Tingginya target yang dipasang oleh operator guna mengejar pelanggan baru membuat banyak terjadi praktik-praktik nakal di lapangan oleh mitra penjual produknya.
Entah ada tindakan atau tidak terhadap praktik-praktik tesebut. Satu hal yang jelas, dari praktik yang tidak sehat itu, operator tetap saja diuntungkan dari sisi pendapatan.
Beberapa akal-akalan yang diungkap oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) adalah diborongnya kartu perdana oleh tim sukses idola acara reality show di stasiun televisi untuk mendukung jagoannya.
Berikutnya, diaktifkannya kartu oleh kios menjelang habisnya masa berlaku dan diborongnya kartu oleh penyedia konten (Content Provider/CP) yang menjadi rekanan dari operator.
Anggota Komite BRTI Nonot Harsono mengungkapkan, dari investigasi di lapangan ditemukan satu tim sukses audisi dangdut yang mengikuti reality show. Caranya, artu perdana berisi pulsa lima ribu rupiah sudah diaktivasi di level distributor, lalu di-kulak oleh pengecer dengan harga 800 atau 1000 rupiah.
“Tim sukses perlu mendongkrak perolehan SMS karena aturan satu nomor untuk satu dukungan, maka membeli banyak nomor kartu perdana dengan harga murah merupakan cara menaikkan dukungan,” ungkapnya kepada Koran Jakarta, belum lama ini.
Contoh lainnya adalah CP membeli kontennya sendiri. CP bisa mendapatkan pendapatan tambahan dengan cara CP membeli Content-nya sendiri. Ilustrasinya satu kartu berisi pulsa 5000 rupiah. Investasi untuk membeli per kartu secara kulakan sekita 800 atau 1000 rupiah.
Jika harga satu SMS premium adalah 1000 rupiah maka satu kartu bisa mengirim lima SMS. Biasanya bagi hasil operator dan CP adalah 60:40. Ini membuat pendapatan dari setiap kartu adalah lima ribu rupiah. CP akan mendapatkan keuntugan 2 ribu rupiah dan operator tiga ribu rupiah. Selisih bagi CP dengan praktik seperti ini adalah 1.200 rupiah. Seandainya CP membeli seribu nomor baru maka keuntungannya sekitar 1.2 juta rupiah dan operator kebagian tiga juta rupiah.
Praktisi telematika Bayu Samudiyo mengungkapkan, praktik nakal lainnya adalah kartu perdana diborong oleh pemain server. Pulsa awal dari kartu perdana yang akan habis masa berlakunya di jual murah dan ditampung di server untuk dijual lagi. “Entah bagaimana caranya waktu expire bisa “dimainin” di server. Sedangkan soal CP borong kartu perdana itu sudah isu lama. Ibarat buang angin di kerumunan massa, tercium tapi tidak jelas datangnya darimana,” katanya.
Ketika hal ini dikonfirmasi ke beberapa operator, banyak yang menjawab tidak tahu atau berjanji akan memeriksa dulu kondisi di lapangan.
Namun, Group Head Of Corporate Communication Indosat Adita Irawati mengakui, harga pasar dari kartu perdana prabayar memang naik turun tergantung ketersediaan di pasar. “Kadang-kadang kartu yang masa berlaku sudah dekat, dijual lebih murah,” katanya.
Adita menegaskan, pihaknya tidak bisa mengontrol setiap transaksi kartu perdana di lapagan karena yang berlaku adalah mekanisme pasar bebas. “Tak mungkin kita tentukan siapa yang boleh membeli atau tidak,” tegasnya.
Sedangkan GM Corporate Communication XL Febriati Nadira mengungkapkan, hingga saat ini belum menemukan hitungan tertentu sehingga sampai pada kesimpulan lebih murah untuk beli kartu perdana daripada membeli voucher isi ulang.
“Kami benar-benar memperhatikan stok pasar dengan ketat, yang tentunya mempengaruhi jumlah supplai ke pasar,” katanya.
Namun Ira mengakui banyak mendapatkan informasi dari mitra dealernya tentang aktifitas tim sukses idola reality show memborong kartu perdana. “Tetapi hingga saat ini belum ada bukti kuat utk mengatakan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi,” kilahnya.
Anggota Komite BRTI lainnya, Heru Sutadi mengatakan, praktik nakal itu bisa ditekan jika implementasi registrasi prabayar dijalankan dengan disiplin. “Selama ini ada yang tidak benar dengan proses registrasi. Dimasukkan nomor secara acak untuk identitas, masih diaktifkan oleh operator. Coba semuanya disiplin, tentu tidak ada yang nakal,” katanya.[dni]