Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sedang menyusun road map infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi pemerintah berikutnya yang berkuasa di negeri ini.
Wakil Ketua Umum Bidang Telematika Kadin Anindya N Bakrie menjelaskan, tujuan dibuatnya road map agar para penguasa menyadari potensi dari TIK yang mampu menyelamatkan ekonomi domestik di tengah krisis.
“Isi dari road map itu nantinya adalah bagaimana idealnya membangun infrastruktur, manufaktur, dan konten lokal di Indonesia. Sekitar Agustus atau September nanti road map sudah selesai dan diserahkan pada pemimpin bangsa berikutnya,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Anindya mengatakan, isi dari road map untuk jangka pendek adalah mendesak dibuatnya ICT Fund untuk membantu pembangunan serat optik di Kawasan Timur Indonesia atau lebih dikenal dengan nama Palapa Ring.
“Ide itu sudah digulirkan oleh para pejabat Postel. Kita harapkan anggota DPR dan pemerintah di masa mendatang bisa memuluskan,” katanya.
Anindya menyarankan, sumber dana yang digunakan untuk ICT Fund adalah sumbangan operator sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor untuk program Universal Service Obligation (USO).”Dana itu kan sebenarnya titipan operator untuk membantu wilayah tertinggal. Jadi, wajar dikembalikan ke industri,” katanya.
Berdasarkan perhitungan sementara, Indonesia membutuhkan setidaknya anggaran sebesar 3 hingga 5 miliar dollar AS untuk pengembangan infrastruktur industri teknologi informasi di wilayah timur Indonesia.
“Palapa Ring yang awalnya menelan investasi 220 juta dollar AS saja bisa menyusut menjadi 120 juta dollar AS karena krisis. Jika pemerintah tidak turun tangan, bisa makin lambat pertumbuhan infrastruktur di kawasan timur,” katanya.
Amburadul
Praktisi telematika Michael S Sunggiardi mengakui, infrastruktur TIK di Indonesia masih amburadul, terutama di Indonesia Timur yang minim sekali ketersediaannya.
“Definisi amburadul yaitu infrastruktur strategis (kabel atau ADSL) masih dikuasai oleh Telkom, sementara Telkom menjualnya dengan seenaknya. Belum lagi serat optik yang dibangun, kebanyakan masih di kota-kota besar saja,” katanya kepada Koran Jakarta, Rabu (24/6).
Menurut Michael, infrastruktur yang menjadi prioritas untuk dibangun agar akses internet menjadi murah adalah local loop untuk menyambung trafik di dalam kota (atau antar kota), dan akses ke global internet. Saat ini, sambungan di dalam kota dengan menggunakan serat optik masih relatif mahal, sekitar 10 juta rupiah per 1 Mbps, sementara untuk ke globalnya, mencapai 5 juta rupiah per 1Mbps.
Praktisi Telematika Suryatin Setiawan menambahkan, negara harus mulai mengakui ada infrastuktur layanan publik lain selain jalan raya atau pelabuhan yang memang sangat diperlukan yaitu jalan raya informasi.
“Infrastruktur ini untuk membuka aliran dan pertukaran informasi di seluruh wilayah Indonesia. Dan menjadi tanggung jawab negara menyelenggarakannya dengan memasukkan dalam APBN. Menyerahkan sepenuhnya kepada badan usaha komersial tidaklah tepat karena sasaran dan kepentingannya berbeda dengan pemerintah,” katanya.
Berkaitan dengan pengembangan manufaktur lokal, Michael menyarankan, industri dalam negeri harus dilindungi, karena sampai saat ini belum ada pemain lokal yang mampu bersaing dengan negara-negara maju. Sementara di luaran sudah beredar teknologi yang memungkinkan proses adaptasi terhadap teknologi yang ada berdasar kekuatan pasar dan kondisi daerah yang bersangkutan.
Suryatin meminta, pengembangan manufaktur lokal ini harus melibatkan keputusan Presiden agar semua departemen langkahnya seirama melindungi pemain lokal.
Ruh dari regulasi yang dikeluarkan oleh Presiden itu adalah memberi kesempatan dan kemudahan sumber dana bagi industri manufaktur lokal untuk keperluan modal kerja dan investasi. Memberikan waktu yang reasonable bagi industri lokal untuk melakukan pengembangan prototype , lolos uji , memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan melakukan semua proses industrialisasi lengkap dan stabil.
Berikutnya, menyediakan anggaran APBN untuk membeli produk pertama dalam jumlah awal yang cukup agar proses industri dan kematangan produk hasil industri lokal itu teruji dan stabil. Terakhir, membuka tender lisensi yang diharuskan menggunakan produk hasil industri DN tersebut sehingga pasar langsung menyerap.
Pola Kemitraan
Michael menyarankan, untuk membangun infrastruktur TIK diperlukan pola kemitraan (Partnership) yang saling menguntungkan antara swasta dan pemerintah.
“Partnership yang ideal adalah membuat satu perusahaan swasta yang di dalamnya termasuk unsur pemerintah dan swasta. Kemudian perusahaan ini ditunjuk sebagai kontraktor penyelenggaraan pemanfaatan dana USO,” katanya.
Sementara Suryatin meminta pemerintah untuk lebih banyak membuka inkubasi bisnis industri TIK gratis di seluruh Indonesia agar infrastruktur yang ada bisa dioptimalkan. “Peran pemerintah menjadi stimulusnya dan masyarakat menjalankan. Ini bentuk kongkrit mendorong ekonomi kerakyatan,” katanya.
Berkaitan dengan insentif yang dibutuhkan oleh industri, Michael meminta pemerintah memberikan jaminan akan investasi besar yang sudah ditanam. Singkatnya, keharusan mendapatkan modal kembali dalam waktu yang sudah di prediksi.
Menurut Suryatin, insentif lainnya yang dibutuhkan adalah keringanan pajak, biaya lisensi/ penyelenggaraan, biaya frekuensi, dan perijinan. “Kalau insentif itu bisa diberikan mungkin badan usaha yang modalnya kuat masih bisa bergairah dan tetap akuntable sekalipun membangun infrastruktur jalan raya informasi di wilayah-wilayah perintisan,” katanya.
Menanggapi hal itu, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mengatakan, jika ICT fund terealisasi cakupan kegiatannya memang akan luas yakni mendidik SDM TIK, mendidik masyarakat agar sadar TIK, membiayai R&D aplikasi TIK, membangun infrastruktur, menyediakan perangkat konsumen murah, dan lainnya.
“Bagi negara yang punya dana cukup, bisa saja USO didanai oleh APBN. Namun bisa saja dengan dana urunan seperti yang kita lakukan,” katanya.
Menurut Nonot, selama ini ada kesalahan melangkah yakni menggunakan dana USO hanya untuk teleponi dan internet pedesaan. “Hal ini makin diperparah dengan ada yang mencoba memotong pengadaan dengan meghadirkan teknologi yang justru sulit untuk bisa sustainable karena orang awam sangat sulit mengoperasikan. Contohnya telepon menggunakan VSAT di desa terpencil,” katanya.[dni]
Tinggalkan komentar
Belum ada komentar.
Tinggalkan Balasan