Belakangan ini isu akan kehabisan blok nomor (blok numbering) kembali berhembus di industri telekomunikasi nasional. Isu ini tidak hanya menghantam pengusung jasa Fixed Wireless Access (FWA), tetapi juga seluler.
Bagi jasa FWA, isu krisis blok nomor menghantam wilayah Jakarta, Malang, dan Denpasar. Blok nomor biasanya berisi 999 ribu nomor untuk kode area 0XY. Namun, untuk kode area 0XYZ hanya berisi 10 ribu nomor.
Munculnya keterbatasan blok nomor tak dapat dilepaskan dari diandalkannya jasa prabayar menjadi senjata operator untuk meraih pelanggan baru. Tercatat, meskipun pada tahun lalu penetrasi jasa telekomunikasi nirkabel mencapai 65 persen alias terjual 143 juta nomor, namun yang menjadi pelanggan aktif hanya sekitar 90 juta nomor.
“Perilaku operator dalam berjualan prabayar sangat masif. Operator senang melepas harga prabayar lebih rendah ketimbang voucher isu ulang, hal ini berujung pada pelanggan gampang gonta-ganti nomor,” ungkap juru bicara Depkominfo Gatot S Dewo Broto kepada Koran Jakarta belum lama ini.
Akibat dari perilaku tersebut, lanjutnya, blok nomor yang ada terancam habis karena operator meminta secara membabi-buta. Padahal nomor adalah sumber daya alam terbatas
Berdasarkan catatan, di setiap operator jasa prabayar bisa menguasai komposisi pelanggan hingga 95 persen. Telkomsel tercatat hanya memliki dua juta pelanggan pascabayar. Sedangkan Indosat (1 juta pelanggan), dan XL (750 ribu pelanggan), sementara sisanya adalah prabayar.
Regulator sendiri sebenarnya tak tinggal diam mencari solusi mengefektifkan penggunaan blok nomor oleh operator. Pada tahun lalu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengapungkan jalan keluar berupa penarikan pungutan untuk permintaan blok nomor, mengatur masa daur ulang nomor, mengoptimalkan blok nomor yang dikuasai Telkom, dan menambah jumlah digit nomor.
“Kami sudah memerintahkan Telkom untuk mengikuti Fundamental Technical Plan (FTP) 2000 dimana jumlah digit nomor FWA harus 10 digit. Selain itu sedang dipertimbangkan masalah memungut biaya untuk permintaan blok nomor dan mengatur waktu recycle agar penggunaan sumber daya alam itu efektif,” kata Ketua BRTI Basuki Yusuf Iskandar.
Gatot menambahkan, isu keterbatasan nomor sebenarnya lebih menghantam FWA. Sedangkan di seluler bisa ditekan krisisnya karena operator disiplin menggunakannya. “Yang menjadi masalah di industri adalah recycle number. Operator tidak konsisten melaporkannya,” kata Gatot.
Namun, penilaian dari Gatot yang mengatakan seluler lebih efisien tersebut dibantah oleh seorang eksekutif operator yang enggan disebutkan namanya. Menurut dia, operator seluler melakukan penjualan lima banding satu alias melempar lima nomor dengan mengharapkan satu nomor akan menjadi pelanggan. Sementara di FWA karena jumlah nomor makin terbatas, operator hanya berani melempar tiga nomor dengan harapan satu nomor akan menjadi pelanggan.
“Akhirnya kami terpaksa memperpendek masa recycle yang biasanya tiga bulan menjadi dua bulan. Soalnya regulator tidak mau tahu dengan kesulitan yang dihadapi,” katanya.
Dipacu Churn
Sekjen Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Dian Siswarini menjelaskan, isu keterbatasan blok nomor akan tetap menghiasi industri jika tingkat pindah layanan (churn rate) masih tinggi. Saat ini churn rate berkisar 30 persen.
“Lanskap pasar seluler masih dikuasai prabayar. Mudah sekali mendapatkan nomor walaupun ada kewajiban untuk registrasi diri. Selama churn rate masih tinggi, masalah ketersediaan nomor akan tetap muncul,” katanya.
Direktur Pemasaran Indosat Guntur Siboro menambahkan, tingginya churn rate tak bisa dilepasakan dari perilaku sebagian operator yang membagi kartu perdana secara gratis demi mengklaim ke publik telah memiliki jutaan pelanggan. “Semua operator sebenarnya akan menderita jika fenomena kartu panggil (Calling card) mendominasi pasar. Sebaiknya pola penjualan seperti itu dihentikan,” katanya.
Dian dan Guntur menyarankan solusi dari keterbatasan blok nomor adalah memperpanjang digit asalkan tidak bertentangan dengan regulasi dari International Telecommunication Union (ITU). Sesuai regulasi organisasi tersebut, jumlah nomor bisa mencapai 15 digit.
“Berkaitan dengan mengatur recycle nomor sebaiknya diserahkan ke masing-masing operator Yang diperlukan di sini adalah aturan alokasi penomorannya lebih diperkuat sehigga operator benar-benar mengefisienkan penggunaan nomor,” katanya.
Pengamat telematika Koesmarihati Koesnowarso mengatakan, penambahan digit nomor memang mendesak dilakukan di FWA karena blok nomor mengikuti pola penomoran lokal. Hal itu membuat di setiap kode wilayah ( di Indonesia saat ini ada 354 kode area) harus berbeda.
“Di seluler itu sudah dilakukan (penambahan digit). Dulu di belakang 081xx hanya enam digit sekarang menjadi delapan digit. Itu bisa mencakup pelanggan sampai dengan satu miliar,” katanya.
Tunda Pungutan
Sedangkan untuk rencana pemerintah memungut biaya bagi permintaan blok nomor, Dian meminta ditunda terlebih dulu. “Sebaiknya jangan dulu diterapkan. Aturlah dulu mekanisme dan aturan alokasi nomor,” katanya.
Praktisi Telematika Suryatin Setiawan mengatakan, tidak salah pemerintah berkeinginan menarik pungutan untuk blok nomor. Namun, situasi ekonomi tidaklah mendukung di kala krisis saat ini.
“Sebaiknya jangan ada beban tambahan baru lagi ke operator. Kalaupun nanti dipaksakan ada biaya, besarannya haruslah yang wajar,” katanya.
Sedangkan Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi mengaku tidak keberatan adanya pungutan untuk blok nomor jika diberlakukan bagi nomor cantik. “Kalau nomor cantik rasanya wajar ada pungutan,” katanya.
Sementara itu pengamat telematika darii Universitas Indonesia Gunawan Wibisono meminta pemerintah untuk secepatnya mengatur tentang masa daur ulang dari nomor yang dilakukan oleh operator. “Belakangan ini banyak operator yang mendaur ulang dalam waktu dua bulan. Itu tidak menyenangkan bagi pelanggan baru jika nomor lama disalahgunakan oleh pemilik sebelumnya,” katanya.
Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Bidang Kajian Teknologi Taufik Hasan mengatakan, pilihan mendaur ulang nomor bagian dari upaya efisiensi nomor yang ada karena juga memberikan efek mendidik bagi pengguna.
“Jika nanti memang akan direalisasikan pungutan untuk blok nomor dengan kombinasi masa daur ulang diatur, operator akan mendapatkan tantangan menjalankan kesimbangan antara biaya, keketatan kompetisi, kualitas layanan, dan pertumbuhan yang diinginkannya,” katanya.[dni]
April 13, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar