Lisensi modern (modern licensing) diibaratkan sebagai jantung bagi penyelenggara jaringan atau jasa di industri telkomunikasi. Adanya lisensi modern menjadikan penyelenggara bisa memberikan layanannya ke pasar dan dilindungi oleh hukum ketika menjalankan aktivitasnya.
Di dalam lisensi modern biasanya dicantumkan hak dan kewajiban operator. Kewajiban yang harus dipenuhi diantaranya komitmen pembangunan jaringan setiap tahun, penggunaan produksi dalam negeri, serta memberikan layanan yang berkualitas.
Sedangkan hak yang diperoleh oleh operator adalah diperbolehkan berjualan jasa, mendapatkan alokasi frekuensi, dan dijamin regulator ketika beroperasi.
Pembuatan dari lisensi modern biasanya hasil diskusi antara operator dan regulator. Jadi, komitmen yang tercantum dalam lisensi modern secara sadar dibuat oleh operator untuk dipenuhi.
Lisensi modern tersebut akan dievaluasi oleh regulator dalam periode tertentu. Jika operator tidak memenuhi isi dari lisensi modern, sanksi denda siap mengancam atau dicabutnya ‘jantung’ tersebut oleh regulator.
Contohnya, jika pengembangan jaringan hanya 0-40 persen dari kewajiban per tahun dikenakan denda 600 juta rupiah, selanjutnya jika 41-70 persen (Rp 400 juta), dan 71-90 persen (Rp 200 juta). Sementara untuk tidak dipenuhinya ketentuan penggunaan produk lokal dalam penyerapan belanja modal, nilai denda tergantung pada besaran dari belanja modal operator setiap tahunnya.
Celah
Pengamat telematika Miftadi Sudjai mengatakan, lisensi modern yang ada saat ini masih ada kekurangan yakni tidak dicantumkannya komitmen perolehan pelanggan atau kinerja bisnis.
“Tidak dimasukkannya faktor tersebut membuat ada celah dalam lisensi modern,” katanya kepada Koran Jakarta, Senin (9/3).
Menurut Miftadi, tidak adanya ukuran kinerja bisnis membuat operator yang ingin mengoleksi lisensi atau menguasai spektrum frekuensi bisa bebas lenggang kangkung karena tidak ditekan oleh kewajiban berjualan.
“Operator jadinya hanya mementingkan pemenuhan dari lisensi modern. Akhirnya tingkat penetrasi dan penggunaan telekomunikasi tetap rendah karena operator lebih mengutamakan berjualan di wilayah gemuk,” tuturnya. “Saya menyarankan pemerintah untuk memasukkan unsur ini agar kinerja bisnis operator bisa diukur. Jika tidak, yang terjadi seperti sekarang, sumber daya alam dikangkangi hanya untuk mempercantik nilai saham perusahaan,” tandasnya.
Pernyataan dari Miftadi tersebut mungkin ada benarnya. Lihat saja operator sekelas Indosat yang terkesan menganggurkan lisensi Fixed Wireless Access (FWA) miliknya sejak empat tahun lalu. Jasa yang dilabeli StarOne tersebut hanya mampu meraih sekitar 761 ribu pelanggan dengan wilayah layanan sekitar 55 kota.Bandingkan dengan jasa sejenis milik Mobile-8 yang dilabeli Hepi. Belum lagi setahun dilepas telah memiliki 500 ribu pelanggan di di 57 kota.
Regulator pun tidak bisa mengutak-atik lisensi milik Indosat karena secara regulasi tidak ada yang salah mengingat kapasitas terpasang malah melampaui yang tercantum dalam lisensi modern.
Kasus yang hampir mirip juga dilakukan Hutchinson CP Telecom Indonesia (HCPT) dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) di jasa 3G HCPT dan NTS yang memiliki lisensi 3G jauh sebelum Telkomsel, Indosat , dan XL mengantonginya.
Namun, kedua operator tersebut lebih fokus berjualan jasa 2G, sedangkan akses data melalui 3G dibiarkan menganggur. Hingga kini keduanya hanya memiliki ribuan pelanggan data. Bandingkan dengan Telkomsel, Indosat, dan XL yang memiliki ratusan ribu pelanggan mobile data.
Ironisnya, ketika ketiga operator terakhir mengajukan penambahan frekuensi 3G ke regulator, HCPT dan NTS ikut-ikutan melakukan hal yang sama. “Kedua operator itu mengajukan tambahan karena merasa telah memenuhi lisensi modern.
Di lisensi modern itu kan yang dilihat kapasitas terpasang. Coba kalau dimasukkan raihan pelanggan, pasti mereka mundur teratur,” kata seorang eksekutif operator yang enggan disebutkan namanya.
Secara terpisah, pengamat telematika dari Universitas Indonesia Gunawan Wibisono mengatakan, jika konsep memasukkan raihan pelanggan diimplementasikan akan lebih menguntungkan operator kecil dan baru.
“Dari pada regulator menjerat operator dengan konsep up front fee yang besar. Lebih baik operator dipacu dalam berbisnis. Ini akan mendukung penetrasi akses telekomunikasi,” katanya.
Menurut Gunawan, jika konsep up front fee dihilangkan bisa membuat terjadinya penurunan tarif di masyarakat karena biaya untuk mendapatkan frekuensi lebih murah.
“Ada baiknya konsep ini dijalankan saat tender broadband wireless access (BWA) April nanti. Saya khawatir jika ukurannya kapasitas terpasang, pemenangnya operator besar. Padahal oeprator besar itu sudah memiliki banyak lisensi untuk broadband internet, akhirnya lisensi BWA hanya jadi kosmetik,” katanya.
Risiko Bisnis Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan, tidak dimasukkannya raihan jumlah pelanggan dalam lisensi modern karena itu dinilai sebagi risiko operator dalam berbisnis.
Dikatakannya, lisensi modern diberikan oleh pemerintah untuk memenuhi misi meningkatkan aksesibilitas, mengembangkan konektifitas, dan meningkatkan investasi.
“Nah, jika penyelenggara layanan mampu memenuhi misi tersebut seharusnya dihargai oleh pemerintah. Masalah tidak optimalnya perolehan pelanggan, itu adalah risiko bisnis yang ditanggung operator,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menyetujui dalam penambahan alokasi frekuensi seperti 3G pemerintah harus melihat juga perolehan pelanggan dari setiap operator pemilik lisensi.
“Frekuensi sebagai sumber daya negara terbatas harus diberikan kepada operator yang benar-benar serius untuk memanfaatkannya bagi masyarakat. Pemerintah harus memfasilitasi konsolidasi infrastruktur tersebut secara bijak terutama bagi operator yang memperoleh frekuensi sebelum diterapkannya sistem pelelangan harus berbeda dengan yang memperolehnya melalui pelelangan,” tegasnya.
Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi menambahkan, jika perolehan pelanggan dimasukkan dalam unsur lisensi modern pemerintah harus membuat parameter yang jelas dalam pengukurannya.
“Saya setuju dengan usulan tersebut. Memang tidak tepat frekuensi dikangkangi tanpa diberdayakan. Tetapi, pemerintah harus memberikan penghargaan bagi operator yang berhasil memenuhi komitmennya. Jangan kalau underperformed saja didenda,” katanya.
Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Basuki Yusuf Iskandar mengatakan, pihaknya terbuka jika ada permintaan dari masyarakat yang meminta untuk memasukkan parameter bisnis dalam lisensi modern. “Kami akan kaji tentang masalah itu secepatnya. Rasanya memang tidak elok jika sumber daya alam dimiliki tetapi tidak diberdayakan,” tuturnya.[dni]