Pada pertengahan September nanti, teknologi 3G (baca: Tri Ji) sudah tiga tahun hadir di ranah telekomunikasi Indonesia.
Evolusi dari teknologi GSM tersebut di Indonesia diselenggarakan oleh lima operator. Kelima operator itu adalah Telkomsel, XL, Indosat, Hutchinson CP Telecom Indonesia (HCPT), dan Natrindo Telepon Seluler (NTS).
Secara teori, 3G adalah teknologi yang memungkinkan peningkatan data transmisi pada komunikasi selular GSM. Bagi pengguna indoor, kecepatan data mampu mencapai 2 Mbps, sementara untuk mobile user biasa kecepatan data yang diterima hingga 384 Kbps. Terakhir, running mobile user akan stabil di 144 Kbps.
Layanan multimedia yang menjadi ciri khas 3G adalah video calling (melihat lawan bicara), video sharing (melihat suasana di sekitar lawan bicara), video conference, dan mobile TV.
Berdasarkan catatan, saat ini pelanggan 3G terbesar dimiliki oleh Telkomsel dengan 12 juta pelanggan, disusul XL (2 juta) , Indosat (3 juta), dan HCPT 300 ribu pelanggan.
Pelanggan yang mencapai jutaan tersebut adalah pengakses layanan 3G melalui mobile handheld alias ponsel. Namun, tipe pelanggan ini sebenarnya tidak bisa dikatakan murni pengakses teknologi 3G karena ketika mengakses layanan data sering terpental dari jaringan 3G dan akhirnya hanya menikmati teknologi 2G alias GPRS.
Hal inilah yang membuat banyak kalangan menganggap angka yang paling sahih digunakan untuk melihat penikmat aktif teknologi 3G adalah jumlah pelanggan data card milik para penyelenggara.
Untuk kategori ini, Telkomsel memiliki 600 ribu pelanggan, Indosat (350 ribu pelanggan), dan XL (120 ribu pelanggan). Sedangkan HCPT dan NTS belum pernah mempublikasikan hasil penjualan layanan paket data card miliknya.
Lebih Fokus
Ketua Bidang Pengembangan Teknologi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Taufik Hasan menyarankan, para penyelenggara teknologi 3G untuk lebih fokus menyelenggarakan penggunaan data dengan konsep packet switching.
“Selama ini belum ada killer application atau compelling service bagi pengguna selular di Indonesia. Akhirnya pelanggan merasa menggunakan data 2G saja sudah cukup. Jika teknologi paket data 3G bisa menawarkan layanan yang lebih menarik, tentu penggunaan akan lebih tinggi,” katanya kepada Koaran Jakarta, Senin (3/8).
Menurut Taufik, selama ini operator belum menjalankan riset pemasaran layanan berbasis teknologi 3G, sehingga yang muncul adalah aksi coba-coba selama dua tahun pertama.
“Operator ketika pertama kali menawarkan layanan 3G yang ditawarkan multimedia seperti video calling. Baru tahun kemarin ditawarkan akses data internet dengan modem. Dan ini ternyata yang dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, dalam penyelenggaraan 3G, operator terlihat terlalu dominan dalam value chain pelayanan sehingga menentukan banyak hal sampai ke tarif dan pola bisnisnya. “Akhirnya tarif untuk layanan yang potensial menggunakan 3G menjadi mahal dibandingkan daya beli masyarakat,” katanya.
Praktisi telematika Suryatin Setiawan menilai, layanan 3G yang nyaris mati suri pada dua tahun pertama diluncurkan akhirnya bisa dibangkitkan oleh vendor ponsel dan portal internet.
Menurut Suryatin, kehadiran dari portal jejaring sosial seperti twitter dan facebook, serta ponsel pintar Blackberry atau iPhone barulah membuat publik merasakan manfaat dari 3G.
“Saya rasa ini membuat operator menjadi sadar bahwa dalam menyelenggarakan layanan mobile data peran industri telepon genggam, portal internet, dan industri konten sangat penting,” katanya.
Sedangkan pengamat telematika Koesmarihati Koesnowarso mengatakan, perkembangan 3G di Indonesia termasuk cepat. “Perkembangan jaringannya sudah mencapai tingkat kabupaten. Dan ini membuat broadband wireless di Indonesia berkembang pesat,” katanya.
Belum Menguntungkan
Secara terpisah, Chief Marketing Officer Indosat Guntur S Siboro mengakui secara bisnis teknologi 3G belum menguntungkan karena investasi yang dikeluarkan selama ini belum mencapai titik impas.
“Jika bicara sukses dari sisi trafik dan jumlah pelanggan itu benar. Yang masih belum jelas itu adalah profitabilitas karena biaya dikeluarkan cukup tinggi dengan menggunakan frekuensi sebesar 5 MHz untuk menangani trafik yang tinggi,” katanya.
Menurut Guntur, dalam menawarkan 3G, model bisnis dan keuntungannya tidak sama dengan suara atau SMS mengingat untuk sisitem pentarifan 3G tidak bisa kreatif berkreasi.
“Di suara bisa diterapkan konsep berbasis region, timeband, atau bonus. Di 3G yang ada hanya konsep unlimited akses. Susah berkereasi,” katanya.
Pada kesempatan lain, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi memprediksi, bisnis dari teknologi 3G akan matang setelah memasuki usia keempat di Indonesia.
“Perkembangan 3G di Indonesia banyak dijadikan inspirasi oleh operator dunia, hal ini karena belum ada kisah sukses teknologi ini di negara lain,” katanya.
Menurut Heru, kejadian dua tahun pertama dimana 3G terkesan mati suri karena selama ini ada kesalahan adopsi aplikasi dari para pengguna. “Di Indonesia ini banyak anomali. Di luar negeri tidak berhasil, di sini malah sukses. Operator mengenalkan video calling karena tren di luar negeri memang aplikasi tersebut kala itu. Tetapi modem ala USB mengubah semuanya di Indonesia,” katanya.
Heru menyarankan, operator tidak menyerah untuk mengembangkan teknologi 3G mengingat pasar data di Indonesia sebagai laut biru yang masih luas untuk dieksplorasi. “Regulasi dan kompetisi di jasa ini belum ketat. Sekarang tinggal operatornya. Punya kemauan tidak bersusah payah sekarang untuk menikmati hasil di masa depan,” katanya.[dni]