Center for Knowledge Societies (CKS) beberapa waktu lalu melakukan penelitian tentang pasar telekomunikasi di pedesaan kawasan Asia dan Asia Tenggara. Beberapa negara yang disasar untuk diteliti adalah Banglades, India, Indonesia, Filipina, dan Vietnam.
Hasil penelitian menunjukkan komunitas pedesaan di Asia Selatan dan Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat adalah China, India, dan Vietnam.. Pasar telekomunikasi di kawasan pedesaan sebagian besar di Asia Selatan dan Tenggara mencapai antara 50 persen hingga 70 persen dari total populasi.
“Kendala dari masyarakat pedesaan untuk berkembang adalah adanya keterbatasan infrastruktur. Tetapi di sisi lain komunitas ini pasar potensial yang harus digarap mengingat di perkotaan kompetisi mulai saturasi,” jelas Nokia Siemens Network Business Analis Stephen Martin di Jakarta belum lama ini.
Menurut dia, jika operator bisa masuk ke wilayah rural dengan strategi yang tepat, maka operator akan menstimulus terjadinya ekonomi di pedesaan berbasis telekomunikasi. “Sudah banyak riset yang menyatakan pertumbuhan penetrasi layanan bergerak sebesar 10 persen akan meningkatkan PDB sebesar 1,2 persen,” katanya.
Disarankannya, operator ketika akan masuk ke komunitas pedesaan harus menerapkan strategi promosi yang mengakomodasi budaya setempat, penempatan produk yang tepat, brand positioning, dan penetapan tarif.
“Biasanya operator yang pertama hadir di satu area akan mendominasi pasar. Sedangkan untuk masalah tarif, masyarakat desa cukup mampu membayar akses telekomunikasi. Tetapi seandainya ada subsidi akan lebih baik. Hal terpenting adalah entry barier bagi masyarakat mendapatkan layanan ditekan serendah mungkin,” katanya.
Sedangkan strategi jangka panjang yang disarankan dilakukan adalah melakukan segmentasi konsumen, pemasaran yang terintegrasi, dan pemberdayaan pedesaan.
“Pemberdayaan ini menjadikan operator sebagai agent of change di wilayah tersebut dengan infrastruktur telekomunikasinya. Jika ini berhasil dampaknya luar biasa. Hal itu sudah terbukti di tiga negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat,” katanya.
Faktor lainnya yang harus diperhatikan adalah membuat biaya kepemilikan untuk menikmati akses telekomunikasi bergerak menjadi terjangkau. Biaya kepemilikan adalah besar biaya yang diperlukan untuk membeli dan menggunakan ponsel. Biaya ini meliputi harga ponsel (7%), harga layanan (79%), serta pajak dan cukai untuk ponsel (14 %).
Menurut riset yang dilakukan Nokia dengan biaya kepemilikan kurang dari lima dollar AS sebagian besar orang di pasar berkembang dapat mengakses dan menggunakan layanan bergerak. Saat ini biaya kepemilikan untuk konsumen berpenghasilan rendah sekitar 10,88 dollar AS.
Kondisi Indonesia
Head of Sub Region Indonesia Nokia Siemens Network, Arjun Trivedi mengungkapkan, untuk kondisi Indonesia yang menjadi tantangan menerobos rural area terdapat tiga hal yakni Tower, Power, dan Backhaul.
Pendirian menara (Tower Site) di satu area menyedot biaya lumayan besar dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi. Di Jawa, Tower Site bisa menyedot 40 persen dari biaya produksi. Sementara di luar Jawa, seperti Kalimantan, kontribusi Tower Site bisa membengkak hingga dua kali lipatnya.
“Ini resiko dari geografis Indonesia yang memiliki kontur kepulauan. Jadi, kisah sukses di India bisa berbeda di Indonesia. India tidak memiliki banyak pulau,” ungkapnya.
Stephen mengatakan, salah satu solusi yang sedang dikembangkan guna membantu operator lokal oleh NSN dengan mengembangkan Flexi Base Station. Perangkat berbasis Internet Protocol (IP) ini dapat digunakan oleh puluhan pengguna sekaligus dalam cakupan area hingga 100 KM persegi.
“Perangkat ini bagian dari Nokia Siemens Network Village Connection. Konsep berbisnis di desa ini bisa menghemat biaya operasional satu operator dalam mengembangkan jaringan ke desa 50 hingga 70 persen. Jika biaya jaringan lebih rendah, operator dalam posisi yang lebih kuat untuk menawarkan layanan dengan standar regulator dan menjaga keuntungan,” katanya.
Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini mengakui membangun sarana telekomunikasi ke pedesaan permasalahan terdapat pada basic infrastructure yang sangat kurang, seperti ketersediaan listrik dan jalur transportasi. Sementara dari sisi properti dan perijinan tidak ada kesulitan berarti.
“Keterbatasan itu memicu sarana telekomunikasi menjadi mahal, karena operator harus menyediakan catu daya sendiri seperti genset atau solar cell. Belum lagi jalur transmisi dari titik terakhir jaringan masih jauh, sehingga kadang-kadang terpaksa mengandalkan satelit,” katanya.
Stephen menyarankan, untuk meringankan beban dari operator yang ingin melakukan pentrasi ke pedesaan strategi keringanan pajak diterapkan. Pajak untuk barang mewah berupa ponsel dan telekomunikasi bergerak di wilayah negara berkembang telah terbukti menghambat pertumbuhan jasa.
Misalnya di Pakistan, peningkatan pajak telekomunikasi dari 15 persen menjadi 20 persen, cukai impor handset, dan retensi pajak aktivasi per kartu perdana secara signifikan meghambat pertumbuhan jasa seluler di negeri itu. Padahal pendapatan pelanggan per bulan di negara itu hanya tiga dollar AS dengan penetrasi telah mencapai 60 persen dari total populasi 160 juta jiwa.
Secara terpisah, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono mendukung jika operator mulai serius menggarap pasar pedesaan.
“Saya orang yang tidak percaya jumlah pelanggan di Indonesia itu mencapai 130 juta nomor. Perkiraan saya hanya sekitar 90 juta nomor. Sisanya satu pelanggan memiliki tiga nomor dan kebanyakan di perkotaan,” katanya.
Menurut Nonot, melebarkan jaringan ke pedesaan tidak dapat dielakkan karena wilayah Indonesia memiliki sebaran penduduk yang luas. “Inti dari telekomunikasi itu berinteraksi dengan manusia di manapun. Dan operator harus bisa memenuhi itu,” katanya.
Sementara Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar mengatakan, masalah insentif bagi operator yang serius untuk membangun akses di wilayah pedesaan bisa saja dipertimbangkan. “Jika serius tinggal buat surat ke saya. Justru saya senang jika operator benar-benar serius karena membantu program Universal Service Obligation (USO) negara,” tuturnya.[dni]