Tak terasa tender Broadband Wireless Access (BWA) tinggal menghitung hari dijalankan oleh pemerintah. Jika tidak ada aral melintang, April nanti sejumlah penyelenggara telekomunikasi di Indonesia akan memperebutkan sekitar 100 MHz pita frekuensi di spektrum 2,3 GHz dan 3,3 GHz untuk mengimplementasikan teknologi Worldwide Interoperability for Microwave Acces (WiMax) di 15 zona di seluruh Indonesia.
Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi sebagai penyelenggara lelang telah menegaskan tidak akan mengundurkan jadwal tender meskipun situasi politik di bulan itu mulai menghangat karena adanya pesta demokrasi.
“Dokumen tender telah dipersiapkan. Lelang akan dijalankan sesuai amanat keputusan menteri (KM) yakni tiga bulan setelah regulasi dikeluarkan harus ada lelang. Hal itu berarti pada April nanti tetap ada tender,” kata Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar di Jakarta, belum lama ini.
Sejumlah penyelenggara pun telah memasang ancang-ancang untuk menjadi peserta tender. Operator besar seperti Telkom, Bakrie Telecom, dan Indosat membidik semua zona. Sedangkan penyelenggara jasa internet (PJI) diperkirakan akan menggarap zona yang sesuai dengan skala ekonomi dimilikinya.
Managing Director Melsa Net Heru Nugroho mengatakan, adanya teknologi Wimax akan sangat berarti bagi pengembangan industri internet di Indonesia dalam rangka perbaikan kualitas akses dan pentarifan yang lebih terjangkau bagi masyarakat secara luas.
“Secara teori Wimax menawarkan banyak kemudahan dan kemurahan investasi. Tetapi jika bicara secara bisnis, mungkin akan lain karena belum ada praktiknya selama ini di Indonesia,” katanya.
Menurut Heru, para pengusaha jasa internet saat ini belum berani membuat kesimpulan secara ekonomi tentang implementasi Wimax karena belum jelasnya kebijakan dari pemerintah dalam rangka implementasinya.
“Misalnya untuk biaya perijinan. Kita belum bisa prediksi berapa yang dibutuhkan. Bagaimana menentukan tarif untuk jualan kalau salah satu biaya produksi belum diketahui,” katanya..
Namun dari indikasi yang terpapar selama ini, lanjut Heru, kebijakan pemerintah untuk Wimax tidak akan jauh berbeda dengan teknologi 3G. “Persyaratan tendernya hampir sama dengan 3G. Semangatnya mendapatkan dana dari penjualan frekuensi. Kalau sudah begini, saya menjadi pesimis pemanfaatan wimax bisa segera membuat sebuah perubahan drastis,” katanya.
Hal ini karena yang akan memenangi persaingan untuk mendapatkan lisensi adalah tetap perusahaan dengan modal kuat akibat tidak ada pembatasan peminatan zona. “Ini akan berujung pada PJI dengan modal tanggung akan tersingkir. Akhirnya ini seperti pentasbihan dominasi dari operator besar,” katanya.
Penomoran
Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setyadi mengatakan, jika ingin membuat teknologi Wimax berbicara banyak secara bisnis, maka pemerintah harus memberikan alokasi penomoran bagi para penyelenggaranya. “Jika tidak diberikan penomoran, operator pemilik lisensi tak ubahnya penyelenggara internet pada umumnya,” katanya.
Hal itu berarti pengguna Wimax hanya bisa melakukan panggilan tanpa bisa dipanggil. Bagi operator Wimax, kondisi tersebut tidak seimbang dengan operator seluler. Bayangkan, operator seluler dengan evolusi teknologi 3G bisa melakukan akses data dan juga panggilan jasa suara biasa. Sedangkan wimax karena tidak ada penomoran, belum mampu menyelenggarakan layanan suara.
Menurut Mas Wig, kemampuan teknologi Wimax tidak hanya terbatas akses data saja, namun juga fungsi teleponi. “Kalau tidak ada alokasi penomoran, ini artinya pemerintah mengebiri kemampuan Wimax sesungguhnya,” katanya.
Dikatakannya, jika Wimax jadi digelar setelah tender April mendatang, setidaknya alokasi nomor yang perlu disediakan untuk akses pita lebar ini sebanyak satu juta nomor. “Jika masalahnya ada pada keterbatasan nomor, saya rasa ini saatnya pemerintah menerapkan kebijakan number portability,” katanya.
Tidak Butuh
Penggiat Internet Onno W Purbo mengatakan, secara teknologi Wimax memang menawarkan kecepatan yang lebih tinggi dari akses internet yang ada saat ini. Sedangkan untuk investasinya jauh lebih murah.
Base Station untuk wimax diperkirakan sekitar 6000 dollar AS, sedangkan perangkat yang digunakan oleh konsumen tergolong agak mahal yakni sekitar 400 dollar AS. Namun, jangan bicara soal kecepatan.
Studi Lembaga Riset Telematika Sharing Vision menunjukkan frekuensi 2,5 Ghz WiMax bagi perangkat tetap memiliki cakupan jangkauan 1-2 mil per segi menara di wilayah urban, 6-8 mil per segi menara di wilayah suburban, dan 2-30 mil per segi menara di wilayah rural.
“Wimax itu sudah berbasis pada internet protocol (IP). IP itu sudah menjadi jembatan untuk berkomunikasi jadi tidak perlu penomoran,” kata Onno.
Sementara itu, penggiat telematika dari Forum Komunikasi Broadband Wireless Indonesia (FKBWI) Wahyu Haryadi menambahkan, penyelenggara Wimax nantinya untuk tahap awal sebaiknya tidak usah diberikan penomoran.
“Fokus saja kepada layanan akses data. Tetapi jangan di wilayah padat. Harus di wilayah yang belum dijamah oleh akses internet sehingga manfaat broadband itu dirasakan oleh rakyat,” katanya.
Menurut Wahyu, memberikan alokasi nomor bagi penyelanggara wimax pada tahap awal kehadirannya sama saja dengan mematikan jasa tersebut karena langsung berhadap-hadapan dengan penyelenggara seluler.
“Itu namanya membangunkan macan tidur. Operator yang ada saat ini kan tidak rela lahannya diambil, terbukti dengan alotnya pembahasan tentang ENUM. Sebaiknya ditunggu saja masa konsolidasi kompetisi selesai, setelah itu kita bicara memberikan penomoran,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Warnet Indonesia (Awari) Iwin Day meragukan pemberian nomor tersebut akan berdampak positif bagi industri.
“Pemberian nomor itu berarti membuka adanya pemain baru di jasa basic telephony. Apa masih kurang jumlah operator yang ada sekarang ini? sudah tepatlah fokus dari wimax ke peningkatan akses internet,” katanya.
Menurut Iwin, terdapat beberapa fakta tentang Wimax yang kadang salah kaprah terjadi di Indonesia .. “Wimax digadang-gadang memiliki bandwidth dan jarak coverage yang besar. Itu benar, tetapi harus diingat kedua poin tersebut tidak bisa di gabung. Artinya penyelenggara harus memilih antara coverage atau bandwidth,” tuturnya.
Dikatakannya, jika ada prediksi yang mengatakan wimax akan mempercepat akses internet, itu benar adanya. “Tetapi kalau murah itu bergantung kepada volume pasar, sebab terkait dengan ketersediaan perangkat ke konsumen. Kalau volume kecil otomatis perangkat akan mahal dan sebaliknya,” katanya.
Iwin menegaskan, meskipun nanti Wimax dijalankan tidak akan mematikan bisnis dari warnet karena segmen yang digarapnya tergolong unik. “Jika terjadi irisan di pasar itu tentu tak bisa dielakkan. Tetapi dalam prakteknya warnet itu berbeda dengan pasar 3G ataupun WiMax,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Tim Penyelenggara BWA Suhono Supangkat, megungkapkan, alokasi penomoran untuk pemain wimax akan dievaluasi secara bertahap jika sudah masuk dalam taraf regulasi triple play.
Triple play adalah kondisi dimana layanan data, suara, dan video dapat bergerak dalam satu jaringan oleh penyelenggara jasa.
“Saat ini pemerintah belum akan mengalokasikan penomoran untuk operator pemenang tender BWA. Lisensi untuk layanan Wimax itu baru untuk akses data saja.Yang penting sekarang bisa akses data broadband dulu dengan bandwidth stabil 256 kbps untuk melayani rakyat,”ujarnya.[dni]
Maret 11, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar