100 hingga 500 juta rupiah. Bahkan ketika saat peak season seperti natal atau Lebaran, bisa mencapai satu miliar hingga 1,5 miliar rupiah per hari.
Dukung
Deputi Sekretaris Perusahaan Telkomsel Aulia Ersyah Marinto mendukung langkah dari regulator tersebut. “Kami mendukung itu terealisasi, itu bentuk yang fair untuk semua pihak,” katanya.
Ditegaskannya, berubahnya pola penagihan tidak akan berdampak ke tarif ritel karena investasi tambahan tidak dibutuhkan, apalagi perseroan sudah memiliki billing system dan perangkat aplikasi. “Harga ritel tidak akan naik, sudah masuk dalam struktur biaya pelanggan,” tegasnya.
Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam mengungkapkan, penerapan SMS berbasis interkoneksi akan membuat persaingan lebih ketat karena harga lebih transparan. “Biaya interkoneksi SMS itu tidak mahal, apalagi trafik dari jasa itu tinggi, operator kecil pun masih bisa bersaing. Bisa jadi nanti tarif yang ditawarkan medioker lebih murah ketimbang pemain besar,” tuturnya.
Praktisi telematika Suryatin Setiawan menjelaskan, jika pola penagihan berbasis interkoneksi maka pembagian revenue diantara operator dapat lebih sesuai dengan volume trafik SMS yang mengalir di jaringan masing-masing. “Jadi, kalau para operatornya mampu, maka tidak ada salahnya ke rezim interkoneksi,” katanya.
Praktisi telematika lainnya, Bayu Samudiyo mengungkapkan, saat ini SMS memang sudah dijadikan senjata untuk akuisisi dan menjaga loyalitas pelanggan. “Pola interkoneksi memang terbaik ketimbang ada yang merasa jaringannya sebagai tempat penampungan saja,” katanya.
Dikatakannya, investasi untuk menerapkan pola interkoneksi di SMS tidak akan besar karena sudah ada infrastruktur kliring telekomunikasi untuk suara. “Harganya akan lebih murah jika semua operator membangun bersama. Satu hal yang pasti, jangan karena alasan berbasis interkoneksi, nanti ada yang menaikkan harga jasa. Itu akan merugikan konsumen,” tegasnya.
Tolak
Pada kesempatan lain, Presiden Direktur Smart Telecom Sutikno Widjaja menolak keras rencana dari perubahan pola penagihan untuk SMS karena merugikan operator kecil. “Ini kebijakan bisa diubah-ubah seenaknya saja. Kalau diterapkan, kami akan melakukan perlawanan,” tegasnya.
Presiden Direktur Mobile-8 Telecom Merza Fachys memastikan jika pola berbasis interkoneksi dilakukan, pemain kecil akan tergilas karena dari sisi kliring kalah jumlah. “Akhirnya kami nombok. Kalau begini terus, kapan kita untungnya,” katanya.
Menurutnya, jika masalahnya ada operator yang terbebani jaringanya, maka harus ada mekanisme untuk menjaga hal itu. Misalnya satu pelanggan dibatasi hanya mengirim jumlah SMS dalam waktu tertentu. “Sebenarnya jika Person to Person tidak tinggi trafiknya. Ini karena ada perusahaan yang menggunakan penawaran SMS gratis jadi alat promosi, akhirnya terjadi spamming,” keluhnya.
Direktur Layanan Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi menegaskan, selama ini pelanggan telah terbiasa dengan penawaran SMS yang dilakukan oleh para operator. “Jika ini diubah tentu akan merugikan pelanggan. Regualtor harusnya melindungi seluruh, bukan sekelompok pemain saja,” katanya
Group Head Vas Marketing Indosat Teguh Prasetya mengungkapkan, jika pola berbasis interkoneksi dilakukan membutuhkan investasi untuk settlement karena trafiknya lebih tinggi dari suara. “Ini ujung-ujungnya bisa mengubah tarif ritel ke pelanggan. Bisa lebih mahal dari yang ada sekarang,” katanya.
Diingatkanya, jasa SMS tetaplah sebagai VAS karena konsepnya berbeda dengan suara. Hal ini bisa dilihat dari kanal pengiriman dimana SMS menggunakan paket data dengan prinsip store and forward, sedangkan suara sirkit switch sehingga real time. “Itu ada di Undang-undang Telekomunikasi. Sekarang dalam tataran regulasi tinggi mana,” ketusnya.
Diungkapkannya, jika dihitung SMS lintas operator itu trafiknya hanya 10 persen di masing-masing pemain, karena kebanyakan pengiriman dilakukan ke sesama pelanggan. “Apalagi penawaran SMS gratis itu kebanyakan gimmick sehingga belum tentu semuanya dipakai oleh pelanggan,” katanya.
Pada kesempatan lain, Sekjen ATSI Dian Siswarini mengingatkan, angka interkoneksi yang digunakan oleh BRTI berdasarkan trafik empat tahun lalu sehingga tidak signifikan dengan kondisi sekarang. “Sebenarnya pola SKA lebih memudahkan karena nature SMS berbalasan. Seharusnya operator yang menerima juga senang,” katanya.
Masalahnya, lanjutnya, terjadi spamming yang dilakukan oleh orang yang abusive sehingga trafik tidak berimbang. “Solusinya adalah operator menjaga perilaku pemasarannya. Janganlah karena kenakalan kecil menjadi topik diskusi besar dan merubah tatanan industri,” katanya.[dni]