Musyawarah nasional Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) VI yang diselenggarakan di Yogyakarta pada pekan lalu berhasil memunculkan nama Roy Rahajasa Yamin sebagai Ketua umum untuk periode 2009-2012.
Nama dedengkot Radnet tersebut didapuk oleh para anggota APJII sebagai penerus Sylvia Sumarlin yang lebih memilih mengembangkan usaha chip Wimax setelah gagal terpilih menjadi calon anggota legislatif belum lama ini.
Roy bersama Radnet-nya merupakan salah satu inisiator bisnis PJI di Indonesia. Karena itu, tidak salah Konsorsium Wimax Indonesia (KWI) yang dibentuk oleh APJII untuk mengikuti tender lisensi Broadband Wireless Access (BWA) belum lama ini menjadikan Radnet sebagai leader konsorsium.
Namun, Roy membantah jika namanya dimunculkan sebagai pengganti Sylvia karena keinginan anggota APJII menjaga keutuhan KWI. “Tidak benar itu. Semua melalui mekanisme demokrasi. Regenerasi memang dibutuhkan di APJII,” katanya kepada wartawan Koran Jakarta, Doni Ismanto, Senin (27/7).
Lantas, langkah apa yang telah dipersiapkan Roy untuk menyelamatkan bisnis PJI di masa depan. Berikut kutipan wawancaranya.
Koran Jakarta (KJ): Apa program kerja yang dipersiapkan selama kepengurusan Anda
Roy Rahajasa Yamin (RHY): Prioritas yang dilakukan adalah memperkuat kemitraan antara PJI dengan Network Access provider (NAP). Kami harus menjaga persaingan yang sehat. Sekarang ini kami mencoba merangkul NAP yang memiliki lisensi PJI dengan memasukkan beberapa punggawanya ke dewan pengawas APJII agar mereka tahu bagaimana kondisi para PJI sekarang ini. Selain itu kita ingin mendorong Indonesia Internet Exchange (IIX) diperbanyak sehingga trafik tidak harus dibawa ke Jakarta semua.
KJ: Beberapa PJI akan berubah menjadi operator seperti Jasatel atau Intenux. Bahkan APJII sendiri memiliki KWI. Bagaimana menanggapi fenomena ini
RHY: Berbeda. Jika KWI jelas nanti hanya akan menjual akses, para anggota konsorsium yang menjual bandwitdh-nya. Sedangkan untuk Jasatel atau internux, saya tidak tahu. Tetapi jika mereka akan menggelar Wimax, kita harap ada koordinasi dengan PJI lainnya.
KJ: Maksudnya?
RHY: Kedua perusahaan tersebut (Jasatel dan Internux) tetap membutuhkan PJI. Hal ini karena untuk merealisasikan business plan yang dimilikinya harus menjual akses dengan skala tertentu. Untuk merealisasikan itu tentu butuh PJI. Belum lagi jika bicara pengembangan jaringan dan perangkat. Tidak mungkin mau dibangun sendiri-sendiri. Para pengusung teknologi Wimax harus berkonsolidasi.
KJ: PJI terkesan ngotot sekali dalam tender Broadband Wireless Access (BWA) belum lama ini. Sebenarnya apa artinya BWA bagi PJI. Bukankah dengan harga frekuensi yang tinggi berarti menggali lobang kuburan
RHY: PJI agresif di tender BWA karena selama ini memiliki keterbatasan di akses jaringan. Menjadi pemenang tender BWA membuat PJI memiliki backbone sendiri. Masalah terkesan gila-gilaan, saya rasa semua memiliki hitungan bisnis sendiri.
KJ: Pemerintah berencana membuat regulasi tarif batas atas dan bawah, serta kualitas layanan bagi PJI, apa ini dibutuhkan
RHY: Masalah tarif batas atas dan bawah dari dulu sudah ada. Tetapi baiknya jika regulasi ini akan keluar harus dicermati kembali. Harus dipahami, tarif internet itu bukan hanya bandwitdh internasional saja, tetapi ada leased line, keterbatasan IIX , dan lainnya. Semua harus dilihat secara komprehensif. Begitu juga untuk kualitas layanan. Kami ini kan hanya menjual akses, dibelakang PJI itu ada NAP dan lainnya. Nah, jika kami sudah memberikan kualitas layanan sesuai standar, ternyata infrastruktur pendukung tidak, wajarkah kesalahan ditimpakan kepada PJI? Karena itu saya sarankan sebelum adanya regulasi itu APJII diajak berdiskusi.
KJ: Lantas apa yang dibutuhkan oleh PJI
RHY: Konsistensi dalam menjalankan regulasi. Misalnya masalah kutipan untuk Universal Service Obligation (USO). PJI diminta sumbangan untuk USO, tetapi ikut tendernya dilarang. Ini kan namanya tidak adil. Selain itu ada baiknya dipikirkan juga bagaimana memberikan stimulus pemodalan lunak untuk membantu pengembangan bisnis PJI.