JAKARTA -Operator telekomunikasi di Indonesia dinilai belum siap untuk menerapkan number
portability dalam waktu dua tahun ke depan.
Number portability adalah fasilitas yang memungkinkan pelanggan membawa nomor yang dimilikinya ketika berpindah layanan operator.
Konsep ini telah dijalankan di Jepang dua tahun lalu dan Singapura pada 13 Juni tahun lalu. Indonesia sendiri sesuai roadmap telekomunikasi berencana akan menyusul Singapura pada 2011 nanti
“Banyak syarat yang dibutuhkan sebelum konsep tersebut dijalankan. Paling krusial adalah adanya infrastruktur clearing house yang dikelola oleh pemerintah,” ujar VP Technology and Bussiness Incubation Telkomsel Yoseph Garo di Jakarta, Selasa (28/7) .
Menurut Yoseph, clearing house yang akan mengelola perpindahan nomor dan sistem penagihan tidak bisa dikelola oleh operator karena akan rentan dengan intervensi.
” Di sini diperlukan peran pemerintah. Nah, apa sekarang sudah ada tanda-tanda pembangunan clearing house? Padahal 2011 di depan mata,” katanya.
Chief Marketing Officer Indosat, Guntur S Siboro
menambahkan, jumlah pengguna prabayar di Indonesia yang sangat dominan juga akan menyulitkan penerapan number potability.
“Terutama dalam hal database,” kata Guntur.
Berdasarkan catatan, industri telekomunikasi memiliki 160 juta nomor. Hampir 95 persen di antaranya merupakan pelanggan prabayar. Dan dari total pengguna prabayar, tak sampai 5 persennya mau mengungkap jati dirinya lewat program registrasi kartu prabayar.
“Beda dengan pascabayar yang sudah lengkap database-nya. Registrasi yang asal-asalan untuk prabayar jelas sangat menyulitkan operator untuk melakukan validasi pelanggan.
Secara terpisah, Pengamat telematika Gunawan Wibisono menyakini, penerapan number portability akan memicu kompetisi berbasis kualitas layanan (Quality of Services/ QoS) dijalankan oleh operator telekomunikasi di Indonesia karena pelanggan sangat mudah menentukan keputusan operator mana yang dipilih sesuai keinginannya.
“Nanti tarif lintas operator dan ke sesama operator itu tidak akan jauh berbeda. Karena itu saya berani mengatakan kualitas layananlah yang menjadi jualan utama operator. Dan yang paling utama blok nomor akan diefisienkan,” tambahnya.
Gunawan menyarankan, jika pemerintah serius menggeber dua tahun lagi akan mewujudkan number portability, operator harus ditekan untuk menggalakkan jasa pascabayar. ”Jika prabayar masih mendominasi, operator akan enggan untuk menjalankannya. Soalnya tingkat ngemplang akan tinggi,” katanya.
Menurut Gunawan, number portability sebenarnya sudah bisa dijalankan oleh operator sejak 2003 lalu. Hal ini karena perangkat dari operator sudah siap menjalankannya. ”Masalahnya bisnis model dari number portability ini belum ada yang ideal. Salah memilih bisa memakan operator besar,” katanya.
Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini mengatakan number portability masih jauh untuk bisa diterapkan di Indonesia karena pasar belumlah jenuh. ”Di Jepang diimplementasikan karena peneterasi sudah mencapai 80 persen. Beda kondisinya dengan Indonesia,” katanya.
Senada dengan Dian, Praktisi Telematika Suryatin Setiawan mengatakan, number portability tidak begitu mendesak diterapkan di Indonesia mengingat mayoritas pelanggan tidak begitu peduli dengan nomor yang pernah dipakai.
”Dan harus diingat penerapan ini akan membutuhkan belanja modal dan biaya operasional. Kondisi krisis seperti ini tidak ada gunanya bagi telekomunikasi Indonesia,” katanya.
Pada kesempatan lain, pengamat telematika Koesmarihati Koesnowarso menegaskan, dalam alam kompetisi wajar dihadirkan number portability.
” Memang diperlukan tambahan biaya untuk membuat sistem pendukungnya seperti clearing house untuk penomorannya. Soalnya operator masih enggan menggunakan sistem kliring trafik telekomunikasi (SKTT) yang ada,” katanya.[dni]