JAKARTA —Tarif angkutan kereta api ekonomi wajar untuk dilakukan pengajian secara berkala agar kualitas layanannya meningkat.
“ Ada kesalahan persepsi selama ini di regulator dimana tarif ekonomi itu identik dengan penawaran murah sehingga minimum kualitas layanan jarang dievaluasi. Padahal, itu tidak harus terjadi,” ujar Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut Danang, tarif ekonomi wajar saja dinaikkan karena kenyataan di lapangan masyarakat mampu membeli jasa dengan harga yang lebih tinggi asalkan kualitas layanan sepadan. “Karena itu muncul wacana dari PT Kereta Api (KA) untuk menarik dana Public Service Obligation (PSO) agar lebih fleksibel memainkan tarif KA ekonomi,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal menegaskan, angkutan penumpang kereta api tetap membutuhkan subsidi PSO dengan tujuannya agar tarif kelas ekonomi dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Kereta api adalah angkutan umum massal dan milik publik, karena itu harus memikirkan adanya freedom of movement atau kebebasan mobilitas bagi setiap masyarakat, terlebih bagi yang tidak mempunyai dukungan ekonomi,” tegasnya.
Menhub menegaskan, pemberian dana PSO bukan untuk kepentingan PT KA secara korporasi. Tetapi, dana itu diberikan untuk membantu masyarakat kelas ekonomi kecil. Dana itu, kata Menhub, berguna untuk mendukung biaya operasional untuk pelayanan kereta api ekonomi, sehingga tarif di kelas itu bisa terjangkau oleh masyarakat luas.
“Direktur Utama PT Kereta Api harus mempelajari kegunaan dari PSO, dan dia tidak bisa menolak karena itu adalah misi pemerintah yang harus diemban,” tuturnya.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Tundjung Inderawan mengungkapkan penolakan senada dengan Menhub. Tundjung menilai, dasar pemikiran Dirut PT KA yang meminta PSO dicabut tidak dilandasi pada latar belakang alasan pemerintah menyediakan anggaran tersebut.
”Dia pikir PSO itu untuk membantu PT KA secara korporasi. Padahal bukan itu tujuannya. Dana itu diberikan bukan untuk PT KA, tetapi untuk masyarakat ekonomi rendah supaya mereka tetap bisa menggunakan transportasi,” ujarnya.
Tundjung menambahkan, sebuah kesalahan jika PT KA mengangap bahwa PSO sebagai pendapatan perusahaan sehingga bisa dengan bebas memanfaatkan di luar dari yang diamanatkan pemerintah.
”Ini yang salah, karena itulah mereka terus mengeluhkan PSO, karena tolok ukurnya koorporasi. PSO itu diarahkan untuk pelayanan, bukan untuk pengembangan usaha. Pembukuannya jangan disatukan dengan pendapatan perusahaan, tetapi dipisah agar pemanfaatannya jelas,” papar Tundjung.
Namun, Tundjung mengatakan bahwa adanya kemungkinan pengucuran PSO akan dihentikan. ”Itu memang harus. Tetapi, yang jelas tidak sekarang-sekarang ini. Entah kapan waktunya, itu tidak pasti. Mungkin nanti ketika kondisi seluruh masyarakat sudah mapan sehingga tidak perlu dibantu lagi dengan subsidi pemerintah,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT KA Ignasius Jonan menyebutkan, perusahaannya tetap mampu melayani masyarakat di kelas ekonomi tanpa harus mendapatkan pendanaan PSO dari pemerintah.
Hal itu membuat Jonan meminta agar pemerintah mencabut PSO yang telah sekian lama diberikan pemerintah hingga saat ini. Sebagai gantinya, PT KA diberi kebebasan untuk menentukan tarif tiket kelas ekonomi dan menerapkan tarif dengan harga jual rata-rata seperti moda angkutan darat lainnya.[dni]