JAKARTA—Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyambut gembira langkah regulator penerbangan untuk merevisi regulasi terkait pentarifan.
“Jika itu yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan (Dephub), tentu kamai menyambut gembira. Karena permasalahan di pentarifan, khususnya masalah biaya tambahan bahan bakar (Fuel Surcharge),” ujar Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi kepada Koran Jakarta , Minggu (11/9).
Regulasi yang dimaksud adalah tarif penerbangan yang mengacu pada Keputusan Menteri No 9 tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.
Dalam regulasi tersebut tarif penerbangan menjadi terdiri dari fare basic, fuel surcharge, Iuran Wajib Jasa Raharja, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menurut Junadi, hal yang harus diperhatikan oleh regulator adalah menciptakan formulasi dalam pembuatan tarif. “Itu akan menciptakan transparansi dan membuat tarif menjadi kompetitif,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Angkutan Udara Tri S Sunoko mengungkapkan, regulator akan segera merevisi KM No 9/2002 untuk mengikuti perkembangan industri penerbangan. “Dalam revisi itu tidak akan ada lagi fuel surcharge. Harga avtur akan dibuat mendekati aktual,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Teknis PC Aero Edwin Soedarmo menambahkan, jika dilihat praktik di lapangan indikasi adanya kartel tarif memang kuat.
“Maskapai lokal berada dalam tekanan untuk untung. Maslahnya, banyak investor dari maskapai itu berjiwa pedagang. Mereka ingin untung cepat. Padahal, sewajarnya maskapai baru balik modal setelah beroperasi enam tahun,” jelasnya.
Tekanan yang kuat itulah, lanjutnya, bisa membuat maskapai lokal melakukan kesepakatan tarif. “Apalagi peluang berkumpul kan besar dengan adanya asosiasi,” katanya.
Pada kesempatan lain, juru bicara Sriwijaya Air membantah adanya praktik kartel di industri penerbangan jika dikaitkan dengan fuel surcharge. “Penetapan Fuel Surcharge itu berubah setiap dua minggu mengikuti harga yang ditetapkan Pertamina. Jadi, harga itu mengacu pada yang ditetapkan Pertamina. Selain itu, hitungan biaya oprasional pesawat per jam juga berbeda-beda, ada yang $ 7500, 7000, hingga 6000 dollar AS, tergantung jenis pesawatnya,” katanya.
Hanna pun mengingatkan, seluruh harga tiket maskapai penerbangan selama ini berdasarkan aturan tarif batas atas yang ditetapkn pemerintah. “Jadi, jika da tudingan kartel melalui asosiasi juga aneh. Di asosiasi itu bicara standarisasi tentang keselamatan, keamanan, dan perkembangan teknologi penerbangan yang harus diikuti oleh seluruh maskapai,” katanya.
Untuk diketahui, belum lama ini KPPU mengumumkan akan memanggil sebanyak 13 maskapai lokal karena melanggar pasal 5 UU No 5/99. Sanksi denda yang mengadang ketigabelas maskapai itu adalah sebesar 25 miliar rupiah, diluar biaya ganti rugi bagi pengguna.
Ketiga belas maskapai yang terancam denda karena melanggar pasal 5 UU No 5/99 tentang anti monopoli itu adalah PT Garuda Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Mandala Airlines, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Lion Mentari Airlines, PT Riau Airlines, PT Travel Express Aviation Services, PT Kartika Airlines, PT Linus Airways, PT Wings Abadi Airlines, PT Metro Batavia, dan PT Trigana Air Services.
KPPU menduga ketiga belas maskapai telah melakukan penetapan harga penerapan fuel surcharge tidak sesuai peruntukan. Indikasinya adalah kenaikan fuel surcharge
tidak sebanding dengan kenaikan harga avtur yang berlaku.
Kondisi itu membuat seolah-olah 13 perusahaan maskapai itu sudah tidak lagi menghiraukan berapa besaran kenaikan harga avtur dengan penetapan fuel surcharge.[dni]