Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) belum lama ini mengumumkan suatu hal yang mengejutkan industri telekomunikasi terkait dengan rencana pelaksanaan tender Broadband Wireless Access (BWA).
Departemen tersebut mengubah syarat kepersertaan dari peserta tender yang sebelumnya hanya diperbolehkan bagi penyelanggara jaringan dan jasa telekomunikasi, diperluas dengan diijinkannya konsorsium bentukan sejumlah perusahaan jaringan dan jasa telekomunikasi ikut cawe-cawe dalam memperebutkan frekuensi di spektrum 2,3 GHz itu.
Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar menjelaskan, kebijakan tersebut diambil untuk memberi kesempatan kepada perusahaan yang bergerak dalam penyelenggaraan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband) yang memiliki modal terbatas alias cekak, tetapi masih ingin mengembangkan teknologi BWA masa kini yakni Worldwide Interoperability For Microwave Access (Wimax).
“Meskipun konsorsium diperbolehkan. Namun, batas kepemilikan asing dari konsorsium itu tidak boleh lebih dari 49 persen sesuai aturan Daftar negatif Investasi (DNI),” tegasnya di Jakarta, Rabu (15/3).
Gatot mengatakan, jika pemenang dari tender nantinya adalah konsorsium, pembentukan sebagai perusahan baru harus sudah selesai melalui pengesahan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelang dikeluarkannya izin prinsip penyelenggaraan.
Melihat mendadaknya kebijakan tersebut dikeluarkan , dimana pengumuman tender dijadwalkan pada 19 April nanti, maka isu pun mulai bertebaran di dunia persilatan.
Dua isu yang menyeruak adalah diakomodasinya kepentingan asing dan melunakkan hati Penyedia Jasa Internet (PJI) yang kadung mutung melihat persyaratan dari Depkominfo.
Kepentingan Asing
Isu kepentingan asing ini menyeruak karena selama ini Depkominfo secara tegas melarang penyelenggara jasa dan jaringan yang tidak sesuai dengan aturan DNI untuk menjadi peserta tender.
Depkominfo menggunakan acuan DNI berupa ketentuan pembatasan kepemilikan asing untuk penyelenggaraan jaringan telekomunikasi jaringan tetap berbasis radio ataupun penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis kabel. Dalam regulasi itu batas kepemilikan asing yang diperbolehkan sebesar 49 persen.
Korban dari kebijakan tersebut adalah Indosat dimana kepemilikan asingnya telah melewati angka 49 persen, yakni 65 persen sejak dikuasai Qatar Telecom (Qtel).
Padahal, Indosat sangat membutuhkan frekuensi BWA untuk mengembangkan wimax. Tersiar kabar, para petinggi Qtel belakangan ini sibuk melobi pemerintah layaknya ketika mereka berhasil menaikkan jumlah kepemilikannya di Indosat beberapa waktu lalu.
Sedangkan isu terkait dengan para PJI karena pemerintah ingin mengambil hati pelaku usaha tersebut . Hal ini terkait dengan keinginan pemerintah menurunkan tarif internet sebesar 40 persen mulai bulan ini. Pemerintah menyadari jika PJI maju sendirian dalam tender akan kalah karena modalnya terbatas.
“Ibaratnya ini gula-gula untuk Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) yang selama ini ngebet ingin ikut tender,” kata sumber Koran Jakarta yang enggan disebutkan namanya.
Menanggapi hal itu, Basuki menegaskan rencana perluasan kriteria calon peserta dilakukan bukan karena adanya kepentingan ataupun tekanan tertentu. “Ini murni untuk memberikan kesempatan seluasnya bagi para pelaku usaha,’ tegasnya.
Dia membantah adanya intervensi dari Medan Merdeka Utara (Istana Merdeka) yang memaksa diperluasnya syarat kepersertaan. “Apa hubungannya ini dengan Qtel dan Indosat? Jika mereka mau maju (Indosat0, masih ada lisensi jartap milik Indosat yang sesuai dengan DNI,” katanya.
Beda Konsep
Sementara itu, Anggota APJII Yadi Heryadi menjelaskan, model bisnis konsorsium yang ditawarkan oleh para PJI berbeda dengan yang ditawarkan pemerintah. Konsorsium versi pemerintah menumbuhkan satu entitas pemain baru yang dimiliki oleh anggota. Sedangkan versi PJI konsorsium itu hanya sebuah ikatan yang memiliki model bisnis sama tanpa perlu membentuk entititas baru dan harus menumbuhkan usaha pelaku industri PJI yang sudah ada.
“Konsorsium versi PJI adalah jalan keluar untuk selamat dari kompetisi dan membangun industri secara nyata. Entahlah dengan konsorsium versi pemerintah itu. Kalau sudah begini, mau diapakan oleh pemerintah ratusan lisensi PJI yang sudah dikeluarkan?”, tanyanya.
Terkait dengan isu perubahan syarat tersebut sebagai upaya pemerintah untuk memberikan gula-gula bagi para PJI agar mau menurunkan tarif internet, Yadi membantah keras,” Bagi anggota APJII yang menjadi non operator jaringan, sudah memiliki komitmen untuk menurunkan tarif. Tarif bandwitdh internasional sudah turun 90 persen. Dari dulu yang belum turun signifikan itu tarif local loop, leased line, dan lainnya. Ini isu darimana pula”.
Menanggapi hal itu Basuki mengatakan, sangat susah bagi pemerintah untuk memberikan frekuensi dengan pola konsorsium veri PJI. “Frekuensi diberikan pada satu badan usaha yang jelas. Tidak bisa satu frekuensi dikeroyok ramai-ramai. Harus jelas badan hukumnya. Apalagi ini pola pungutan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) berbasis bandwitdh,” katanya.
Untungkan Asing
Masih menurut Yadi, kebijakan yang diambil pemerintah memperluas syarat peserta menjadi keuntungan bagi pihak asing. “Dilihat dari luar memang kesannya pemerintah masih membatasi investor asing. Tetapi kenyataannya, diberi kesempatan melalui pintu lainnya. Padahal jika dipakai versi PJI, persaingan nantinya lebih kepada layanan, bukan harga,” katanya.
Pada kesempatan lain, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P Santoso mengaku bingung dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. “Bagaimana mungkin konsorsium dengan status hukum yang tidak jelas dari segi peraturan perundangan tentang perseroan diperbolehkan untuk ikut tender. Seharusnya pemerintah sadar, melarang besaran kepemilikan asing dalam era globalisasi sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Sementara pegiat telematika dari Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FBWI) Wahyu Haryadi meminta, jika pemerintah bisa mengubah syarat peserta, hal yang sama juga bisa berlaku untuk kandungan lokal perangkat BWA. “Masalah perangkat ini juga krusial. Saat ini belum ada industri lokal yang mampu memenuhi kapasitas produksi untuk membuat teknologi BWA menjadi massal. Jika dipaksakan, ini akan berakhir pada mahalnya harga layanan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Karena itu sudah sewajarnya asing diperbolehkan untuk bermain di perangkat,” katanya.
Pada kesempatan lain, Direktur Utama Indosat Johnny Swandi Sjam dan Direktur Utama Melsa Net Heru Nugroho mengungkapkan, sedang menyiapkan strategi khusus untuk ikut tender BWA. “Kemungkinan besar kami akan ikut mengingat syaratnya diubah. Komposisi dari konsorsium itu masih rahasia,” kata Johnny.
“Melsa akan maju jika peluangnya bagus. Kita sedang melakukan kajian. Kami bukan bagian dari konsorsium yang dibuat oleh teman PJI lainnya,” tutur Heru.
VP Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan, kecil kemungkinan perseroan membentuk konsorsium mengingat untuk maju sebagai satu entitas tidak memiliki masalah. “Membentuk konsorsium itu akan rumit. Misalnya pembagian keuntungan dan lainnya. Lebih baik maju sendiri,” katanya.
Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Warnet Indonesia Irwin Day menilai, langkah yang diambil pemerintah jika menggunakan alasan membantu pelaku usaha yang modalnya terbatas dengan memperluas syarat peserta tidaklah tepat. “Kebijakan pemerintah ini tidak menarik dan tidak menyentuh akar rumput. Awari sendiri tidak tertarik cawe-cawe di tender ini,” tandasnya.[dni]
April 16, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar