Bisnis penyediaan menara mulai marak di indutri telekomunikasi sejak tujuh tahun lalu. Tepatnya ketika Telkom memutuskan menggabungkan unit usaha Telkom Mobile ke Telkomsel.
Sebelumnya, Telkom berencana untuk mengembangkan unit usaha itu menjadi penyedia layanan seluler layaknya yang dilakukan oleh Indosat dengan IM3. Namun, karena alasan efisiensi, akhirnya Telkom Mobile dimatikan sebelum berkembang.
Dampak dari kebijakan itu adalah para mitra Telkom Mobile yang telah membangun menara menjadi kelabakan. Akhirnya Telkom mengambil kebijakan menara yang sudah ada disewa oleh Telkomsel atau Telkom Flexi.
Setelah itu para pelaku bisnis melihat peluang untuk menyediakan menara ternyata lumayan gurih sehingga berkembanglah jasa tersebut. Hal ini karena industri seluler Indonesia dalam lima tahun ke depan diperkirakan membutuhkan sekitar 158.030 menara mengingat perbandingan jumlah pelanggan per menara di Indonesia belum ideal. Di India sekitar 1.142 pelanggan dilayani satu menara. Sedangkan di Indonesia satu menara melayani 2.318 pelanggan.
Akhirnya untuk mengakomodasi semakin berkembangnya bisnis tersebut pemerintah menerbitkan Permenkominfo No 2/2008 yang mengatur tentang menara bersama. Setelah itu regulasi tersebut diharmonisasi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkominfo, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Pemerintah pusat mengeluarkan regulasi tersebut karena melihat adanya fenomena yang tidak sehat di daerah dimana ada indikasi menara akan dijadikan sebagai alat mengeruk keuntungan baik oleh pemda ataupun rekanannya.
Indikasi tersebut bisa dilihat dari kasus perubuhan menara di Badung, Bali. Jika merunut aksi perubuhan, sebenarnya masalah yang terjadi bukanlah hanya penataan bangunan, tetapi lebih besar daripada itu yakni memuluskan langkah rekanan pemkab Badung, PT Bali Towerindo Sentra (BTS).
Langkah itu dimulai dengan Peraturan Bupati No 62/2006 tentang menara telekomunikasi di Badung, setelah itu setahun berikutnya Pemkab Badung menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan BTS. Dan pada 2008 terbitlah Perda No 6/2008 Tentang Penataan, Pembangunan, dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung, Bali.
Isi dari Perda sangatlah mirip dengan PKS. Sedangkan PKS tersebut sarat dengan praktik monopoli. Hal itu terlihat dari pasal 10 tentang jaminan yang akan dilakukan oleh Pemkab demi mengamankan langkah BTS. Di Pasal tersebut memang dicantumkan adanya jaminan Pemkab tidak akan menerbitkan izin baru bagi perusahaan lainnya hingga PKS dengan BTS selesai dan menjamin setelah menara bersama secara komersial terwujud dalam jangka waktu satu tahun terhadap menara yang sudaha ada dilakukan pembongkaran melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 10 itu melabrak Pasal 15 dan Pasal 19 UU No 5/99.
Kasus ini sebenarnya sempat diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada kuartal pertama lalu. Anehnya, pada surat yang dikeluarkan oleh tim penyelidik awal lembaga tersebut dikatakan tidak ada indikasi praktik monopoli. Namun, beberapa hari kemudian, Ketua KPPU Benny Pasaribu menerbitkan surat yang meminta substansi dari perda untuk diubah agar tidak terindikasi monopoli.
Aroma memuluskan rekanan makin terasa dengan adanya kebijakan tidak adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan bagi operator atau perusahaan penyedia menara dan digantikan dengan izin operasional selama setahun. Hal ini tentunya untuk memaksa penyelenggara telekomunikasi menyewa kepada BTS yang telah mengikat kerjasama selama 20 tahun dengan Pemkab Badung.
“Jika merujuk pada regulasi, izin operasional sudah dikantongi oleh operator melalui lisensi yang diberikan oleh pemerintah pusat. Karena itu dari awal kami sudah menentang kebijakan mengeluarkan izin operasional itu,” tegas Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys kepada Koran Jakarta, Rabu (19/8).
Merza mendesak, untuk mengatasi kekisruhan, pemerintah pusat turun tangan dengan menjadikan SKB Menara Bersama sebagai Peraturan Pemerintah agar Pemda mau mengikuti aturan.
Hal ini karena Bupati Badung beranggapan sesuai aturan ketatanegaraan, Keputusan Menteri tidak berada di bawah Perda. “Jika begini kan repot. Apalagi ada indikasi pemda lain mulai ikut-ikutan. Padahal sektor telekomunikasi adalah infrastruktur nasional,” katanya.
ATSI sendiri sudah menulis surat ke Depdagri dan Depkeu untuk meminta peninjauan ulang perda-perda yang merugikan operator karena wewenangnya ada di kedua departemen tersebut.
Sementara Anggota Komite Badan Regulasi Telkomunikasi (BRTI) Heru Sutadi meminta, operator untuk tidak memaksakan sinyal telepon di wilayah yang dirubuhkan diatasi dengan menara pengganti agar menjadi pelajaran bagi Pemda bahwa kebijakan itu bisa menurunkan ekonomi wilayah dan masyarakatnya.
“Dulu waktu akses telekomunikasi tidak ada Pemda meminta operator untuk membangun. Sekarang giliran tercium aroma keuntungan, kok terkesan dikerjain. Ada baiknya juga para operator menunjukkan sikap tegas,” katanya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan