Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) akhirnya pada 4 Februari lalu mengumumkan nama lima anggota masyarakat yang layak menjadi anggota Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 200-2011.
Kelima pandawa yang dinilai layak oleh Menkominfo Muhammad Nuh tersebut adalah Danrivanto Budhyanto, Heru Sutadi, Iwan Krisnadi, Nonot Harsono, dan Ridwan Effendi.
Mereka berlima nantinya akan bahu-membahu bersama dengan dua wakil pemerintah yakni Basuki Yusuf Iskandar (Ketua/ Dirjen Postel) dan Abdullah Alkaf (Staf khusus Menkominfo) untuk menjaga industri telekomunikasi Indonesia agar kompetitif dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Untuk diketahui, BRTI dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2003. Lembaga ini terdiri atas KRT dan Ditjen Postel, Depkominfo.
Adanya unsur Ditjen Postel membuat fungsi regulator tetap dipegang dan dijalankan oleh lembaga tersebut tetapi struktur pimpinannya yang diganti.
Struktur memang berubah sebab jika dulu Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) dipimpin hanya oleh direktur jenderal (dirjen) seorang diri, tetapi sekarang dipimpin oleh suatu komite yang terdiri atas beberapa orang, termasuk dirjen selaku ketua.
Struktur kepimpinan tersebut sebenarnya dimaksudkan agar setiap keputusan dilaksanakan secara kolegial, tidak semaunya dilakukan oleh seorang dirjen. Ini untuk mengharapkan keluarnya suatu keputusan yang transparan, tidak berpihak , dan akuntabel.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Pada struktur organisasi yang dibuat, KRT terpisah dan tidak menyatu dengan Ditjen Postel sehingga KRT tidak memiliki garis komando langsung kepada staf ditjen yang ada sekarang ini.
Hal ini membuat peran BRTI akhirnya menjadi tidak kuat, karena keputusan BRTI tak dapat dilepaskan dari pengaruh menteri atau dirjen. Kondisi ini menjadikan BRTI sebagai penjaga hanya terkesan sangar dari luar. Padahal dari sisi amunisi cuma memiliki peluru hampa, bukanlah peluru tajam.
Kepentingan
Ketidakmandirian tersebut makin diperparah lagi dengan pola perekrutan yang menjadikan seorang Menkominfo sebagai tokoh sentral dari penentuan calon terpilih.
Memang, untuk menjaga transparansi Depkominfo membentuk tim panitia seleksi dan para kandidat harus menjalani tes yang lumayan berat. Namun, setelah hanya tersisa 15 calon, maka peran seorang Menkominfo menjadi sedemikian besar.
Hal ini karena Menkominfo harus menyaring jumlah tersebut menjadi 10 besar dan mewawancarai setiap kandidat. Faktor wawancara ini dianggap memiliki bobot tertiggi sehingga faktor subyektifitas sangatlah besar.
“Pemilihan anggota di BRTI berbeda dengan anggota komisi negara lainnya. Di BRTI, menteri memiliki kuasa yang tinggi. Ini membuat celah bermainya banyak kepentingan tak dapat dihentikan ,” ujar seorang kandidat yang masuk dalam 15 besar kepada Koran Jakarta, belum lama ini.
Ucapan dari kandidat itu seperti ada benarnya. Hal ini karena setelah mewawancarai seluruh kandidat 10 besar, Muhammad Nuh, tiba-tiba pada Senin (2/2) memanggil lima nama yang tidak masuk dalam 10 besar untuk di wawancara.
“Salah seorang dari lima yang dipanggil terakhir itu akhirnya menjadi anggota komite dan menggusur kandidat dari salah satu universitas negeri ternama di Jakarta ,” tambah sumber lainnya.
Ya, jika melihat dari susunan para anggota komite yang dipilih oleh Muhammad Nuh, terasa ada unsur akomodasi dan kedekatan jika hanya melihat dari latar belakang masing-masing anggota terpilih.
Contohnya Danrivanto Budhyanto dan Iwan Krisnadi. Kedua tokoh ini memiliki masa lalu yang pernah bersinggungan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk alias Telkom. Danrivanto disebut-sebut sebagai konsultan hukum ketika Telkom terbentur kasus VoIP. Sedangkan
Iwan sempat mengabdi puluhan tahun di perusahaan tersebut.
Masuknya dua nama yang pernah terafiliasi dengan incumbent itu disebut-sebut sebagai upaya pemerintah mengakomodasi suara Telkom yang selama ini selalu dalam posisi terpojok oleh para KRT sebelumnya.
Contoh lainnya adalah masuknya nama Nonot Harsono yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan sang Menteri dan KRT dari unsur pemerintah, Abdullah Alkaf. Hal ini karena ketiganya jebolan ITS Surabaya .
Masuknya Nonot ke susunan KRT membuat isu ITS-isasi di Depkominfo kembali marak. Hal ini karena beberapa bulan sebelumnya Muhammad Nuh mengangkat beberapa jebolan ITS menduduki posisi strategis di Ditjen Postel.
Banyaknya kepentingan yang bermain tersebut membuat sebagian kalangan mengkhawatirkan keputusan yang dibuat BRTI nantinya akan memakan waktu lama karena harus melalui voting. Dan bertambah kacau jika keputusan yang keluar benjol-benjol alias tidak bulat akibat harus mengakomodasi berbagai pihak dan melupakan kepentingan masyarakat.
Lebih Baik
Terlepas dari itu semua, Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Telekomunikasi Johnny Swandi Sjam meminta KRT yang baru terpilih bisa membenahi regulasi yang kontradiktif dan tidak kondusif dengan instansi lainnya di bidang telekomunikasi.
Contohnya, regulasi menara bersama yang berniat baik, malah berbalik membuat industri menjadi kalang kabut menghadapi implementasi yang salah di daerah-daerah.
“Selain itu, dalam menangani masalah antaroperator, lembaga ini sebaiknya mengambil peran yang kondusif bagi industri. Sebaiknya konsultasi dululah dengan operator. Janagn main sanksi saja,” tuturnya.
Pengamat Telematika Ventura Elisawati mengingatkan, industri telekomunikasi telah tumbuh menjadi salah satu indikator kemajuan bangsa. Tantangan paling berat yang dihadapi oleh BRTI ke depan adalah mengeluarkan aturan yang mampu mengharmonisasi antara kepentingan publik dan bisnis.
“Saya lihat KRT sekarang banyak didominasi dari kalangan non bisnis. Jika terlalu banyak akademisi, dikhawatirkan keluar regulasi yang kehilangan ruh bisnisnya. Padahal di industri telekomunikasi, dinamika bisnis lebih cepat ketimbang regulasinya,” tukasnya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir meminta, BRTI sebagai pengawas harus lebih responsif dalam menidaklanjuti pengaduan pelanggan yang merasa dirugikan oleh operator telekomunikasi.
“Lembaga ini harus cepat melihat ketidakberesan. Umumnya yang dipermasalahkan pelanggan itu kan masalah layanan. Jadi, jangan terpaku pada masalah yang besar saja seperti mengembangkan teknologi,” jelasnya.
Dia meminta, BRTI juga melakukan fungsi edukasi ke masyarakat tentang cara berkomunikasi yang benar sehingga tidak terjadi pemborosan oleh pengguna.
“Sekarang biaya berkomunikasi lebih murah daripada merokok. Ini membuat masyarakat cenderung konsumtif. BRTI harus mencegah ini menjadi wabah dengan edukasi yang tepat. Khususnya bagaimana mencermati iklan operator yang cenderung mengelabui pelanggan” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Menkominfo Muhammad Nuh membantah keras memilih anggota KRT berdasarkan kedekatan atau mengakomodasi suara incumbent.
“Tidak benar itu. Semua melewati seleksi yang ketat. Masalah munculnya isu ITS-isasi itu kan karena banyak orang melihat jebolan ITS sekarang mulai muncul. Padahal, ada juga KRT yang lulusan Unpad, UI, dan ITB, “katanya.
Sementara itu, Ketua BRTI Basuki Yusuf Iskandar, meminta masyarakat untuk tidak apatis dengan para KRT yang terpilih. “Semuanya sudah melalui seleksi ketat. Biarkan bekerja dan membuktikan dirinya,” tegasnya.
Basuki membantah, keputusan yang dikeluarkan BRTI nantinya tidak bulat atau condong menguntungkan satu operator. “Selagi saya masih Ketuanya, akan dijamin tidak ada itu putusan titipan. Selama ini sudah terbukti dalam kasus pembukaan kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) atau penurunan biaya interkoneksi yang tidak menguntungkan incumbent,” tandasnya.[dni]
Februari 9, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar