Pada Juni nanti diperkirakan pemenang dari tender Broadband Wireless Access (BWA) akan diketahui seiring proses lelang diselesaikan. Setelah tender selesai, tentunya akan diikuti dengan pembangunan jaringan, sehingga diperkirakan setahun kemudian Indonesia akan masuk ke dalam era 4G dalam mengakses broadband internet dengan teknologi Wimax.
Bagi pengguna internet, istilah pita lebar atau broadband bukanlah suatu hal yang asing. Jika diartikan secara sederhana, broadband diibaratkan pipa yang lebar untuk koneksi internet, sehingga memberikan akses yang jauh lebih cepat hingga 10-20 kali lipat dibandingkan modem dial-up yang hanya mampu menghantarkan kecepatan dikisaran 30 hingga 50 kilobits per second (Kbps).
Keunggulan pada kecepatan yang tinggi tersebut membuat broadband mampu menghadirkan aplikasi multi media seperti aplikasi video dan music-on-demand, multi-player online games, voice dan video communications dengan nyaman.
Selain melalui teknologi Wimax, para praktisi seluler juga sedang menyiapkan inovasi lainnya untuk menuju era 4G. Teknologi itu adalah Long Term Evolution (LTE). LTE adalah siklus terakhir pengembangan teknologi data seluler berstandar 3GPP (Third Generation Partnership Project) Release 8 dan juga merupakan evolusi teknologi 1xEV-DO sebagai bagian dari roadmap standar 3GPP2.
LTE diproyeksikan menemukan momentumnya pada 2010 nanti. Sedangkan dua tahun kemudian diprediksi akan memiliki nilai pasar sebesar 2,1 miliar euro dengan 400 juta pelanggan di tahun 2015.
Para praktisi merancang LTE untuk menyediakan efisiensi spektrum yang lebih baik, peningkatan kapasitas radio, biaya operasional yang lebih murah bagi operator, serta layanan mobile broadband kualitas tinggi untuk pengguna.
LTE bisa efisien menggunakan spektrum karena bisa beroperasi pada standar IMT-2000 (450, 850, 1800, 1900, 2100 MHz) maupun pada pita spektrum baru seperti 700 MHz dan 2,5 GHz. Hal ini membuat LTE bisa masuk di daerah rural atau perkotaan.
Dalam ujicoba operator seluler terbesar di Jepang, NTT DoCoMo, pada Februari 2008, terungkap bahwa kecepatan downlink LTE bisa mencapai 250 Mbps sementara uplink berkisar 50 Mbps.
Penyedia jaringan yang tengah serius mengembangkan teknologi ini diantaranya adalah Nokia Siemens Network (NSN) dan Alcatel-Lucent. Sedangkan operator lokal yang tengah menimbang mengembangkan LTE adalah Telkomsel dan XL.
Siapkan Regulasi
Belajar dari pengalaman menyiapkan kehadiran Wimax melalui tender BWA yang memakan waktu hampir tiga tahun, pemerintah mulai menyiapkan juga sejumlah regulasi bagi kehadiran LTE.
“Sejumlah regulasi dan kajian teknis sedang dilakukan juga untuk LTE. Besar kemungkinan yang terjadi di BWA akan berlaku juga di LTE,” ungkap Staf Ahli Menkominfo Suhono Harso Supangkat di Jakarta, belum lama ini.
Suhono memberikan sinyal kehadiran LTE tidak hanya memberikan manfaat berupa masyarakat menikmati teknologi baru, tetapi negara dan industri lokal juga harus diuntungkan. Melihat sinyal tersebut, besar kemungkinan pola pemenuhan kandungan lokal bagi penyediaan perangkat wimax akan berlaku juga di LTE.
Sebelumnya dalam regulasi BWA pemerintah secara tegas meminta penyedia perangkat harus memenuhi unsur lokal sebesar 30 persen untuk Subscriber Station (SS) dan 40 persen bagi Base Station (BS).
“Pemain lokal harus diberikan kesempatan ketika satu teknologi baru masuk. Masalah berapa besarannya untuk LTE, belum bisa ditentukan. Bisa saja sama dengan model di BWA atau tidak. Ini sedang dikaji,” katanya.
Ditegaskannya, keinginan pemerintah untuk memberikan ruang bagi pemain lokal itu tidak bertentangan dengan hukum dagang dunia internasional. “Pemerintah itu ingin pelaku lokal mendapatkan manfaat. Kita ingin pemain asing itu bermitra strategislah dengan pemain lokal. Jangan hanya disuruh berjualan perangkat asing saja,” katanya.
Menanggapi hal itu, Sekjen Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengaku industri tidak keberatan jika pemerintah ingin memberikan ruang bagi pemain lokal dengan bantuan regulasi.
“Memang sudah sepantasnya pemain lokal diberikan kesempatan. Apalagi banyak manufaktur lokal yang dalam keadaan kesulitan,” katanya.
Namun, Mas Wig mengingatkan, pemerintah harus konsisten dalam mendukung industri lokal tersebut dalam jangka panjang. “Jangan sampai pemerintah atau menterinya berganti, regulasinya juga ikut diganti,” katanya.
Pengamat Telematika Miftadi Sudjai mengatakan, memang sudah saatnya konsep Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) diusung secara ketat karena selama ini Indonesia hanya menjadi pasar bagi vendor asing.
“Indonesia merupakan salah satu potensi pasar terbesar di Asia. Jika tidak diproteksi dan didorong pemain lokal, akan selamanya bangsa ini menjadi penonton dan konsumen yang baik,” katanya.
Sementara itu, Praktisi telematika Suryatin Setiawan mengingatkan, masalah kandungan lokal sejak zaman orde baru sudah ada. “Saynagnya ini banyak menjadi lip service ketimbang realita,” katanya.
Menurut Suryatin, kenyataan di lapangan yang terjadi adalah semua pekerjaan rekayasa tingkat rendah dihitung sebagai konten lokal. Akhirnya dengan tanpa tekanan dan kesulitan apapun , gabungan dari industri prinsipal asing dan manajemen industri lokal berhasil memenuhi presentasi konten lokal yang resmi diatur oleh pemerintah.
Suryatin menyarankan, kandungan lokal perlu dihitung dari kebebasan industri lokal mencari sendiri sumber komponen yang diperlukan dan prinsipal asing wajib untuk memproduksi chip serta core teknologi di wilayah Indonesia. “Jangan menghitung dari ongkos produksi, instalasi dan maintenance. Kalau itu namanya akan ada lagi akal-akalan seperti jaman dulu,” tegasnya
Tidak Mudah
Pada kesempatan lain, Head Of Sub Region Indonesia NSN Arjun Trivedi mengatakan, tidaklah mudah untuk melakukan investasi langsung berupa membangun basis produksi di satu negara.
“Ada skala ekonomis yang harus dipenuhi. LTE saja baru berjalan tiga tahun lagi. Rasanya tidak mungkin dengan kebutuhan jumlah perangkat pada tahap awal sebanyak ratusan ribu langsung membangun pabrik,” katanya.
Dikatakannya, untuk membangun pabrik di satu negara, perusahaan harus melihat terlebih dulu skala produksi, sumber daya yang tersedia, regulasi, dan insentif dari pemerintah lokal.
Menurut Arjun, sumber daya manusia di Indonesia masih terbatas ketimbang di China. Di negeri tirai bambu tersebut setiap tahunnya ratusan ribu lulusan sarjana yang mendukung industri teknologi informasi dihasilkan, sedangkan di Indonesia hanya ada ribuan. Sementara untuk insentif juga sangat terbatas seperti Free Trade Zone (FTZ) yang hanya terdapat di satu wilayah.
Namun Arjun menegaskan, selama ini sudah mendukung industri lokal untuk berkembang dengan menggandeng sekitar 150 perusahaan menjadi subkontraktornya. Selain itu NSN telah berinvestasi di penelitian dan pegembangan Inteligent Network (IN) di Indonesia.
“Semuanya menggunakan tenaga lokal untuk mengembangkan IN. Indonesia lebih baik mendorong investasi di penelitian dan pengembangan ketimbang manufaktur. Karena kekuatan Indonesia itu pada orang-orang yang kreatif,” tuturnya.
Sebaliknya, Miftadi mengatakan, Indonesia masih membutuhkan pengembangan manufaktur ketimbang investasi di penelitian dan pengembangan.
“Manufaktur itu langsung terasa dampaknya bagi perekonomian. Sektor riil langsung bergerak. Budaya meneliti di Indonesia masih kurang. Sudah tepat pemerintah mendorong adanya manufaktur lokal di sektor teknologi informasi,” katanya.[dni]
April 22, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar