Lembaga riset Sharing Vision belum lama ini mengeluarkan hasil penelitian yang lumayan mengejutkan bagi pengguna internet di Indonesia .
Lembaga yang dipimpin oleh Dimitri Mahayana tersebut mengungkapkan bahwa konsep akses internet menggunakan pola up to yang ditawarkan oleh Penyelenggara Jasa Internet (PJI) sangat merugikan konsumen karena tidak memberikan jaminan layanan yang tegas.
Konsep up to adalah akses internet yang seolah-olah menjanjikan kecepatan tinggi, padahal susah sekali terealisasi. Misalnya, kecepatan yang dijanjikan adalah up to 1 Mbps, tetapi dalam realisasinya, kecepatan itu tidak pernah dirasakan pelanggan.
Jika pelanggan melakukan komplain terhadap kecepatan yang didapat, PJI akan berkilah, sedari awal sudah diingatkan akses yang ditawarkan adalah up to bukan from to.
Survai lembaga itu sepanjang periode April 2007-2009 menunjukkan angka perpindahan pelanggan sekaligus nomor hangus (churn) terus naik, dari 14 persen menjadi 37 persen. Alasan utama naiknya churn adalah akibat pelanggan merasa terkelabui dan kecewa dengan persoalan kecepatan akses.
Sebelumnya, berdasarkan survei yang dilakukan lembaga riset Tenov, tarif akses internet sekitar 128 rupiah per Kbps. Sedangkan rata-rata tarif internet per 20 jam adalah 40 ribu rupiah.
Sementara pada 2008, pelanggan Fix Broadband berkisar 600.000 pengguna dan mobile broadband 10.756.880 pengguna.
Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) mengatakan masyarakat mengalokasikan dana lumayan besar yakni 200 hingga 500 ribu perbulan untuk mengakses internet.
Sharing Vision meminta PJI meninggalkan konsep berjualan up to dan memilih from to layaknya di Australia . Langkah penetapan from to yang berlaku di Broadband Wireless Access (BWA) dengan meminta kecepatan mulai 256 Kbps layak diberlakukan untuk semua akses internet menggunakan teknologi broadband lainnya.
Ketidakberanian
Pengamat Telematika dari Universitas Indonesia Riri Fitri Sari menilai penawaran up to yang dipertahankan oleh para PJI menandakan tidak beraninya operator menyatakan kualitas layanan yang dapat dijanjikan.
“idealnya memang di era Web 2.0 kecepatan yang dibutuhkan minimal 256 Kbps untuk mengakses situs jejaring sosial,” ujarnya kepada Koran Jakarta, Rabu (3/6).
Anggota KRT Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengungkapkan, regulator sedang menyiapkan aturan tentang kualitas layanan bagi PJI dimulai dari penyelenggara broadband apalagi yang menggunakan jaringan tertutup.
“Masalahnya PJI berkilah mengatur kecepatan akses karena tergantung best effort. Bagi saya ini seperti pembangkangan tidak mau diatur,” tegasnya.
Praktisi telematika Heru Nugroho menjelaskan, masyarakat harus memahami bahasa up to adalah sekadar siasat pemasaran dari PJI. “Sebenarnya kecepatan itu bisa dikalkulasi. Jika mau kecepatannya solid, harus dedicated dan ini biasanya untuk pelanggan korporasi. Tetapi jika sharing seperti di pasar ritel, resikonya kecepatan maksimal tidak tercapai,” katanya.
Heru meragukan, konsep from to ditawarkan oleh PJI karena kalkulasi teknisnya lebih banyak merugikan secara komersial meskipun tidak ada penambahan investasi utnik menjalankan hal tersebut.
Sebaliknya, Anggota Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) John Sihar Simanjuntak mengatakan, konsep from to bisa dijalankan, tetapi tidak menjual secara bahasa pemasaran. “Untuk retail, PJI berjualan paket layanan bukan bandwidth. Dan untuk memikat pelanggan tentu wajar diberikan permainan kata-kata,” tuturnya.
John menegaska, APJII tidak pernah menolak regulasi kualitas layanan yang ditawarkan oleh regulator. Masalahnya, masih wajarkah regulasi itu dikeluarkan ditengah persaingan bebas seperti sekarang.
“Regulator itu harus tahu kualitas layanan adalah bagian dari layanan akses internet. Setiap PJI pasti memiliki strategi kualitas layanan masing-masing sesuai dengan target pasar,” katanya.
Direktur Pemasaran Indosat Guntur S Siboro mengatakan, masalah kualitas layanan sebaiknya diserahkan saja pada pasar. “Jika tidak suka,tinggalkan saja. Indosat saja banyak dikomplain pelanggan dan akhirnya ditinggalkan. Tetapi itu memacu kami untuk meningkatkan pelanggan,” katanya.
Tidak Mudah
Pada kesempatan lain, Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini menjelaskan, tidak mudah memberikan kecepatan yang stabil bagi pengguna mobile broadband mengingat jaringan nirkabel menggunakan teknologi sharing resources.
Hal itu membuat kapasitas yang ada digunakan secara bergantian dengan besarnya kapasitas yang harus di-install ditentukan berdasarkan perhitungan statistik memakai asumsi jumlah dan distribusi pelanggan tertentu. Hal ini berbeda dengan wireline dimana jaringan aksesnya dedicated.
Semua itu menyebabkan jaminan untuk memberikan trhoughput atau kecepatan tertentu untuk data service agak sulit dilakukan, kecuali jika margin kapasitas di semua lokasi cukup besar dan dapat menampung perubahan trafik yang mendadak. Margin kapasitas tersebut memerlukan investasi yang besar yang pada akhirnya bisa membebani pelanggan karena harga lebih tinggi.
“Operator tentu saja selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi pengguna. Tetapi ada hal-hal yang membatasi, misalnya harga frekuensi 3G yang relatif mahal. Padahal frekuensi adalah resources utama untuk memberikan kapasitas yang cukup. Regulator harus pahami itu sebelum membuat regulasi kualitas layanan,” katanya.[dni]
Juni 3, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: 1 Komentar