170409 KPPU Desak Harga Semen Diturunkan

JAKARTA–Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendesak para pelaku usaha di industri semen untuk menurunkan harga jualnya ke masyarakat karena peluang untuk melakukan hal itu terbuka lebar.

Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi mengungkapkan, produsen semen sebenarnya memiliki kapasitas terpasang yang tinggi, sayangnya tingkat produksi masih rendah.

“Ini membuat KPPU menyarankan kepada para pelaku usaha untuk menggenjot industrinya agar harga dapat diturunkan, ” katanya di Jakarta, Kamis (16/4).

Menurut Junaidi, jika produksi ditingkatkan sama dengan tingkat konsumsi akan membuat harga menjadi tertekan sehingga harga menjadi lebih murah.

Junaidi mengatakan, biasanya produsen berkilah susah menaikkan produksi karena adanya kenaikan bahan bakar minyak, tetapi adanya konversi bahan bakar ke batu bara seharusnya tidak menjadi masalah. “Biaya produksi seharusnya tidak bermasalah,” katanya.

Saran lain yang diberikan oleh KPPU adalah membuka keran impor untuk menutup kekurangan.
“Langkah ini tidak akan mematikan para incumbent,” tegasnya.

Selanjutnya Junaidi mengungkapkan, struktur industri semen masih terkonsentrasi pada tiga produsen utama semen yaitu Semen Gresik (Holding), Holcim, dan Indocement.

Estimasi penguasaan ketiga grup produsen semen tersebut cenderung mengarah kepada struktur oligopoli dengan kisaran penguasaan kapasitas produksi mencapai lebih kurang 89 persen dari total kapasitas produksi terpasang nasional.

Penguasaan kapasitas produksi tersebut membuat munculnya indikasi utilisasi produksi yang masih rendah sepanjang 2007-2008 yaitu sekitar 49 persen.

Dikatakannya, fenomena kenaikan harga secara sistematis terjadi sejak dua tahun lalu. Untuk pertengahan tahun 2008 terdapat kenaikan signifikan lima hingga 10 persen. “‘Kami prediksi harga semen akan kembali naik sekitar lima hingga 10 persen sepanjang semester dua tahun ini,” katanya.

Berdasarkan catatan, harga semen persak pada 2007 (Rp 449 ribu) dan 2008 (Rp 490 ribu). Sedangkan konsumsi pada 2007 (35,3 juta ton) dan 2008 ( 38,5 juta ton).

Ketika ditanya langkah yang diambil oleh KPPU selain menghimbau, Junaidi mengungkapkan, sejauh ini lembaganya masih melakukan pemantauan dan telah memanggil dua pelaku usaha yakni Semen Padang dan Semen Andalas.

“Jika himbauan tak digubris kami akan memanggil beberapa pelaku usaha lainnya,” jelasnya.

Secara terpisah, pengamat persaingan usaha Bambang P Adiwiyoto mengatakan, harga semen di Indonesia memang tidak wajar karena lebih mahal ketimbang di luar negeri.

“Saran saya KPPU bisa masuk sampai mengetahui biaya produksi para produsen. Jika mengetahui itu akan lebih jernih melihat masalah,” jelasnya.[Dni]

170409 Operator Tidak Butuh Insentif

orang-teleponJAKARTA–Operator telekomunikasi menegaskan tidak membutuhkan insentif berupa stimulus dana segar dari pemerintah untuk selamat dari kondisi krisis ekonomi.

“Kami tidak membutuhkan stimulus uang segar layaknya di industri lainnya. Yang dibutuhkan itu adalah adanya regulasi yang mendukung operator untuk selamat dari kondisi krisis,” ujar Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi, di Jakarta, Kamis (16/4).

Dikatakannya, selama ini masih ada regulasi yang ketinggalan dari perkembangan teknologi. Sedangkan di industri telekomunikasi, operator mengandalkan teknologi sebagai inovasi dan alat memenangkan persaingan.

“Banyak regulasi yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Karena itu saran saya Fundamental Technical Plan (FTP) 2000 perlu diubah terutama kajian tentang penomoran, struktur jaringan, dan routing,” jelasnya.

Rakhmat pun meminta regulator harus bisa memisahkan hal yang diatur secara rigid oleh regulasi atau sesuatu yang diatur secara mandiri oleh industri.

“Tidak bisa semuanya diatur. Ada yang namanya negosiasi bisnis antarperusahaan. Kalau regulator masuk ke hal teknis tidak ada yang namanya kompetisi,” katanya.

Menanggapi hal itu, Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Basuki Yusuf Iskandar mengakui, ketika liberalisasi sektor telekomunikasi dibuka beberapa tahun lalu regulasi yang dibuat sangat ketat.

“Kita membutuhkan regulasi yang ketat kala itu. Hal ini karena hanya ada beberapa pemain. Jika tidak diatur secara ketat yang terjadi adalah menguntungkan sebagian pihak dan negara tidak mendapatkan apa-apa,” katanya.

Namun, Basuki melanjutkan, dua tahun belakangan regulasi yang dikeluarkan sudah mengakomodasi kebutuhan industri. “Sekarang sudah tidak begitu ketat. Kita mengakomodasi kebutuhan industri. Buktinya untuk proyek Palapa Ring pemerintah sedang menimbang untuk memasok dana melalui ICT Fund,” jelasnya.

Aturan QoS
Selanjutnya Basuki mengatakan, pada tahun ini program kerja dari badan yang dipimpinnya adalah menjaga kualitas layanan (Quality of Service/QoS) dari para operator.

“Rencananya akan keluar KepDirjen yang merupakan petunjuk teknis dari peraturan menteri tentang QoS tak lama lagi,” katanya.

Dalam regulasi terbaru itu akan berisi tentang penilaian kinerja dari para operator seperti pengukuran call drop dan lainnya. “Jika ada yang tidak memenuhi aturan akan dikenakan denda sesuai Peraturan Pemerintah tentang denda. Denda berlaku untuk kinerja selama setahun,” jelasnya.

Direktur Consumer Telkom I Nyoman G Wiryanata mengaku tidak khawatir dengan adanya regulasi terbaru tentang Qos karena kompetisi memang mengarah ke pelayanan di masa depan.

“Tidak ada masalah dengan regulasi itu. Yang penting operator diajak bicara. Jangan memutuskan secara sepihak,” katanya.

Rakhmat mengatakan, kualitas layanan sudah dimasukkan sebagai bagian dari biaya oleh operator sehingga tidak akan menjadi beban berinvestasi.

“Kami hanya membutuhkan adanya kesamaan cara mengukur. Jangan pakai logika regulator,” katanya.

Dicontohkannya, untuk menghitung call drop, tidak bisa regulator hanya mengambil sampel di beberapa daerah sedangkan operator beroperasi secara nasional.

Untuk diketahui, sektor telekomunikasi pada tahun lalu mampu menahan laju inflasi akibat adanya penurunan tarif ritel sebesar 40 persen. Akibat dari penurunan tarif ritel tersebut QoS dari operator mengalami penurunan karena trafik meningkat.

Tahun ini diperkirakan sektor telekomunikasi memiliki belanja modal sebesar 70 triliun rupiah dengan omzet mencapai 160 triliun rupiah.[Dni]

160409 Telkom Gandeng Orange SA

logo_telkomJAKARTA –PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) berhasil menggandeng unit usaha France Telecom, Orange SA, untuk bekerjasama dalam melayani 232 pelanggan korporasi operator tersebut.

Kerjasama tersebut bagian dari layanan Telkom Solution Business Partner dimana Orange SA mulai mengalihkan 200 sambungan sirkit pelanggan korporasinya di Indonesia ke jaringan Telkom.

“Selama ini Orange menggunakan sirkit milik operator lain. Sekarang beralih ke Telkom,” kata Direktur Utama Telkom, Rinaldi Firmansyah, di Jakarta, Rabu (15/4).

Rinaldi mengungkapkan, selama ini perseroan sudah memiliki pelanggan sejenis Orange seperti Global Infonet, Singtel, AT&T, dan Telkom Malaysia .

Vice President Enterprise Telkom Slamet Riyadi menambahkan, pelanggan Orange bergerak dalam sektor ritel, finansial, dan migas yang membutuhkan akses sampai ke tingkat pemasok.Link tersebut akan mendukung komunikasi data dan pelaporan hingga ke kantor pusat di Prancis.

“Telkom menyediakan akses lokal yang akan terhubung dengan link internasional dengan perangkat modem, sedangkan Orange menyediakan router sebagai bagian dari biaya perangkat terminal ke pelanggan,” katanya.

Diperkirakannya, hasil kerjasama tersebut akan menyumbang pendapatan hingga 200 miliar rupiah pada tahun depan. sedangkan untuk tahun ini diperkirakan mencapai 45 miliar rupiah.Hal ini karena dalam kerja sama penyediaan layanan link selama 5 tahun itu, Orange akan menggunakan total bandwidth 500 Mega bit per second (Mbps).[dni]

160409 Lintasarta Raih Pendapatan Rp 1 triliun

lintasartaJAKARTA–Anak usaha Indosat, Lintasarta, berhasil membukukan pendapatan sebesar satu triliun rupiah pada tahun lalu. Pada tahun lalu, Indosat sendiri membukukan pendapatan usaha sebesar 18,66 triliun rupiah atau tumbuh 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Direktur Utama Lintasarta Noor SDK Devi mengungkapkan, keberhasilan perseroan membukukan pendapatan sebesar angka di atas dipacu oleh keberhasilan mengembangkan produk yang mempunyai nilai tambah, memperluas infrastruktur, dan meningkatkan layanan purna jual bagi 1.200 pelanggan korporasinya.

“Berkembangnya pasar data dan internet membuat perseroan semakin kompetitif. Apalagi kebutuhannya semakin meningkat,” katanya di Jakarta, Rabu (15/4).

Dikatakannya, selain menawarkan jasa komunikasi data dan internet, pada tahun lalu Lintasarta juga sukses mengembangkan Jasa nilai tambah berupa Video Conference, Data Center, Managed Service, SMS Corporate, Corporate Mailer dan lain-lain.

“Jasa nilai tambah tersebut mendapat sambutan positif dari para pelaku industri, karena mampu meningkatkan kinerja dan memberikan dampak efisiensibagi biaya operasional,” katanya.

Selanjutnya dikatakan, selain inovasi layanan, Lintasarta juga didukung oleh ketersediaan infrastruktur multi akses, yang terdiri dari serat optik, Broadband Wireless Access (BWA), dan satelit. Lintasarta telah mengembangkan layanan serat optik di 12 kota di Indonesia.[dni]

160409 Koperasi Butuh Akses Telekomunikasi

koperasiJAKARTA—Koperasi di Indonesia membutuhkan akses telekomunikasi di luar jasa suara dan SMS untuk memajukan bisnisnya.

“Kebutuhan yang mendesak di Koperasi itu adalah data. Jika ini disediakan oleh operator telekomunikasi akan memajukan sektor riil. Hal ini sudah terbukti di Korea,” kata Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Adi Sasono di Jakarta, Rabu (15/4).

Dikatakannya, di negeri ginseng tersebut peningkatan akses telekomunikasi sebesar satu persen bisa meningkatkan sektor riil sebesar tiga persen. “Di Indonesia bisa terjadi dua kali lipat pertumbuhan sektor riil. Hal ini karena koperasi banyak di pedesaan sehingga jika ada akses telekomunikasi yang masuk akan signifikan mengangkat bisnis koperasi,” katanya.

Dikatakannya, saat ini anggota koperasi di Indonesia terdapat sebanyak 35 juta jiwa, dimana 190 ribu merupakan koperasi primer dan 560 ribu koperasi kelompok tani. “Angka itu belum termasuk penghasil jagung, sayur, kedelai, dan kelapa sawit,” katanya.

Pada kesempatan sama, Direktur Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengaku siap untuk menggarap segmen koperasi mengingat perseroan baru saja memenangkan tender telepon desa. “Kami siap untuk membuka akses telekomunikasi di pedesaan. Kita harapkan 21 juta anggota Dekopin di daerah terpencil akan menjadi pelanggan Telkomsel,” katanya.

Sarwoto mengatakan, layanan yang akan diberikan adalah pascabayar HALO Koperasi Closed Group, T-Cash & Remittance, push email, dan layanan untuk pengembangan komunitas koperasi di daerah terpensil.

“Layanan yang akan terasa manfaatnya selain internet adalah pengiriman uang melalui ponsel atau dompet digital. Jasa yang dikenal dengan nama T-Cash tersebut akan membuat anggota koperasi yang tidak memiliki rekening bank bisa bertransaksi,” katanya.[dni]

160409 Telkom Investasi 1,8 miliar Untuk eBS

JAKARTA—PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menginvestasikan dana sebesar 1,8 miliar rupiah untuk mengembangkan Electronic Billing Statement (eBS) di wilayah Jakarta.

eBS adalah sistem informasi penagihan jasa telekomunikasi (Jastel) yang dikirimkan melalui surat elektronik. Sebelumnya 500 ribu pengguna Jastel di wilayah Jakarta dikirimi dokumen penagihan. Sistim pengiriman menggunakan dokumen itu membuat pelanggan dibebani 2000 rupiah

“Adanya sistem surat elektornik tersebut membuat terjadinya penghematan sekitar satu miliar rupiah. Apalagi pelanggan tidak dibebani biaya administrasi,” kata Operation Senior Manager Billing & Collection Telkom Agus Kristiyono, di Jakarta, Rabu (15/4).

Diungkapkannya, aplikasi eBS sudah di ujicoba secara terbatas sejak Januari lalu dan pada Februari ujicoba ditingkatkan kepada 28 ribu pelanggan dan hingga Maret jumlah pelanggan yang menerima tagihan via email mencapai 72 ribu nomor.

“Targetnya hingga akhir tahun nanti akan ada 300 ribu pelanggan yang menggunakan sistem informasi melalui surat elektronik tersebut,” katanya.[dni]

Agus mengharapkan, sistem baru tersebut akan membuat Telkom memiliki informasi yang akurat tentang pelanggannya mengingat data yang ada saat ini masih kacau. “Data pelanggan Telkom banyak yang belum di-update. Kasihan jika Telkom membuat program promosi tetap tidak mendapatkan hadiah karena datanya tidak valid,” katanya.[dni]

160409 Ujian Berat BWA Indonesia

Regulasi BWA

Setelah melalui penantian panjang akhirnya regulator pada Januari 2009 mengeluarkan regulasi akses nirkabel pitalebar (broadband wireless access, BWA) yang terdiri atas 2 keputusan menteri (KM) dan 3 peraturan menteri (KM). KM Kominfo No. 4/ 2009 menyatakan bahwa peluang usaha penyelenggaraan jaringan tetap lokal BWA hanya diperuntukkan bagi penyelenggara jaringan dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi pada 15 zona BWA di seluruh Indonesia. Ada 3 alokasi pita frekuensi yang disiapkan, yaitu pita frekuensi 2360 – 2375 MHz, 2375 – 2390 MHz, dan 2390 – 2400 MHz untuk kewajiban layanan universal (USO). Dengan KM Kominfo 4/2009 ini akan terdapat 30 operator BWA dan 15 operator BWA USO. Tetapi sungguh ironi regulasi BWA ini bila pemenang USO saat ini tidak akan menggunakan teknologi BWA (dibaca WiMAX) industri dalam negeri (IDN). Mudah-mudahan regulator mendorong pemenang tender USO untuk berkewajiban menggunakan BWA IDN yang telah memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang dipersyaratkan, sehingga ada sinergi antara regulasi BWA dengan USO.

Menurut KM Kominfo No. 5/ 2009 akan terdapat 8 alokasi pita frekuensi untuk BWA 3,3 GHz, yang berarti akan ada 120 operator BWA 3,3 GHz. Seperti diketahui bisnis BWA sangat berbeda dengan akses voice pada seluler, dimana pada seluler pertambahan user berarti pendapatan operator bertambah. Pada BWA, pertambahan user belum tentu meningkatkan pendapatan operator BWA, dikarenakan pertambahan user tidak secara otomatis meningkatkan jumlah pelanggan. Bila penggelaran BWA 2,3 GHz dan 3,3 GHz dilakukan bersamaan akan terdapat 165 operator BWA, kondisi ini menciptakan level kompetisi yang ketat. BWA 2,3 GHz harus mendapat perhatian khusus dari regulator karena merupakan segmen market baru yang berbeda dari BWA 3,3 GHz yang telah ada pelanggannya. Regulator perlu mengatur dengan baik agar terjadi kompetisi yang sehat antara BWA 2,3 GHz dan 3,3 GHz sehingga masyarakat dapat diuntungkan dan para operator dapat berbisnis dengan kondusif. Bila kompetisi sehat tidak terjadi, yang dirugikan masyarakat, operator dan IDN.

PM Kominfo No. 7/2009 mensyaratkan adanya ketentuan penggunaan perangkat BWA 2,3 GHz dan 3,3 GHz dengan TKDN 30% untuk CPE dan 40% untuk BTS, dan akan ditingkatkan menjadi 50% dalam kurun waktu 5 tahun. PM ini memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi IDN untuk dapat merebut pasar BWA yang selama ini dinikmati asing. Karena tender BWA belum dibuka, maka belum terlihat dampaknya bagi IDN. Saat ini para operator masih melakukan field-test BWA IDN untuk menguji kinerjanya secara langsung. Para calon operator BWA bersifat “wait and see,” apalagi operator 3,3 GHz hasil migrasi 3,5 GHz masih ada waktu 2 tahun untuk memanfaatkan jaringan yang ada di 3,5GHz sebelum bermigrasi ke 3,3 GHz. Tantangan tersendiri bagi IDN untuk dapat merayu para operator bersedia menggunakan BWA IDN. Implementasi BWA IDN akan melalui ujian berat yang bila tidak sukses dapat menghilangkan fundamental dan kepercayaan kepada IDN yang coba dibangun setelah terabaikan sekian lama.

Bayang-bayang “Kegagalan”

Saat ini para calon operator BWA tengah menungggu harap-harap cemas kebijakan tender BWA terutama menyangkut up-front fee dan BHP pita frekuensi. Ada kekuatiran para calon operator akan besarnya up-front fee dan BHP pita frekuensi yang harus dibayarkan. Isu yang berkembang menyatakan bahwa besaran up-front fee BWA akan menggunakan shadowing price (harga patokan dasar) hasil lelang terrendah 3G 3tahun lalu sebesar Rp. 160 Milyar. Bila digunakan harga patokan hasil lelang 3G, maka untuk lebar pita sebesar 15MHz besarnya up-front fee yang harus dibayar setiap calon operator adalah Rp. 32 Milyar ditambah BHP pita. Operator 3G saja merasa tidak memiliki kesanggupan membayar up-front fee, tentu up-front fee dirasakan sangat memberatkan operator BWA. Untuk operator eksisting yang telah beroperasi up-front fee dapat disamarkan kepada pelanggan yang ada sehingga relatif lebih ringan. Lain halnya bagi new-comer, up-front fee yang tinggi bila dibebankan kepada pelanggan sangat memberatkan untuk berkompetisi, apalagi dengan jumlah pelanggan belum banyak.

Regulator harus bijak dalam menentukan besaran up-front fee dan BHP pita frekuensi. Konsep up-front fee sebagai wujud keseriusan dan komitmen calon operator memanfaatkan pita frekuensi yang didapat merupakan extra-cost yang harus dibayar operator BWA, sehingga hanya calon-calon operator besar saja yang mampu menyelenggarakan layanan BWA. Untuk lebih memberikan ruang gerak yang longgar serta mendorong partisipasi operator kecil dalam menyelenggarakan layanan BWA di Indonesia, sebaiknya up-front fee diganti dengan komitmen dana pembangunan jaringan. Dengan komitmen dana pembangunan maka ada jaminan bahwa operator BWA akan menggelar jaringannya, sedangkan dengan up-front fee tidak ada jaminan operator pemenang membangun jaringannya. Cukuplah operator BWA dibebani membayar BHP pita frekuensi sehingga misi regulator mendorong internet terjangkau dengan BWA dapat terrealisasi, tetapi semuanya berpulang kepada regulator. Selain itu besarnya BHP pita frekuensi seyogya berbasis kepada jumlah pelanggan. Ini untuk lebih memberikan ruang gerak yang leluasa bagi operator untuk lebih serius mengembangkan jaringannya dan peningkatan jumlah pelanggan tanpa dibebani dengan besarnya BHP. BHP pita berbasis pelanggan akan sangat membantu operator baru serta tidak memberatkan bagi operator incumbent.

Kendala lain yang menghadang dalam penggelaran jaringan BWA adalah minimnya ketersediaan jaringan tulangpunggung. Bila regulator gagal mendorong implementasi jaringan tulangpunggung PALAPA Ring maka target broadband 256 kbps akan sulit tercapai. Apalagi regulator pada saat yang bersamaan membuka lisensi 3G kepada beberapa operator. Jangan sampai keunggulan kecepatan dan kapasitas BWA menjadi tidak bermakna akibat terbatasnya jaringan tulangpunggung. Penggunaan dana USO untuk mengatasi keterbatasan anggaran PALAPA Ring guna mempercepat penggelaran jaringan tulangpunggung merupakan solusi jitu selama tidak menyalahi peraturan perundangan yang berlaku. Seandainya regulator sejak dulu jeli dalam menggali sumber pendapatan, salah satunya adalah dari sistem kliring trafik telekomunikasi (SKTT), maka keterbatasan jaringan tulangpunggung tidak akan terjadi. Ini dapat terrealisasi bila saja SKTT dikelola oleh lembaga independen (BUMD sebagai misal) dengan tugas mengelola SKTT serta dibebani untuk menggelar jaringan tulangpunggung. Dana SKTT juga dapat meniadakan dana USO yang dapat meringankan operator. Selain dapat mengatasi persoalan tulangpunggung lembaga ini pula dapat mengatasi persoalan interkoneksi sehingga operator fokus mengembangkan akses dan aplikasinya saja. Dengan demikian, tarif telekomunikasi di Indonesia dapat menjadi lebih murah lagi. Dengan menyerahkan SKTT kepada operator lain, regulator hanya mendapatkan dana dalam bentuk pajak yang tidak cukup untuk mengembangkan jaringan tulangpunggung. Bila up-front fee dan BHP pita frekuensi cukup besar, kompetisi yang ketat, serta jaringan tulangpunggung yang belum ada solusinya, maka bayang-bayang kegagalan implementasi BWA terpampang didepan mata.

Industri Dalam Negeri

Terlepas dari pro-kontra penetapan standar IEEE 802.16d, kita harus menghargai keputusan regulator dan marilah bersama-sama untuk mensukseskannya. Sudah tidak ada gunanya dan hanya membuang energi untuk setback ke belakang mempersoalkan standar fixed BWA (16d). Berilah kesempatan IDN untuk membuktikan BWA hasil karyanya digunakan para operator. Adanya keinginan operator menggunakan mobile BWA sebagai ganti fixed BWA menjadi suatu hambatan tersendiri. Perlu ada kesadaran dari para operator untuk menggunakan hasil karya anak bangsa, siapa lagi yang akan mencintai produk dalam negeri kalau bukan bangsa sendiri. Bagi IDN juga harus menghasilkan produk BWA dengan kualitas yang terbaik, sehingga tidak mengecewakan para operator dan pengguna. Oleh karena itu perbaikan dan peningkatan kinerja perangkat BWA dari masukan hasil field-test perlu terus dilakukan agar dicapai kualitas yang makin baik dengan fitur yang mumpuni guna memenuhi harapan operator dan masyarakat.

BWA bukan hanya untuk akses internet tetapi memiliki kemampuan untuk mentransmisikan voice via VoIP, tetapi ini tidak diperkenankan oleh regulasi. Jelas ini mengurangi daya tarik dan daya saing BWA. Disisi lain saingan layanan internet dari operator 3G makin gencar dilancarkan dengan diperkenalkannya Blackberry dan IPhone 3G. Kehadiran Blackberry dan IPhone merupakan tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh calon operator dan vendor BWA. Apakah tidak lebih baik bila regulator memperkenankan operator BWA menyelenggarakan VoIP untuk menyemarakan bisnis BWA.

Tender BWA yang akan digelar dalam waktu tidak terlalu lama lagi akan menjadi medan pembuktian BWA produksi dalam negeri. Mari kita saksikan kehadiran BWA produksi anak bangsa, mampukah IDN menjawab tantangan. Keberhasilan BWA akan menjadi modal berharga bagi IDN untuk terus berkiprah merengkuh bisnis BWA generasi teranyar dan tidak tertutup mampu berkiprah menguasai teknologi LTE. Mudah-mudahan ujian berat BWA Indonesia dapat dilalui dengan manis dan mampu menjawab keraguan pihak-pihak yang tidak sependapat. Mudah-mudahan tender BWA tidak ditunda, penundaan tender menjadikan loss opportunity cost yang makin besar serta tidak adanya kepastian.

Gunawan Wibisono

Pengamat Telekomunikasi

Dari Universitas Indonesia

160409 Tender BWA: Upaya Membantu Pemodal ‘Cekak’

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) belum lama ini mengumumkan suatu hal yang mengejutkan industri telekomunikasi terkait dengan rencana pelaksanaan tender Broadband Wireless Access (BWA).

Departemen tersebut mengubah syarat kepersertaan dari peserta tender yang sebelumnya hanya diperbolehkan bagi penyelanggara jaringan dan jasa telekomunikasi, diperluas dengan diijinkannya konsorsium bentukan sejumlah perusahaan jaringan dan jasa telekomunikasi ikut cawe-cawe dalam memperebutkan frekuensi di spektrum 2,3 GHz itu.

Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar menjelaskan, kebijakan tersebut diambil untuk memberi kesempatan kepada perusahaan yang bergerak dalam penyelenggaraan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband) yang memiliki modal terbatas alias cekak, tetapi masih ingin mengembangkan teknologi BWA masa kini yakni Worldwide Interoperability For Microwave Access (Wimax).

“Meskipun konsorsium diperbolehkan. Namun, batas kepemilikan asing dari konsorsium itu tidak boleh lebih dari 49 persen sesuai aturan Daftar negatif Investasi (DNI),” tegasnya di Jakarta, Rabu (15/3).

Gatot mengatakan, jika pemenang dari tender nantinya adalah konsorsium, pembentukan sebagai perusahan baru harus sudah selesai melalui pengesahan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelang dikeluarkannya izin prinsip penyelenggaraan.

Melihat mendadaknya kebijakan tersebut dikeluarkan , dimana pengumuman tender dijadwalkan pada 19 April nanti, maka isu pun mulai bertebaran di dunia persilatan.

Dua isu yang menyeruak adalah diakomodasinya kepentingan asing dan melunakkan hati Penyedia Jasa Internet (PJI) yang kadung mutung melihat persyaratan dari Depkominfo.

Kepentingan Asing

Isu kepentingan asing ini menyeruak karena selama ini Depkominfo secara tegas melarang penyelenggara jasa dan jaringan yang tidak sesuai dengan aturan DNI untuk menjadi peserta tender.

Depkominfo menggunakan acuan DNI berupa ketentuan pembatasan kepemilikan asing untuk penyelenggaraan jaringan telekomunikasi jaringan tetap berbasis radio ataupun penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis kabel. Dalam regulasi itu batas kepemilikan asing yang diperbolehkan sebesar 49 persen.

Korban dari kebijakan tersebut adalah Indosat dimana kepemilikan asingnya telah melewati angka 49 persen, yakni 65 persen sejak dikuasai Qatar Telecom (Qtel).

Padahal, Indosat sangat membutuhkan frekuensi BWA untuk mengembangkan wimax. Tersiar kabar, para petinggi Qtel belakangan ini sibuk melobi pemerintah layaknya ketika mereka berhasil menaikkan jumlah kepemilikannya di Indosat beberapa waktu lalu.

Sedangkan isu terkait dengan para PJI karena pemerintah ingin mengambil hati pelaku usaha tersebut . Hal ini terkait dengan keinginan pemerintah menurunkan tarif internet sebesar 40 persen mulai bulan ini. Pemerintah menyadari jika PJI maju sendirian dalam tender akan kalah karena modalnya terbatas.

“Ibaratnya ini gula-gula untuk Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) yang selama ini ngebet ingin ikut tender,” kata sumber Koran Jakarta yang enggan disebutkan namanya.

Menanggapi hal itu, Basuki menegaskan rencana perluasan kriteria calon peserta dilakukan bukan karena adanya kepentingan ataupun tekanan tertentu. “Ini murni untuk memberikan kesempatan seluasnya bagi para pelaku usaha,’ tegasnya.

Dia membantah adanya intervensi dari Medan Merdeka Utara (Istana Merdeka) yang memaksa diperluasnya syarat kepersertaan. “Apa hubungannya ini dengan Qtel dan Indosat? Jika mereka mau maju (Indosat0, masih ada lisensi jartap milik Indosat yang sesuai dengan DNI,” katanya.

Beda Konsep

Sementara itu, Anggota APJII Yadi Heryadi menjelaskan, model bisnis konsorsium yang ditawarkan oleh para PJI berbeda dengan yang ditawarkan pemerintah. Konsorsium versi pemerintah menumbuhkan satu entitas pemain baru yang dimiliki oleh anggota. Sedangkan versi PJI konsorsium itu hanya sebuah ikatan yang memiliki model bisnis sama tanpa perlu membentuk entititas baru dan harus menumbuhkan usaha pelaku industri PJI yang sudah ada.

“Konsorsium versi PJI adalah jalan keluar untuk selamat dari kompetisi dan membangun industri secara nyata. Entahlah dengan konsorsium versi pemerintah itu. Kalau sudah begini, mau diapakan oleh pemerintah ratusan lisensi PJI yang sudah dikeluarkan?”, tanyanya.

Terkait dengan isu perubahan syarat tersebut sebagai upaya pemerintah untuk memberikan gula-gula bagi para PJI agar mau menurunkan tarif internet, Yadi membantah keras,” Bagi anggota APJII yang menjadi non operator jaringan, sudah memiliki komitmen untuk menurunkan tarif. Tarif bandwitdh internasional sudah turun 90 persen. Dari dulu yang belum turun signifikan itu tarif local loop, leased line, dan lainnya. Ini isu darimana pula”.

Menanggapi hal itu Basuki mengatakan, sangat susah bagi pemerintah untuk memberikan frekuensi dengan pola konsorsium veri PJI. “Frekuensi diberikan pada satu badan usaha yang jelas. Tidak bisa satu frekuensi dikeroyok ramai-ramai. Harus jelas badan hukumnya. Apalagi ini pola pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) berbasis bandwitdh,” katanya.

Untungkan Asing

Masih menurut Yadi, kebijakan yang diambil pemerintah memperluas syarat peserta menjadi keuntungan bagi pihak asing. “Dilihat dari luar memang kesannya pemerintah masih membatasi investor asing. Tetapi kenyataannya, diberi kesempatan melalui pintu lainnya. Padahal jika dipakai versi PJI, persaingan nantinya lebih kepada layanan, bukan harga,” katanya.

Pada kesempatan lain, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santoso mengaku bingung dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. “Bagaimana mungkin konsorsium dengan status hukum yang tidak jelas dari segi peraturan perundangan tentang perseroan diperbolehkan untuk ikut tender. Seharusnya pemerintah sadar, melarang besaran kepemilikan asing dalam era globalisasi sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.

Sementara pegiat telematika dari Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FBWI) Wahyu Haryadi meminta, jika pemerintah bisa mengubah syarat peserta, hal yang sama juga bisa berlaku untuk kandungan lokal perangkat BWA. “Masalah perangkat ini juga krusial. Saat ini belum ada industri lokal yang mampu memenuhi kapasitas produksi untuk membuat teknologi BWA menjadi massal. Jika dipaksakan, ini akan berakhir pada mahalnya harga layanan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Karena itu sudah sewajarnya asing diperbolehkan untuk bermain di perangkat,” katanya.

Pada kesempatan lain, Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam dan Direktur Utama Melsa Net Heru Nugroho mengungkapkan, sedang menyiapkan strategi khusus untuk ikut tender BWA. “Kemungkinan besar kami akan ikut mengingat syaratnya diubah. Komposisi dari konsorsium itu masih rahasia,” kata Johnny.

“Melsa akan maju jika peluangnya bagus. Kita sedang melakukan kajian. Kami bukan bagian dari konsorsium yang dibuat oleh teman PJI lainnya,” tutur Heru.

VP Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan, kecil kemungkinan perseroan membentuk konsorsium mengingat untuk maju sebagai satu entitas tidak memiliki masalah. “Membentuk konsorsium itu akan rumit. Misalnya pembagian keuntungan dan lainnya. Lebih baik maju sendiri,” katanya.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Warnet Indonesia Irwin Day menilai, langkah yang diambil pemerintah jika menggunakan alasan membantu pelaku usaha yang modalnya terbatas dengan memperluas syarat peserta tidaklah tepat. “Kebijakan pemerintah ini tidak menarik dan tidak menyentuh akar rumput. Awari sendiri tidak tertarik cawe-cawe di tender ini,” tandasnya.[dni]

160409 BTEL Harapkan SLI Berkontribusi 7 Persen

JAKARTAPT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mengharapkan layanan Sambungan Langsung Internasional (SLI) dengan kode akses 009 akan mampu berkontribusi sebesar lima hingga tujuh persen bagi total pendapatannya dalam waktu lima tahun kedepan.

“Saat ini jasa SLI belum settle, karena baru diluncurkan. Lima tahun lagi barulah bisa berkontribusi bagi perseroan dengan angka yang signifikan seperti di atas,” kata Presiden Direktur Bakrie Telecom Anindya N Bakrie di Jakarta, Rabu (15/4).

Dikatakannya, saat ini potensi dari layanan SLI di industri telekomunikasi sekitar tiga triliun rupiah dengan jumlah panggilan sebesar tiga miliar menit per tahun. Sedangkan komposisi pemanggilan adalah 70 persen panggilan keluar negeri dan 30 persen panggilan dari luar negeri. “Kami mengharapkan dalam waktu tiga tahun ke depan 009 mampu meraih 20 hingga 30 persen dari pangsa pasar yang ada saat ini,” katanya.

Untuk menggelar layanan SLI, diungkapkannya, BTEL menyiapkan dana sebesar 25 juta dollar AS selama lima tahun sejak tahun lalu. Dana tersebut di luar belanja modal perseroan selama tiga tahun sejak tahun lalu sebesar 600 juta dollar AS.

Dana sebesar 25 juta dollar AS digunakan untuk membangun dua sentra gerbang internasional (SGI) di Batam dan Jakarta . Sedangkan dalam waktu 24 bulan ke depan akan dibangun lagi tiga SGI di Surabaya, Medan , dan Makassar . Kapasitas dari infrastruktur yang dibangun oleh BTEL saat ini untuk jasa SLI mampu menghantarkan data sebesar 2,5 Gbps dan panggilan 3,6 miliar menit per tahun.

Anindya mengatakan, saat ini belum terlalu optimal untuk menggarap potensi pendapatan dari SLI mengingat untuk membawa trafik di jaringan lokal masih mengandalkan infrastruktur Telkom. Hal ini karena BTEL belum menggelar jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ).

“BTEL sudah memenangkan lisensi SLJJ, tak lama lagi kami akan membangun infrastruktur SLJJ dimana sebagian menggunakan dana dari belanja modal tiga tahun ke depan itu. Jika sudah memiliki kode akses SLJJ, maka trafik lokal akan sepenuhnya dikelola oleh BTEL,” katanya.

Wadirut Bakrie Telecom Bidang Pemasaran Erik Meijer mengungkapkan, untuk tahap awal interkoneksi dari jasa SLI milik Bakrie Telecom dibuka secara bertahap oleh dua penyelenggara lainnya yakni Telkom dan Indosat.

“Telkom telah membuka interkoneksi di empat kota diantaranya Jakarta dan Surabaya . Sedangkan Indosat akan mulai membukanya pada minggu depan,” katanya.

Diungkapkannya, Telkom membuka secara bertahap mengingat operator tersebut memiliki banyak sentra gerbang. Sedangkan Indosat harus menyesuaikan dengan sistem penagihan mengingat tarif yang ditawarkan oleh BTEL jauh lebih murah ketimbang yang berlaku dipasar.

“Kami membanting harga hingga 77 persen ketimbang yang ditawarkan oleh kompetitor,” tuturnya.[dni]